SIDANG DPR-GR SOROT PASAL 2, 17 DAN 35 RUU PTP KORUPSI

SIDANG DPR-GR SOROT PASAL 2, 17 DAN 35 RUU PTP KORUPSI [1]

 

Djakarta, Berita Yudha

Pemandangan umum anggota DPR-GR babak kedua mengenai RUU tentang Pemberontakan Tindak Pidana Korupsi, telah dilandjutkan lagi hari Sabtu dan merupakan pemandangan umum terachir dari babak kedua tsb.

Seperti halnja dalam pemandangan umum hari Djum’at dalam pemandangan umum hari Sabtu itu para pembitjara pada umumnja banjak memberikan sorotan terhadap beberapa pasal dari RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tsb. terutama jang menjangkut pasal2 17 dan 35-nja.

Pembitjara Sugeng Marsigit SH dari Fraksi Karya Pembangunan “C” al. menjatakan, bahwa azas2 pokok seperti azas2 “presumption of innocence” dan legal aid, harus tetap dipegang dan tertjermin dalam tiap perundang2an. Dalam hubungannja, kata pembitjara tiada perbedaan dalam RUU ini antara Pemerintah dan Fraksi Karya Pembangunan “A”.

Mengenai pasal 35 dari RUU jang mengandung ketentuan chusus transitol dan jang memperlakukan UU jang lama sebagai peraturan jang berlaku pada saat tindak pidana korupsi dilakukan, menurut pembitjara ketentuan ini adalah paralel dengan azas pokok dalam Hukum Pidana seperti jang dirumuskan dlm pasal l (1) KUHP jg dalam djawaban pemerintah disebut sebagai palladjus dari kepastian hukum. Demikian pula hubungannja dengan keketjualian seperti jang dirumuskan dalam ajat (2).

Djustru dengan telah dirumuskannja azas2 pokok tsb dalam KUHP, menurut pembitjara apa perlu ditjantumkan kembali dalam UU organik seperti RUU ini, ketjuali apabila setjaraa priori telah dianggap bahwa peraturan jang lebih menguntungkan ialah UU jang lama, baik jang mengenai hukum materiil maupun hukum atjaranja. Kami kira, demikian pembitjara, hal ini tidaklah 100 % benar adanja.

Djustru, kata pembitjara selandjutnja, untuk memperlihatkan pandangan bahwa masih tetap dianut azas legality dan bukan pembalikan pembuktian dalam RUU ini, kiranja Pasal 35 sedikit banjak agak mengganggu pelaksanaan azas tsb. sehingga lebih bidjaksana apabila ketentuan itu ditinggalkan atau dirumuskan setjara lain.

Pembitjara Sugeng Marsigit SH, dalam pada itu menjatakan pula, bahwa dalam mendjawab masalah2 jang menjangkut pasal 17 dari RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Pemerintah digunakan sebagai argumentasi bahwa ketentuan itu hanjalah sekedar merupakan aturan biasa dengan sekedar penjimpangan jang masih dibenarkan.

Setjara teoritis, demikian pembitjara, dapat diterima hal tsb, sebagai titik pangkal pemikiran bahwa Pasal 17 itu memang setjara murni tidak mengandung pengertian pembalikan pembuktian apalagi apabila ketentuan itu tidak dilandjutkan dengan ketentuan2 ajat (2) dan (3), jang inconcreto keterangan terdakwa untuk membuktikan dirinja tidak bersalah adalah dapat menambah atau mengurangi nilai pembuktian juridis dari pihak penuntut umum.

Jang Penting Pelaksananja

Pembitjara Oesman J. Helmi dari Fraksi PSII terlebih dahulu menjatakan rasa keketjewaan fraksinja karena katanja, pertanjaan2 jang telah diadjukannja dalam pemandangan umum babak pertama jl. tidak didjawab atau menurut istilah Helmi “tidak digubris” oleh Pemerintah.

Kata Helmi, kalau dalam pemandangan umum ini tidak terdjadi dialoog antara Pemerintah dan DPR-GR lantas apa maksudnja pemandangan umum itu ? Dia mengchawatirkan, bahwa dengan tidak dilajaninja pertanjaan2 jang diadjukan kepada Pemerintah itu oleh Pemerintah akan mengakibatkan menurunnja kepertjajaan rakjat terhadap DPR-GR jang tidak hanja merugikan DPR-GR sadja, melainkan djuga Pemerintah. Pembitjara mengemukakan pendapat Fraksinja, bahwa dalam soal pemberantasan korupsi jang penting bukan UU-nja, melainkan pada para pelaksananja. Sebagai tjontoh pembitjara menundjuk, bahwa dengan UU jang ada sekarang ini suatu perkara korupsi besar sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Bandung. Pembitjara menjatakan keheranannja kenapa UU ini mendjadi luntur keampuhannja di Djakarta. Apakah karena memang sifat dan kekuatan UU-nja lain di Djakarta lain di Bandung? tanja Helmi.

Pembiijara menjatakan, bahwa Fraksinja tidak begitu optimis terhadap hasil RUU ini kelak setelah mendjadi UU. “Kita bisa sadja mentjiptakan seratus UU Anti Korupsi, tapi keseratus UU itu mendjadi tidak berarti djika dengan djumlah banjak itu kita hanja ingin menggambarkan pada umum bahwa kia ingin memberantas korupsi tapi dibelakang itu terselip suatu maksud untuk mengalihkan perhatian”, kata Helmi.

Jang Tidak Mau Berantas Korupsi, Tidak Normal

Pembitjara Drs. A. Hendro Budianto dari Fraksi Karya Pembangunan “A” menegaskan, bahwa pemberantasan korupsi adalah keharusan dan djika ada jg tidak mau memberantasnja dan membasmi perbuatan2 jang bersifat merugikan Negara/ Rakjat, maka orang itu adalah tidak normal.

Ditandaskan oleh pembitjara bahwa Bank jang merupakan suatu lembaga jang vital dalam geraknja ekonomi jang akan dapat membangkitkan kegairahan dan semangat dalam membangun, hendaknja dapat dibersihkan pula dari unsur2 negatif, sehingga dapat mengembalikan kepertjajaan rakjat terhadap lembaga tsb.

Sasaran akan ditjapai dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ini, menurut pembitjara, hendaknja tidak akan menimbulkan kerusakan2 atau hal2 jang tidak diinginkan bersama.

Sementara itu pembitjara Malikus Supanto SH dati Fraksi karya Pembangunan “B” antara lain menjatakan, bahwa banjaknja dari pedjabat Bank jang menjelewengkan uang – uang nasabahnja mengurangkan kepertjajaan masjarakat kepada Bank2.

Tidak Melulu Tergantung

Pembitjara J. Suparmo dari Fraksi Katolik a.I. mengemukakan bahwa perundang2an itu tidak melulu tergantung kepada peraturannja sadja. Tetapi, kata pembitjara, perundang2an itu harus disesuaikan dengan perkembangan masjarakat sendiri.

Pembitjara menjatakan, masalah jang djuga penting adalah iktikad dan maksud baik dari para petugas hukum itu sendiri akan menentukan pula halmana tidak dapat dimasukkan dalam UU karena perumusannja sangat sulit.

Terdapat Kemadjuan dari UU No.24 Tahun 1960

Pembitjara T. Muchtar dari Fraksi IPKI a.l. menjatakan, bahwa djika dibandingkan dengan UU no.24 Prp. Tahun 1960, maka RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jg. sekarang ini memang terdapat kemadjuan.

Pembitjara dalam pada itu mengemukakan pula pendapat Fraksinja, bahwa korupsi tidak akan dapat ditanggulangi, kalau perekonomian tidak diperbaiki.

Dalam pada itu pembitjara Maizir Achmaddyna dari Fraksi Partai Muslimin Indonesia a.l. menegaskan bahwa korupsi tidak hanja ditindak setjara represip sadja, akan tetapi harus setjara preventif dan menjeluruh baik dalam tubuh Pemerintah sendiri maupun dalam masjarakat luas.

Mengenai RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri dikemukakannja, bahwa masih ada terdapat kelemahan2 dari djawaban Pemerintah mengenai RUU ini.

DPR-GR terima Usul Nj Sukahar dkk

Sidang pleno terbuka DPR-GR hari Sabtu jang dipimpin oleh Dr. Sjarif Thajeb telah pula menerima dan menjetudjui usul resolusi Nj. D. Sukahar dkk. tentang masalah lektur/batjaan anak2 jang telah diadjukannja beberapa bulan jang lalu di DPR-GR. (DTS)

Sumber: BERITA YUDHA (19/09/1970)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 521-524.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.