Setelah ke Turki, Rumania, dan Hongaria

Setelah ke Turki, Rumania, dan Hongaria[1]

Saya melakukan kunjungan kenegaraan ke Turki, Rumania, dan Hongaria di bulan September 1985, sesudah saya melaksanakan hal yang serupa ke sejumlah negara Eropa Barat, ke Australia, negara­negara di Asia dan Timur Tengah, dan tiga kali ke Amerika Serikat dalam kedinasan saya sebagai Presiden. Kunjungan itu adalah kunjungan balasan dan merupakan kunjungan pertama bagi saya ke kedua negara anggota Pasaran Bersama Eropa Timur (Comecon) dan Pakta Warsawa, yakni Rumania dan Hongaria.

Setelah kunjungan ke tiga negara itu saya menjadi lebih yakin akan kebenaran Pancasila, baik sebagai dasar negara, sebagai ideologi maupun sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Keyakinan ini timbul setelah saya menyaksikan dan mengkaji pelaksanaan ideologi dan sistem penyelenggaraan negara di negara-negara yang untuk pertama kali itu saya kunjungi.

Turki adalah sebuah negara demokrasi, nasional, dan sekuler, di mana individu mendapat ruang gerak yang cukup leluasa. Hongaria dan Rumania adalah negara-negara komunis yang pada dasarnya memberi tempat lebih leluasa kepada kebersamaan. Hanya saja, dalam politik luar negerinya Rumania mengembangkan langkah-langkah yang tidak seratus persen menuruti garis kebijaksanaan negara-negara komunis yang lain, khususnya Uni Soviet. Tetapi ke dalam, Rumania melaksanakan sentralisme yang ketat. Hongaria dalam melaksanakan politik penyelenggaraan negara di dalam negeri nampak lebih condong ke agak liberal, tetapi dalam politik luar negerinya lebih menyesuaikan langkahnya dengan Moskow serta anggota-anggota Comecon dan Pakta Warsawa yang lain.

Pancasila menyerasikan pengembangan individu dan kebersamaan. Ini perlu dimantapkan pada strategi pembangunan jangka panjang tahap kedua agar pembangunan manusia seutuhnya dalam suasana kesejahteraan lahir-batin,  materiel-spiritual dapat terwujud.

Dalam pada itu saya melihat antara ketiga negara yang berbeda ideologinya maupun sistem penyelenggaraan negaranya, seperti Turki, Rumania, dan Hongaria itu ada persamaannya. Yakni persamaan dalam orientasi atau pandangan mereka mengenai beberapa prinsip dan permasalahan dalam hubungan antar-bangsa. Malah dalam hal ini tergaris pula persamaannya dengan Indonesia.

Negara-negara itu, dan juga Indonesia, sama-sama menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan prinsip hidup berdampingan secara damai. Malah bagi Presiden Rumania Ceaucescu, kedua prinsip itu juga harus diberlakukan dalam hubungan antara partai komunis berbagai negara. Jadi, partai komunis Uni Soviet, misalnya, jangan hendaknya mencampuri urusan intern partai komunis Rumania.

Turki, Rumania, Hongaria, dan Indonesia juga sama pandangannya mengenai masalah resesi dan ketegangan-ketegangan internasional. Upaya pembangunan di banyak negara berkembang tidak saja terganggu atau malah dimandegkan oleh resesi, tetapi juga oleh lomba persenjataan yang  menelan biaya banyak. Anggaran untuk memacu persenjataan dewasa ini (1985), khususnya lomba senjata antara negara-negara adikuasa, menelan biaya tidak kurang dari sembilan ratus milyar dollar AS. Lomba senjata inilah yang menimbulkan ketegangan internasional di samping merupakan kendala bagi pembangunan ekonomi. Kalau pengeluaran sekian banyak untuk persenjataan itu digunakan untuk membiayai pembangunan, manfaatnya pasti akan sangat besar bagi seluruh umat manusia.

Ketiga kepala negara dari Turki, Rumania, dan Hongaria itu dan saya, sependapat bahwa negara-negara maju sering mengambil tindakan sepihak yang merugikan negara-negara lain, khususnya negara-negara sedang berkembang. Ini terbukti antara lain dalam kebijaksanaan proteksi, seperti terhadap tekstil, dan dalam penentuan suku bunga yang tinggi. Padahal hutang itu digunakan oleh negara­negara berkembang untuk membiayai pembangunannya. Jumlah seluruh hutang negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini (1985) sekitar seribu milyar dollar AS. Kalau sepuluh persen  saja bunganya, maka jumlah seluruh bunga sudah mencapai seratus milyar dollar AS.

Eksklusivitas negara-negara maju itu menyebabkan dialog antara Utara dan Selatan tidak jalan atau macet. Ini perlu segera dihidupkan, antara lain dengan maksud mengusahakan terciptanya tata ekonomi dunia baru yang berdasarkan keadilan.

Terdesaknya negara-negara berkembang oleh kelompok negara maju tidak saja akibat sikap negara maju itu, tetapi juga karena negara-negara berkembang sendiri kadang-kadang kurang kompak, sehingga tidak dapat menghimpun diri sebagai suatu kekuatan yang disegani. Negara-negara Dunia Ketiga juga perlu memupuk rasa percaya diri. Dalam hubungan ini negara-negara berkembang perlu, antara lain melaksanakan berbagai keputusan badan-badan dunia yang sebenarnya menguntungkan Dunia Ketiga, misalnya keputusan mengenai komoditi terpadu an dana bersama. Langkah pertama dalam pelaksanaan itu ialah dengan meratifikasi keputusan yang pada prinsipnya telah mereka setujui. Telah saya kedepankan juga desakan untuk meratifikasi dalam pertemuan saya dengan pemimpin utama Rumania, Nicolae Ceaucescu.

Turki mengajak kerjasama di berbagai bidang ekonomi. Hongaria juga menyatakan kesediaannya untuk kerjasama dalam berbagai proyek di. Indonesia. Pelaksanaannya tentu saja harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Baik Rumania maupun Hongaria merasa mampu mengatasi kendala-kendala akibat resesi walaupun tidak tanpa pengorbanan dan kesulitan.

Rumania juga mengatakan keinginannya untuk mengimpor minyak dari Indonesia. Kepada negeri itu kita bisa menjual minyak jenis superberat karena. Rumania berkemampuan untuk mengolahnya. Ketetgantungan Rumania pada Uni Soviet akan minyak bisa menyulitkan gerak-langkahnya mengembangkan politik luar negeri yang cukup independen.

Di pihak lain, saya meminta kepada Rumania agar negeri itu bersedia mendukung keinginan Indonesia untuk dijadikan markas atau pusat intemasional Tropical Timber Association. Indonesia adalah produsen terbesar kayu tropis. Negara-negara produsen kayu tropis umumnya mendukung keinginan Indonesia itu.

Begitulah gambaran yang saya. kemukakan di pesawat  DC-10 Garuda Indonesia dalam penerbangan dari Abu Dhabi ke Jakarta, sepulang dati kunjungan ke tiga negara itu.

***



[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 419-421.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.