Saya Ikut Bersalah

Bandar Lampung, 16 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak H.M. Soeharto

di Jakarta

SAYA IKUT BERSALAH [1]

Assalamu’ alaikum wr. wb.

Kami sekeluarga berharap dan berdo’a, kiranya Bapak senantiasa diberi rahmat dan karunia oleh Allah Swt, tidak kurang satu apa pun juga dan yang utama semoga Bapak sekeluarga tetap memperoleh kesehatan serta kekuatan menghadapi berbagai cobaan.

Saya adalah orang Jawa dan warga negara biasa, yang dapat hidup, berusaha dan bersaing dalam usaha dengan baik tanpa bantuan apalagi tergantung kepada Pemerintah, Bank, atau pihak manapun, kecuali kebutuhan akan suasana dan iklim yang aman dan stabil.

Saya merasa sangat sedih dan prihatin dengan kondisi kita akhir­-akhir ini, di mana nilai-nilai dan tata krama kehidupan sudah tidak diperhatikan lagi! Sepertinya setiap orang merasa paling benar, paling bersih, bahkan merasa berhak untuk menghujat, menghina atau merendahkan orang lain secara membabi buta!

Saya menyesal karena do’a saya pada tahun 1992, agar Bapak lengser tidak terkabul. Padahal do’a saya tersebut benar-benar tulus, dengan maksud agar Bapak yang saya kagumi dapat menikmati hidup dan lebih dekat dengan Allah, dapat lebih memperhatikan putra-putri secara lebih baik.

Sebagai manusia biasa tentu kita tak lepas dari salah dan khilaf, dan penderitaan yang dialami bangsa kita saat ini tentunya merupakan buah dari kesalahan dan kekhilafan yang telah kita perbuat pada masa lalu. Seberapapun jauhnya orang-orang seperti saya dan sistem politik dan kenegaraan, tetap mempunyai kontribusi salah dan khilaf sehingga bangsa ini jadi terpuruk seperti keadaan sekarang. Padahal saya seharusnya bisa berdo’a lebih khusuk atau mengingatkan lebih awal dan tidak hanya asyik memikirkan usaha saya yang sedang berhasil.

Saya merasa ikut bersalah, dan saya yakin Bapak pun saat ini sedang memikul beban berat memikirkan kelanjutan nasib bangsa ini, walaupun semua beban itu senantiasa Bapak simpan di balik senyum dan wajah cerah Bapak. Seperti juga Bapak, saya pun maklum dan hanya bisa tersenyum terhadap mereka yang sedang asyik berpolitik dan berteriak­-teriak dengan dalih demokrasi dan reformasi, karena mereka pada umumnya memiliki pamrih dan kepentingan tertentu, baik skala kecil maupun skala nasional.

Banyak yang sudah Bapak perbuat untuk bangsa ini, sekedar fakta kecil adalah kenangan yang masih saya ingat waktu kecil. Bila makan telur satu didadar lebar dan dibagi enam. Kami tidak bisa tambah nasi apalagi telur, karena sudah habis dibagi rata. Sekarang anak saya harus dibujuk bahkan dipaksa untuk makan! Walaupun saya sanggup memberinya enam telur dalam sekali makan bila dia mau. Ini salah satu contoh kecil dari kemakmuran yang telah Bapak ciptakan pada masyarakat Indonesia dan masih banyak yang lainnya. Saya tidak rela bila bangsa kita yang besar ini hancur dan porak-poranda, sama seperti halnya saya pun tidak rela bila orang mencemooh Bapak. Sekalipun misalnya cemoohan itu berisi kebenaran. Saya tetap tidak rela, karena ada cara-cara lain yang lebih terhormat.

Berbuatlah sesuatu, Pak! Tidak sekedar mempertahankan dan membela diri dari tuduhan dan cemoohan orang, tetapi berbuat dan bertindaklah dalam kapasitas Bapak sebagai orangtua, Bapak bangsa, atau sebagai Pandito. Bapak adalah salah satu potensi pemersatu bangsa yang dominan, baik secara politis maupun ekonomis. Bapak masih memiliki pengaruh dan wibawa besar. Lakukan ini demi kepentingan bangsa dan rakyat.

Saya yakin Bapak mau dan bisa melakukan semua ini. Menghadapi orang yang “mabuk” memang harus banyak sabar dan mengalah. Jadi tolong Pak, rangkul mereka, ajari mereka, dan ingatkan serta sadarkan mereka, sekali lagi demi bangsa dan rakyat Bapak! (DTS)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Gatot Eko Andoyo dan keluarga

Bandar Lampung

[1]       Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 391-392. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.