SENTRALISASI VISI, DESENTRALISASI PRAKARSA

SENTRALISASI VISI, DESENTRALISASI PRAKARSA

 

 

Jakarta, Sinar Harapan

KETIKA menerima 273 bupati dan walikota dari seluruh Indonesia yang baru saja mengikuti penataran, Presiden Soeharto dengan amat jelas mengemukakan apa yang menjadi peranan pemerintah dan apa yang seharusnya menjadi peranan masyarakat dalam upaya pembangunan nasional kita.

Kepala Negara menegaskan bahwa pembangunan tidak mungkin dapat berhasil apabila hanya dilaksanakan oleh pemerintah sendiri.

Karena itu, keikutsertaan seluruh masyarakat mempunyai makna yang penting dan menentukan. Mengenai hal ini, kita ingin menekankan bahwa peranan pemerintah dan peranan masyarakat bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Keduanya saling membutuhkan. Yang satu tak akan berhasil tanpa yang lain.

Yang penting adalah, bagaimana menciptakan mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, di mana kedua pemegang peran itu bekerjasama secara kreatif tetapi juga berinteraksi secara dinamis.

Pada satu tahap tertentu, peranan pemerintah memang mutlak diperlukan sebagai pengambil prakarsa atau inisiator pembangunan. Namun demikian, apabila pembangunan itu telah mencapai satu titik tertentu, peran inisiator itu secara bertahap hams berubah menjadi peran dinamisator dan katalisator pembangunan. Maksudnya ialah, fungsi inisiator itu dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tidak mematikan prakarsa masyarakat, melainkan justru mendorong dan menumbuhkannya.

Kelengkapan yang ada pada pemerintah memang menempatkan pemerintah pada posisi sebagai satu-satunya lembaga yang mampu untuk merancang pembangunan secara cermat, terencana dan menyeluruh. Namun demikian, demi keberhasilan pembangunan itu sendiri, peran ini harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga perencanaan pembangunan itu tidak hanya mencerminkan kebijakan dan keinginan pemerintah, melainkan juga aspirasi masyarakat.

Semua itu menuntut sikap kenegarawanan yang luhur. Sebab secara naluriah, amat sulit bagi sebuah lembaga yang mempunyai fungsi dan posisi yang amat istimewa secara sukarela membagi kekuasaannya kepada yang lain.

VISI yang diperlihatkan oleh Kepala Negara menunjukkan sikap kenegarawanan yang luhur dan bijaksana.

Dengan tegas beliau mengatakan, bahwa pemerintah tidak bermaksud untuk mengambil alih semua tugas pembangunan. “Dalam menangani tugas-tugas pembangunan,” demikian Kepala Negara, “pemerintah memusatkan kegiatan pada pembangunan prasarana, bidang-bidang yang strategis, perintisan dan bidang-bidang lain yang tidak mungkin dilakukan oleh, masyarakat sendiri.”

Bila kita tidak salah memahami pernyataan, Kepala Negara tersebut, maka yang ingin dikatakan adalah, bahwa pemerintah mengambil porsi peran yang belum atau tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat. Dalam hal yang belum dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri, maka yang dilakukan oleh pemerintah adalah secara bertahap mempersiapkan segala sesuatu, sehingga pada satu waktu masyarakat dapat melanjutkannya. Inilah makna mengapa pemerintah memilih memusatkan kegiatan pada pembangunan prasarana, bidang-bidang yang strategis dan perintisan. Pemerintah merintis, masyarakat melanjutkan.

Agar supaya masyarakat dapat melaksanakan perannya, maka yang dibutuhkan bukan saja kondisi material tertentu, melainkan juga kondisi mental tertentu. Itulah sebabnya Presiden berpesan agar “seluruh jajaran pemerintahan dan kepala daerah khususnya, menciptakan iklim dan langkah-langkah yang mendorong berkembangnya prakarsa dan kreativitas masyarakat.”

Itu berarti, prakarsa serta kreativitas sekarang tidak lagi hanya bertumpu pada pemerintah pusat, tetapi juga dituntut dari pemerintah daerah, khususnya di daerah tingkat dua yang, menurut Presjden, adalah tempat di mana “potensi, kebutuhan serta dinamika masyarakat terletak”.

Di sini dituntut suatu kualitas kepemimpinan yang tinggi. Sebab prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah harus justru diarahkan untuk meningkatkan prakarsa dan kreativitas masyarakat di daerahnya. Bukan menciptakan ketergantungan baru.

NAMUN di samping itu, ada pula pernyataan Presiden yang ingin kita garis-bawahi. Beliau mengatakan bahwa “peranan yang makin besar bagi pemerintah daerah tingkat dua (harus) tetap berkembang dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Artinya ialah bahwa desentralisasi prakarsa hams tetap dilaksanakan dalam kerangka sentralisa si visi, yaitu negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Ini kita garis-bawahi, oleh karena prakarsa dan kreativitas daerah harus benar-benar kita laksanakan tanpa sedikit pun memberi angin kepada timbulnya separatisme, daerahisme serta “daerah-daerah istimewa” baru. Prakarsa dan kreativitas daerah kita kembangkan justru untuk memantapkan wawasan persatuan dan kesatuan bangsa dan tidak sebaliknya. Bahwa setiap jengkal tanah di Nusantara kita adalah milik semua dan seluruh rakyat Indonesia. Bukan “kapling­kapling” teritorial, etnis maupun agama.

 

 

Sumber : SINAR HARAPAN (21/06/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 119-122.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.