SEPULANG DARI RIO, MASING-MASING PUNYA TANGGUNG JAWAB BERAT
Jakarta, Kompas
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan yang Jebih dikenal sebagai KTT Bumi Minggu lalu telah berakhir, ditandai dengan diadopsinya Deklarasi Rio dan Agenda-21. Para peserta konferensi ambil bagian pula dalam penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim dan Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Deklarasi Rio memberi kita satu tata prinsip lingkungan, sementara Agenda-21 adalah rencana aksi 800 halaman dengan 120 program yang harus dilaksanakan tahun 2000 untuk membasmi kemiskinan dan melindungi atmosfer, hutan, padang pasir, tanah, samudera dan air segar.
Sebagai satu acara, KTT Bumi yang disponsori PBB ini sukses besar. Kehadiran lebih dari 100 kepala negara/pemerintahan cukup menjadi bukti keberhasilan itu. KTT Bumi telah menjadi panggung yang menarik, tapi terlebih lagi amat penting, karena pada forum ini diletakkan dasar-dasar perlindungan lingkungan global yang pelaksanaannya akan menjadi pertanggungjawaban kita kepada anak cucu di masa depan.
Satu hal yang melegakan, Indonesia telah ikut ambil bagian aktif pada KTT ini. Delegasi yang kuat pimpinan Menteri Emil Salim, bahkan ditambah dengan kehadiran Presiden Soeharto sendiri kiranya dapat menceritakan bobot perhatian kita terhadap KTT Rio dan masalah lingkungan.
Kini setelah KTT berakhir, dan para delegasi tiba kembali di tanah air masingmasing, ada waktu untuk merenungkan kembali apa-apa yang telah dicapai di Rio, dan selanjutnya menambah semangat untuk melaksanakan amanat yang telah dituangkan dalam deklarasi, agenda dan konvensi.
Satu hal yang masih dapat kita renungkan adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan Kepala Negara di depan KTT. Butir yang paling penting adalah yang menyebut, bahwa perlindungan lingkungan memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan ekonomi yang juga merupakan hak fundamental semua bangsa.
Perihal keterkaitan pembangunan dan lingkungan memang dalam perjalanan waktu semakin mendapatkan wawasan baru. Sebelumnya kedua hal tersebut sering dianggap sebagai bertentangan. Adanya pembangunan serta-merta menyebabkan rusaknya lingkungan.
Pandangan serupa itu tentu mengabaikan kenyataan, bahwa tanpa pembangunan berbagai akibat buruk menunggu. Misalnya saja, tingkat pendidikan masyarakat tidak berkembang, hingga bahkan mengaspirasi masalah lingkungan kurang mampu. Hal ini lebih Ianjut antara lain bisa menyebabkan paham pembatasan kelahiran sulit diterima. Padahal salah satu hal yang dianggap paling membahayakan lingkungan adalah laju pertumbuhan yang tidak terkendali, dan berikutnya menciptakan dunia yang sesak. Dampak penduduk besar tanpa pendidikan memadai jelas buruk bagi lingkungan.
Tanpa pembangunan, semakin tidak ada pula peluang untuk mengikis dan melenyapkan kemiskinan. Padahal kemiskinan juga sudah banyak disebut sebagai musuh lingkungan.
Walaupun demikian, anggapan bahwa pembangunanjuga punya andil dalam kerusakan lingkungan bukannya keliru seratus persen . Pengalaman selama ini kiranya cukup bercerita mengenai hal itu, terutama di kawasan negara maju tetapi berikutnya juga meluas di negara berkembang.
Paling mencolok dari akibat ini adalah limbah industri dan penggundulan hutan. Yang pertama , belurn sadarnya industrialis tmtuk mengeluarkan biaya yang memadai guna penanganan limbah, adalah pangkal soalnya. Sementara yang kedua adalah masih belum seimbangnya antara laju penanaman kembali hutan dan penebangannya.
Syukurlah bahwa sejumlah wawasan baru yang dicakup dalam paket pembangunan berkelanjutan kini mulai memberi perspektif baru. Pertama-tama harus disebut, bahwa pembangunan pada dirinya memang bukan satu hal yang keliru, bahkan penting, bahkan-seperti ditegaskan Presiden Soeharto merupakan hak dasar setiap bangsa. Hanya saja, hendaklah hal ini dilakukan dengan cara yang arif, memikirkan tidak saja hari ini tetapi juga hari esok, tidak saja diri sendiri tetapi juga anak cucu.
Diperkenalkannya dewan bisnis dalam program lingkungan juga menjadi bukti adanya wawasan baru ini, karena kita akui memang amat besar peranan industri dan bisnis dalam masalah ini.
DARI Rio memang masih membekas beda pandangan antara negara berkembang dan negara maju. Tetapi harus pula diakui betapa besar peranan negara-negara maju dalam penanganan lingkungan global. Dari mereka smnber daya yang paling penting adalah dana dan teknologi. Kesediaan negara maju untuk menyepakati pengalokasian 0,7 persen GNP untuk pelaksanaan Agenda-21 dipandang sebagai satu hal yang amat melegakan.
Kini langkah berikut yang ada tinggallah pekerjaan rumah dari Rio. Tanggung jawab setiap negara atas PR ini bukan pada seorang pejabat PBB, tetapi-seperti dikatakan Maurics Strong, Sekjen UNCED-kepada generasi muda dan generasi berikut.
Dalam masalah lingkungan inipula, tampaknya kita tak dapat menunggu, misalnya datangnya abad ke-21, karena setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun, peluang untuk mengembalikan kerusakan yang terjadi semakin berkurang. Kita paham benar kaitan antara penyalaan satu bola lampu dan hujan asam.
Kepada penyelenggara KTT Bumi, pencetusnya Komisi Brudtfand dan pemimpin bangsa yang menghargai upaya ini, tak ada yang dapat kita sampaikan kecuali rasa hormat dan penghargaan, serta keyakinan bahwa semua jerih payah tersebut akan mendapatkan penghormatan dan generasi yang akan datang.
Sumber : KOMPAS (16/06/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 149-151.