Sejumlah Menteri Berbicara (2) RUDINI : TAK MAU PUTRA MAHKOTA

Sejumlah Menteri Berbicara (2)

RUDINI : TAK MAU PUTRA MAHKOTA[1]

 

Jakarta, Merdeka

Tentang kenapa Pak Harto tidak menunjuk putra mahkotajuga dijelaskan oleh bekas Mendagri Rudini. Beberapa menteri yang lain berbicara tentang konsistensi Pak Harto memegang konstitusi. Sementara ahli manajemen Tanri Abeng melihat semua itu dari kaca mata “Fenomena Manajemen Soeharto”.

Hal-hal menarik itu adalah bagian kecil yang terdapat dalam buku baru (1996)

Manajemen Presiden Soeharto : Penuturan 17 Menteri. Buku unik (meminjam istilah Mendikbud Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro) ini diterbitkan oleh Yayasan Bina Generasi Bangsa dengan Ketua Panitia SetyaNovanto, dan penyunting Riant Nugroho Dwidjowijoto. Berikut cuplikan dari buku tersebut :

Rudini

Beliau sering didesak oleh berbagai golongan untuk menentukan putra mahkota. Beliau tetap tidak mau karena bagi Pak Harto cara itu merupakan suatu hal yang tidak demokratis, seperti kerajaan. Untuk itu beliau memberikan kesempatan kepada kader-kader potensial untuk dipilih rakyat. Figur yang akan menggantikan beliau nanti harus mengerti benar pola yang beliau lakukan di dalam me-manage kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Akbar Tanjung

Kekuatan beliau (Pak Harto) dalam kepemimpinannya dikarenakan beliau sangat menjunjung tinggi konstitusi dan aturan-aturan yang disepakati di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Misalnya soal masa jabatan lima tahun. Dalam berbagai kesempatan beliau mengemukakan bahwa masajabatan itu lima tahun. Tetapi bisa dipilih kembali. Disitu memperlihatkan beliau mempunyai konsistensi yang tinggi terhadap konstitusi. Saya kira itu kekuatan beliau. Apa yang dilakukannya bisa dipertanggungjawabkan  secara konstitusional.

Hayono Isman

Regenerasi akan datang dengan sendirinya secara alami, tidak perlu kita paksakan. Yang patut kita syukuri adalah bahwa sekarang ini beliau tidak berpikir untuk memiliki putra mahkota. Berarti beliau commited terhadap mekanisme regenerasi sesuai dengan Pancasila danUUD 1945. Beliau bersama-sama kita, bangsa Indonesia, merekayasa, mempersiapkan calon-calon pengganti beliau melalui sistem kaderisasi yang ada di tanah air. Kelak akan kita lihat siapa calon-calon itu.

Jadi, seandainya pada sidang umum MPR 1998 nanti beliau tidak berkenan menjadi Presiden, dengan sendirinya calon-calon itu akan muncul. Tapi apabila karena panggilan tugas pengabdian , beliau menyatakan sanggup dan bersedia, siapa yang mau muncul? Tentu, semua setuju karena beliau adalah figur yang mempunyai bobot yang luar biasa. Tidak ada yang bisa menandingi bobot kepemirnpinan beliau, siapapun di tanah air ini.

Tanri Abeng

Yang menjadi pertanyaan ialah apakah calon pengganti pemimpin negara ini memiliki kemampuan untuk mempertahankan kualitas kepemimpinan seperti sekarang ini, mengingat tantangan masa depan lebih berat. Sebagai bangsa pejuang, kita tentu optirnistisdari hanya dari perspektif manajemen, saya menganalisisbahwa selain VVC (Vision, Value, Courage = visi, nilai, keberanian), salah satu kriteria yang dibutuhkan oleh pemirnpin masa depan ialah kemampuan yang tinggi untuk mengembangkan team work. Hal ini menjadi lebih penting, sekali lagi mengingat kompleksitas peluang dan tantangan yang dihadapi bangsa kita memasuki abad ke-21.

Karena itu masalah suksesi memang waj ar kita perhatikan dengan pikiran yang jernih, dan dengan hati yang tenang. Setiap institusi, kesinambungan hidupnya ditentukan oleh efektivitas proses alih kepemimpinan dari waktu ke waktu.

Proses ini umumnya lebih dikenal sebagai sirkulasi elit yang di Indonesia amat

terencana dan teratur berlangsung dalam lingkungan organisasi ABRI, misalnya.

Dalam konteks kepemimpinan negara yang besar seperti Republik Indonesia, masalah ini tidak saja krusial tetapi sangat sensitif secara politis, ekonomis, dan sosial. Strategi Pak Harto untuk tidak menampakkan calon-calon penggantinya menurut saya sangat tepat, mengingat budaya dan kondisi sosial politik bangsa Indonesia dewasa ini. Namun demikian, saya memperkirakan pada akhirnya Pak Harto kembali akan mampu menampilkan calon penggantinya pada saat yang tepat. Dan, ini pun bagian dari Fenomena Manajemen Soeharto.

Cosmas Batubara

Di masa yang akan datang, pasti persaingan akan semakin ketat maka pemimpin di masa depan tidak berbedajauh dengan sekarang. Ciri pertama, dia harus berani mengambil keputusan. Kedua, konsisten terhadap keputusannya dan bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambilnya juga, orientasinya harus kepada orang banyak. Keempat, pemimpin harus memiliki visi wawasan kedepan. Maka pada suatu saat tertentu dia harus berani mengambil keputusan yang tidak populer, tetapi tahu  jelas bahwa keputusan itu punya dampak jauh ke depan. Kelima, harus mau mendengar pendapat orang. Keenam, pemimpin harus terbuka untuk kritik.

Saya kira untuk masa depan hal-hal itu sangat penting. Pemimpin masa depan harus sadar bahwa kekuasaan yang ada di tangannya itu bukan miliknya sendiri, tetapi kekuasaan itu diberikan kepadanya untuk kepentingan orang banyak. Sehingga di dalam menjalankan pemerintahan tidak boleh memakai pendekatan kekuasaan.

Sumber : MERDEKA (11/06/1996)

_______________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 48-50.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.