SEBUAH PERMOHONAN KEP. PIMPINAN2 ABRI [1]
Oleh Ir. T.S. Simandjuntak
Jakarta, Kompas
ACHIR2 ini ada dua peristiwa jang menarik. Pertama, “peristiwa 18 April” di Bandung, dimana seorang mahasiswa dipukuli oleh anggota2 ABRI hanja karena tabrakan ringan jang mengakibatkan istri salah seorang ABRI tsb. luka2 kakinja. Hal ini disusul dengan “prates” dari Dewan Mahasiswanja, jang djuga berisi tuntutan agar pelaku2nja dituntut didepan pengadilan tentara.
Peristiwa lainnja, jang djuga merupakan peristiwa pemukulan, jaitu “peristiwa 2 Maret” di Jogja dimana 2 orang mahasiswa dipukuli oleh Karbol2. Disini selain protes, para mahasiswa djuga mengadakan demonstrasi lengkap dengan spanduk2-nja. Bahkan dosen2 GAMA jang mengadjar di AKABRI sementara “meliburkan diri”, dan ada misi mahasiswa jang dikirim ke Djakarta.
Tambahan jang menarik dalam peristiwa ini adalah, bahwa “kehangatannja” djustru timbul lama setelah peristiwanja sendiri terdjadi. Dari berita di koran2 dapat ditarik kesimpulan bahwa, “kemarahan” mahasiswa timbul karena penjelesaian jang kurang memuaskan.
SEBENARNJA, kedua peristiwa ini barulah merupakan 2 peristiwa jang mendjadi “berita” dari sekian peristiwa jang sedjenis jang tidak mendjadi ”berita besar”. Dalam peristiwa ini, kebetulan sadja korbannja mahasiswa jang setjara kebetulan djuga punja “korps”.
Kalau mau diteliti, berapa banjak pengemudi betja dan sopir2 di Indonesia ini jang dapat hardikan bahkan kadang2 “hadiah” tempeleng hanja karena soal2 jang sepele?
Berapa banjak pemilik2 toko jang mendapat sematjam “pungutan istimewa?” Berapa banjak kendaraan2 jang kena srempet kendaraan ABRI jang didiamkan sadja, bahkan sering malah jang diserempet jang harus bajar ganti kerugian?
Dikoran inipun pernah ada berita, seorang jang dituduh “dukun” ditembak mati setjara se-wenang2″ oleh seorang anggota ABRI. Bahkan dalam menanggapi peristiwa pertama, koran inipun memberitakan bahwa di Sindangjaja, Tjipanas seorang sopir dianiaja sampai meninggal karena menabrak anak seorang ABRI.
Dan sudah agak lama, didekat Djakarta, peristiwa tabrakan mengakibatkan sebuah sedan hantjur dan djalan2 dibarikade oleh ABRI-nja. Djadi dalam setiap peristiwa dimana terlibat anggota ABRI atau keluarganja atau bahkan adakalanja temannja sadja, selalu sadja “ada” pukulan2.
Tjuma sadja, tidak semua peristiwa2 itu mendjadi “berita” karena korbannja kebetulan tidak punja “korps”, sehingga belum ada jang membelanja.
LALU timbul pertanjaan, kemanakah utjapan2 jang sering kita dengar, “ABRI abdi rakjat”, “ABRI dan rakjat laksana ikan dan air” serta jang lain2nja itu?
Disinilah kami mengadjukan permohonan kepada pimpinan ABRI, bahwa ada hal2 jang tidak beres dalam hubungan ABRI dengan rakjat jang perlu mendapat perhatian jang serius.
Sebab kalau tidak ada penjelesaian jang wadjar, pengertian rakjat tentang ABRI akan sangat merugikan kita semua.
Sudah pernah kami mendengar selentingan omongan di warung kopi, bahwa ABRI sekarang sama dengan tentara Djepang dahulu. Pendapat ini dengan sendirinja belum tepat, tetapi djustru pengertian-pengertian beginilah jang perlu dihilangkan.
Sudah waktunja hal2 ini harus diselesaikan. Sebab kami pertjaja, tidak semua anggota ABRI jg bertindak sewenang2. Tetapi, kamipun tidak dapat menutup mata terhadap kenjataan bahwa djumlah jang sewenang2 sudah tjukup banjak untuk merusak warna ABRI dimata rakjat.
DARI perkembangan tjara2 pemberitaanpun dapat diambil beberapa kesimpulan. Dalam peristiwa2 perampokan, ketika mula2 sekali ditjurigai adanja anggota2 ABRI jang terlibat, kepala beritanja adalah, “orang2 jang menjamar sebagai anggota ABRI merampok didjalan Anu”.
Ini mungkin karena ketidak pertjajaan bahwa anggota ABRI akan mau merampok, tetapi mungkin djuga untuk mendjaga perasaan ABRI pada umumnja jang dianggap masih baik. Mestinja waktu ini ABRI harus sudah bersungguh2 dalam membersihkan namanja.
Tetapi rupanja tidak, sebab perampokan2 terus sadja ada dan kepala beritapun mulai agak lebih keras, “oknum berbadju hijau dst”.
Ditutupi Lagi
Dalam teori ilmu mendidik disebutkan, bahwa untuk mendidik anak2 agar mendjadi anggota masjarakat jang baik, diantaranja adalah mengadjar dia ramah terhadap petugas2 dimasjarakat : tukang pos, tukang listrik, ABRI dll.
Tetapi kalau orang tuanja mungkin sudah takut terhadap ABRI, bagaimana lagi mau mendidik anaknja. Ketjuali mungkin kalau sianak kebetulan anaknja seorang anggota ABRI. Tetapi disinipun bisa terdjadi “salah didik”, dimana si anak karena melihat betapa “berkuasanja” bapanja akan punja pengertian jang salah tentang hidup bermasjarakat. Hal2 ini sudah terlihat dari tindakan beberapa anak2 “nakal”. (DTS)
Sumber: KOMPAS (12/06/1969)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 374-375.