Serangan Umum 1 Maret 1949

Soeharto, SU 1 maret 1949

SERANGAN UMUM 1 MARET 1949[1]

 

Di bulan November 1948, sementara rundingan Indonesia-Belanda terus berjalan, dan melelahkan rasanya buat saya, berita sedih datang dengan tiba-tiba. Jenderal Urip Sumohardjo meninggal dengan mendadak. Seorang pemimpin yang telah mengabdikan dirinya pada Angkatan Perang kita telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Jenazahnya disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki.

Sementara itu rundingasn Indonesia-Belanda terus berjalan. Menteri Luar Negeri Belanda D.U. Stiker sendiri datang di Yogya dan berunding dengan Bung Hatta di Kaliurang.

Stikker tetep menghendaki bahwa “Wakil TinggiKerajaan Belanda di dalam Negeri Federal Sementara selama masa peralihan harus mempunyai kekuasaan penuh.” Tetapi Bung Hatta yang tentunya didukung oleh Bung Karno dan Jenderal Sudirman, dengan tegas menolak campur tangan Belanda dalam urusan interen Republik.

Belanda terus menuduh pihak Indonesia melanggar gencatan senjata. Pihak kita menuduh justru mereka yang terus-menerus melanggar kesepakatan. Lalu perutusan Belanda itu kembali ke negerinya setelah perundingan dengan pihak RI buntu.

Tanggal 11 Desember 1948 dalam suasana yang tambah menghangat, delegasi Belanda mengirimkan nota kepada Komisi Tiga Negara yang menyatakan bahwa Belanda tidak mungkin berunding dengan RI. Belanda akan membentuk pemerintahan interim, katanya.

Kemudian balas-membalas surat-surat diplomasi terjadi.

Sementara itu Wakil RI di PBB L.N Palar mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menempatkan lagi soal perselisihan Indonesia-Belanda dalam agenda.

Suasana tegang itu ternyata meletup.

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda secara mendadak menyerang Yogyakarta melewati Maguwo yang akhirnya bisa masuk kota. Itulah Agresi Belanda ke-2.

Perlawanan dari pihak kita waktu itu kecil. Memang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan semula, sebelum itu pasukan-pasukan TNI telah mengundurkan diri ke luar kota. Komando kita yang ada di kota Yogya ialah Komando Militer Kota, KMK, yang langsung berada di bawah MBAD. Komandannya Letkol  Latief Hendraningrat yang pada tanggal 17 Agustus 1945 mengerek bendera Merah Putih di Gedung Proklamasi, di Pegangsaan Timur, Jakarta.

Maka dengan sendirinya saya tidak bisa mencampuri apa yang dilakukan di kota itu. Saya sebagai Komandan Brigade banyak mempersiapkan pertahanan di luar kota, minus Kota Yogya.

Yang ada di kota waktu itu hanya satu kompi, pengawal Kompi Brigade dan pengawal Presiden. Maka praktis waktu penghambatan terhadap serangan Belanda dari Maguwo terus ke kota itu hanya dilakukan oleh satu kompi saja, yakni kompi pengawal pribadi saya.

Saya menyadari tugas yang berat itu dalam keadaan tanpa pasukan. Saya juga masih juga berusaha menghambat pasukan musuh yang bergerak. Maksud saya memberi kesempatan kepada Pemerintah di kota, agar supaya mengungsi dan melakukan bumi hangus. Tapi ternyata yang mau mengungsi hanya Pak Dirman dalam keadaan sakit, setelah satu paru-parunya dibedah belum lama berselang. Bung Karno dan Bung Hatta memutuskan untuk tinggal ditempat. Nyatanya mereka ditawan, dikirimkan ke Prapat, Sumatra. Yang sempat dibumi-hanguskan hanya gedung KP-5, yakni Gedung Korps Penyelidik yang dipimpin oleh Kolonel Lubis, letaknya di dekat jembatan Kewek, dan markas Brigade saya.

Pasukan Pak Dirman sudah terus mengawal Pak Dirman, sedang CPM berceceran karena kecuali mengawal Pak Dirman juga mengawal Presiden dan Wakil Presiden. Ada pasukan Militer Akademi, tetapi mereka masih kader-kader sehingga tidak bisa digunakan.

Saya masih bertahan hingga pukul dua atau tiga siang waktu itu. Kami masih sempat tembak menembak dengan tentaraBelanda di selatan Sentul. Sewaktu tembak-menembak itu saya sungguh prihatin, bagaimana kecewanya rakyat Ibukota Yogyakarta menyaksikan Belanda dengan mudah masuk ke tengah kota. Mereka tentu tidak akan tahu bahwa saya tidak punya pasukan. Pasukan saya ada di Purworejo, di daerah barat.

Otak saya seakan-akan berputar, cari akal, bagaimana caranya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI. Bagaimana meyakinkan mereka, bahwa TNI masih mampu mengadkaan perlawanan. Satu-satunya jalan adalah melakukan serangan balasan secepat mungkin  ke ibukota. Dalam kesempatan itu sayapun menyadari, bahwa Yogya adalah Ibukota Republik. Apapun yang terjadi di Ibukota sangat besar pengaruhnya terhadap perlawanan di daerah lainnya. Begitu pula terhadap dunia luar.

Di tengah suasana tembak-menembak dengan Belanda di kampung Nyutran pinggiran kota sebelah tenggara, secara kebetulan Kapten Widodo menghampiri saya. Saya tahu bahwa Widodo itu Komandan Kompi dari Batalyon Sardjono yang ada di Purworejo. Tetapi tidak saya lewatkan kesempatan itu. Saya perintahkan, “Kamu segera lapor kepada Komandan Batalyon bahwa musuh sudah ada di Yogya. Sekarang, tarik seluruh batalyon ke Yogya. Segera susun sektor di Selatan Yogya. Dan tunggu perintah saya sambil mempersiapkan untuk melaksanakan serangan umum ke Kota.” Saya tutup pembicaraan itu dengan Komando ulangan itu: “Tunggu perintah saya”.

Setelah Widodo berangkat, saya menuju Ngotho, tempat Pos Komando Pertama yang telah ditentukan sebelumnya, memberi petunjuk pada staf untuk memindahkan Posko ke sebelah timur Kali Opak di desa Segoroyoso. Saya memutuskan, segera memutuskan konsolidasi, mendatangi seluruh wilayah Yogya. Dengan kelompok kecil saya terus berkeliling daerah.

Malam itu saya bergerak ke barat, menyusun sektor di daerah itu. Yang ada disana waktu itu Mayor Ventje Sumual. Maka saya tunjuk dia menjadi pimpinan di sektor barat dengan tugas menghimpun, mengkonsolidasi semua pasukan yang bersenjata di daerahnya. Dengan kekuatan yang ada di sektor Barat, segera dilakukan pengintaian untuk mengenal medan, melakukan serangan gerilya pada musuh, penghadangan terhadap konvoi musuh dan mempersiapkan diri untuk melakukan serangan umum ke kota dari arah barat atas perintah saya.

“Tunggu perintah saya”, saya tegaskan kepada Sumual seperti sudah saya tegaskan kepada widodo.

Maka kemudian saya terus menuju ke utara. Disana adapasukan MA (Militer akademi). Komandannya seorang kolonel, Kol. Djatikusumo. Karena pangkatnya lebih tinggi daripada pangkat saya, maka saya menunjuk Kepala Stafnya saja, Mayor Kasno, untuk memimpin sektor utara, dengan tugas yang sama. Semua pasukan yang lari menyingkir ke utara harus dia himpun.

Dari sektor utara juga harus diadakan serangan kecil-kecilan, sambil mengenal medan disebelah utara dan mempersiapkan diri untuk serangan umum ke ibukota.

Lalu saya menuju ke daerah sebelah timur. Disana saya tunjuk Mayor Soedjono, dari batalyon saya sendiri, untuk memimpin di sektor itu dengan tugas yang serupa. Maka kemudian pasukan yang ada di sebelah timur itu dihimpun dan lantas mengadakan serangan-serangan gerilya terhadap kedudukan musuh sambil menunggu perintah saya.

Lalu saya kembali ke selatan.

Sesampai di daerah selatan Batalyon Soedjono sudah datang dari Purworejo yaitu batalyon yang saya perintahkan untuk datang melalui Widodo. Dengan demikian, maka semua persiapan sudah beres. Cuma di kota belum terbentuk pasukan karena waktu itu saya belum masuk kota. Tetapi kemudian saya tetapkan kota Yogya berda di bawah pimpinan Letnan Marsudi, dan wakilnya Letnan Amir Murtono.

Segera saya membuat rencana serangan umum pertama. Maksud saya bukan untuk menduduki, melainkan untuk menunjukkan kepada rakyat, dan kepada Belanda bahwa TNI masih ada.

Maka serangan kami lakukan pada tanggal 30 Desember malam hari. Serangan inilah yang kelak oleh sementara pihak disebut seolah-olah gagal. Yang menilai begitu, ia tidak tahu, apa maksud serangan umum pertama itu.

Pada waktu kami kembali dari menyerang, kami dihadang oleh pasukan Belanda karena justru pada tanggal 30 Desember itu tentara Belanda bergerak dari kota Yogya ke sebelah barat, ke desa Pedes, dan terus ke selatan, menuju bantul. Tanggal 31 pagi pasukan Belanda itu bergerak dari Bantul utara. Saya hampir saja terjepit. Tetapi Alhamdulillah, saya bisa lolos dari kepungan.

Lalu terus saya perintahkan lagi kepada sektor-sektor agar terus menerus melakukan serangan di daerahnyamasing-masing. Serangan gerilya dan pencegatan pun harus dilakukan sambil mempersiapkan diri untuk melakukan serangan secara besar-besaran ke kota atas perintah.

Setiap serangan dalam perang gerilya saya anggap tidak ada gagalnya. Serangan itu tidak dimaksudkan untuk menduduki dan kemudian mempertahankan daerah yang diserang, melainkan untuk memperlemah kekuatan musuh.

Kemudian kami lakukan serangan berikutnya sepuluh hari setelah serangan pertama. Lalu kami laksanakan serangan yang ketiga pada pertengan Januari dan serangan keempat kalinya di permulaan Februari. Pada serangan umum ketiga itulah saya membentuk Komando Sektor Kota dengan Letnan Marsudi sebagai komandannya. Semua itu merupakan rangkaian usaha dalam melaksanakan perang gerilya. Tetapi semua itu kami lakukan di malam hari.

Apa yang terjadi kemudian?

Persis pada waktu saya menyetel radio memantau siaran luar negeri bersama-sama dengan Purhadi, perwira PHB yang sekarang sudah tiada, terdengar siaran luar negeri mengenai perdebatan di PBB. Belanda mengatakan bahwa tindakan polisionilnya, begitulah sebutan mereka, telah berhasil. Yogya telah mereka duduki, pemerintahan Belanda berjalan lancar, TNI sudah tidak ada, ekstrimis sudah di luar kota, katanya. Hati saya melawan mendengar siaran itu. Sudah empat kali kita melakukan serangan, masih juga mereka lantang mengatakan begitu.

Seketika itu saya berfikir, “Bahan apa yang akan digunakan Palar, Wakil RI di PBB untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu?”. Maka muncul keputusan dalam pikiran saya: kita harus melakukan serangan siang hari, supaya bisa menunjukkan pada dunia kebohongan si Belanda itu.

Waktu itu tidak ada komunikasi antar pimpinan TNI. Pak Dirman sudah berada di dekat Jawa Timur. Mungkin sudah di Pacitan. Mungkin sudah di desa Sobo. Komando Panglima Divisi ada di Ngangkrik, Magelang. Kita memerlukan saktu berhari-hari untuk bisa sampai ke sana.

Sistem Wehrkreise, yang sudah kita putuskan untuk dipakai, menetapkan memberikan wewenang kepada Komandan Wehrkreise untuk mengambil inisiatif yang sesuai keadaan dan kemampuan masing-masing.

Lalu saya putuskan, di pertengahan Februari mengadakan serangan pendahuluan terhadap pos-pos Belanda di luar kota, untuk mengelabui perhatian tentara Belanda, seolah-olah kita tidak akan menyerang kota. Dengan begitu, kita buat mereka lengah.

Setelah itu, saya perintahkan setiap pasukan mempersiapkan diri untuk melaksanakan serangan umum. Waktu saya tentukan : pada tanggal 1 Maret, serangan pagi. Pasukan kita saya tetapkan menggunakan janur kuning sebagai tanda pengenal. Saya tekankan, serangan kita itu bukan untuk menduduki dan terus mempertahankan kota itu. Mempertahankan itu bertentangan dengan taktik gerilya. Mengambil sikap mempertahankan itu bisa dihancurkan lawan yang punya senjata lebih ampuh. Sebab itu, kita menyerang untuk tujuan politis, agar supaya dunia mengetahui bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan. Sementara itu saya anggap penting adanya unsur pendadakan, karena hal itu merupakan salah satu unsur yang bisa membuahkan kemenangan. Alhasil, serangan itu kami lakukan dengan perencanaan dan persiapan yang matang.

Saya pimpin serangan itu dari sebelah barat masuk lewat Kuncen terus ke Pathuk.

Saya rahasiakan rencana ini. Tidak boleh bocor.

Sementara itu saya mendengar kabar gembira di tengah ketegangan itu. Istri saya yang saya tinggalkan di Kota, dikabarkan sudah melahirkan pada tanggal 23 Januari 1949. Anak kami yang sulung perempuan, yang kami beri nama Siti Hardijanti hastuti (Tutut) ternyata menambah semangat saya untuk berjuang. Dalam pada itu, saya mesti sabar karena belum bisa menengoknya. Pada waktu sirene akhir jam malam berbunyi tanggal 28 Februari 1949 pagi, kami dikejutkan oleh bunyi ledakan dan tembakan yang cukup gencar. Mana pula tidak terkejut, sebab telah saya tetapkan serangan itu akan kita lakukan pada tanggal 1 Maret, pagi, pada waktu sirene akhir jam malam. Ternyata Letnan Komarudin telah salah hitung.

Rupanya Belanda mengira, serangan umum yang akan kami lancarkan itu Cuma seperti apa yang telah terjadi pada tanggal 28 Februari itu.

Yang saya khawatirkan pada waktu itu ialah pembalasan tentara Belanda terhadap rakyat di kota. Mungkin sekali musuh kita akan mengadakan pembersihan dan lantas rakyat yang tidak berdosa ditembaki.

Maka saya menemukan jalan keluarnya, agar hal yang saya risaukan itu tidak terjadi. Terpikir oleh saya, begitu serangan umum itu nanti selesai, begitu kita mengadakan serangan terus-menerus terhadap pos-pos Belanda yang berada di luar kota, sehingga tidak ada waktu bagi mereka untuk membalas dendam terhadap rakyat. Begitu rencana saya waktu itu, dan ternyata kemudian berhasil.

Tepat pukul 06.00 pada tanggal 1 Maret 1949 bersama dengan dibunyikannya sirene akhir jam malam, yang telah saya tentukan sebagai tanda mulai serbuan, terdengarlah tembakan yang gemuruh di seluruh kota. Dari pelbagai arah kami menyerang kota. Memang mulai sore hari kami telah menyusup ke kota, dan pagi hari sebelum sirine berbunyi kami sudah di depan pertahanan Belanda.

Belanda kaget, Kolonel Van langen, yang baru bangun, rupanya dikejutkan oleh gemuruhnya serangan di pelbagai penjuru.

Dalam waktu singkat kami kuasai seluruh kota. Bendera Merah Putih dikibarkan di Jalan Malioboro dan beberapa tempat lainnya. Rakyat menyambut kami dengan pekik “Merdeka”.

Kami tahu, Kolonel Van Langen meminta bantuan dari Semarang. Brigade Gajah Merah dimintanya datang di bawah pimpinan Kolonel Van Zanten.

Yogya kami kuasai hingga tengah hari. Memang sejak semula kami tidak berniat untuk mendudukinya dan mempertahankannya terus. Enam Jam saja kami duduki Yogya. Itu pun sudah cukup untuk mencapai tujuan kami.

Kemudian sewaktu Belanda mendapat bala banyuan dari Semarang, saya perintahkan pasukan-pasukan mundur. Tujuan serangan telah tercapai dan kemudian saya perintahkan pasukan-pasukan untuk menyerang pos-pos Belanda yang ada di luar kota.

Serangan Umum 1 Maret pada siang hari itu kemudian kita beritakan ke luar negeri melewati Sumatera. Dari Sumatera berita itu lalu disiarkan ke check-point-nya di Birma dan dari Birma diteruskan ke New Delhi dan terus tersebar di dalam sidang-sidang PBB. Kita beruntung masih memiliki pemancar radio di Playen (Wonosari). Pemancar yang dipimpin Perwira AURI Boediardjo[2] inilah yang memberitakan ke luar negeri.

Belanda mengetahui pemancar ini. Karena marahnya, pada tanggal 9-10 Maret 1949 Belanda menyerang Wonosari secara besar-besaran. Dalam hati, saya tertawa, karena dengan serangan itu Belanda masuk perangkap strategi saya. Mereka tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk pembersihan di kota. Rakyat kita di kota selamat dari pembalasan Belanda. Untuk lebih membingungkan Belanda, dua kompi yang telah saya siapkan ialah kompi Widodo dan kompi Darsono, saya pimpin sendiri bergerak ke barat menyerang Bantar Sleman, Kaliurang, lalu menyerang Wonosari. Pada tanggal 5 Apri 1949 kami tiba kembali di Imogiri dan Segoroyoso. Tangal 9 April 1949 barulah kami pindah ke Bibis, mendekati kota.

Mengenang kembali agresi Belanda ke-2 dan Serangan Umum itu saya berfikir, penyerangan Belanda itu dipengaruhi oleh berbagai perkembangan yang terjadi. Antara lain oleh adanya pertentangan pendapat diantara para pemimpin Indonesia, sehubungan dengan hasil “Persetujuan Renvile” 17 Januari 1948. Hal itu terbukti antara lain dengan timbulnya pemberontakan PKI Madiun. Hal lain adalah suasana yang mempengaruhi Angkatan Perang RI, APRI sendiri, dengan adanya reorganisasi dalam tubuhnya. Daerah Jawa Tengah, umpamanya, yang semula terdiri atas empat divisi, lantas diciutkan menjadi satu divisi, yaitu Divisi Diponegoro. Sementara Yogyakarta yang tadinya mempunyai empat resimen, kemudian diperkecil jumlahnya menjadi satu resimen. Perkembangan lain yang mempengaruhinya adalah suasana perundingan RI-Belanda sendiri yang tidak mencapai titik temu, sekalipun telah dibantu oleh Komisi Tiga Negara. Mengenai hal ini kalangan politisi Indonesia ketika itu optimis, Belanda tidak akan menyerang kedudukan RI, sehingga perundingan sebaiknya terus dilakukan. Sebaliknya pimpinan APRI berpendapat, perundingan itu merupakan taktik Belanda untuk menyusun kekuatan. Perhitungannya, pasti Belanda akan menyerang kedudukan kita. Sehingga, berdasarkan perkiraan itu, para komandan brigade diberi petunjuk untuk melalukan perang gerilya jika Belanda melakukan penyerangan.

Diingat kembali, Serangan Umum 1 Maret itu merupakan bagian dari strategi perjuangan bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya dari satuan yang bergabung dalam Wehrkreise III ketika itu, untuk mengusir penjajah Belanda dari Bumi Nusantara. Jadi, peristiwa heroik itu tidak berdiri sendiri. Penyerangan kita itu sendiri mempunyai tujuan politis, militer maupun psikis, karen akota Yogyakarta pada waktu itu adalah kota penting, ibukota Negara Republik Indnesia.

Belakangan ini (akhir Oktober 1986) kami peringati lagi peristiwa penting itu dengan mengesahkan berdirinya Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Kami buat panji Paguyuban Wehrkreise dan saya menyerahkannya dalam upacara kekeluargaan yang dilangsungkan di rumah, di jalan Cendana kepada Ketua Umumnya, Sutopo Juwono, bekas pelakunya juga waktu lalu.

Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa baru setelah tiga puluh tahun kedua badan ini kami bentuk?. Sebetulnya sudha lama sekali kami rasakan pentingnya didirikan paguyuban dan yayasan ini, terutama dalam rangka mewariskan nilai-nilai sejarah dan perjuangan kepada generasi muda. Hanya karena kesibukan para pelaku dalam tugasnya masing-masing, maka baru sekarang (1986) bisa terbentuk. Tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Dibentuknya “Paguyuban Wehrkreise III” dan “Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949” ini sama sekali tidak untuk menonjol-nonjolkan diri atau menonjolkan para pelaku secara keseluruhan. Kami membentuknya selain itu untuk mewariskan nilai-nilai sejarah dan perjuangan, juga sekaligus sebagai koreksi agar kesalahan-kesalahan dalam operasi perjuangan dulu itu tidak terulang lagi oleh para pelaku dalam operasi-operasi militer di masa mendatang.

Galeri Foto:


[1]        Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982

[2] Opsir Udara III, sama dengan kapten.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.