SOEHARTO – MARCOS:
INDONESIA TAMBAH EKSPOR MINYAK KE FILIPINA
Ditekankan, Pernyataan Menlu ASEAN di Bali
INDONESIA bersedia memberi tambahan penjualan minyak mentah kepada Filipina sebanyak 6.000 barrel sehari, sehingga akan menjadi 25.000 barrel. Jumlah tambahan ini adalah yang maksimal dapat diberikan, mengingat kebutuhan domestik Indonesia sendiri terus meningkat.
Demikian penjelasan Mensesneg Sudharmono, selesai pembicaraan tahap pertama Presiden Soeharto dengan Presiden Ferdinand Marcos di Puerto Azul Selasa malam. Sebelumnya, ketika perundingan masih berjalan. Menteri Penerangan Filipina Fransisco Tatad mengemukakan bahwa Presiden Marcos mengajukan permintaan tambahan dari 20.000 barrel menjadi 33.000 barrel sehari.
Filipina yang kehausan bahan bakar itu bahkan menyatakan bersedia membayarnya dengan beras. Tapi Dirut Pertamina Piet Haryono yang pada tahap akhir pembicaraan dipanggil masuk ke ruang pertemuan, sebelumnya sempat mengatakan kepada "Kompas" bahwa permintaan 33.000 barrel sehari itu "amat sulit dapat dipenuhi”.
Namun ia menambahkan bahwa jumlah pasti yang dapat diberikan, akan dirundingkannya dengan Presiden Soeharto. Perundingan Soeharto-Marcos tahap pertama itu berlangsung lebih dari dua setengah jam.
Menteri Sudharmono mengatakan, harga minyak lndonesia itu adalah harga umum international, dan kontraknya adalah untuk satu tahun, yang dapat diperpanjang per satu tahun.
Ia membenarkan, dicapai kesepakatan kerjasama untuk memanfaatkan gas alam Indonesia, yang akan dicairkan menjadi NGL, yaitu "Natural Gas Liquefied", yang nantinya dapat dijadikan bahan baku bagi pembuatan LPG (Elpiji, Liquefied Petroleum Gas).
Prinsipnya NGL itu akan dibuat di Indonesia, kemudian hasilnya dikirim ke Filipina untuk dibikin LPG Tapi soal investasinya, masih harus dibicarakan lagi.
Mengenai kesediaan Filipina untuk membayar minyak mentah Indonesia dengan beras, Mensesneg mengatakan Indonesia tidak akan melakukan barter.
"Jika Filipina memang menawarkan surplus berasnya dan kita mau beli, ya dibeli seperti biasa nya," katanya.
Ditanya mengenai masalah keamanan, yang menurut Menpen Tata djuga dibahas, Mensesneg menjelaskan hal itu terutama menyangkut situasi Indocina dan pengungsi, termasuk harapan-bagi konperensi internasional tentang pengungsi di Geneva, serta kemungkinan sekitar peranan Uni Soviet di Asia Tenggara.
Dalam pembicaraan yang menyangkut ”security" ini, ikut serta Menteri Pertahanan Filipina dan beberapa perwira tingginya yang dipanggil masuk.
Tempat pembicaraan kemarin petang itu di suatu ruangan "Palicipan Sport and Beach Club" di kota peristirahatan Puerto Azul, 60 km Baratdaya Manila.
Peningkatan Perdagangan
Menurut keterangan yang diperoleh, pihak Indonesia juga berminat untuk meningkatkan perdagangan bilateral antara kedua negara, khususnya dalam rangka memperluas dan memperbanyak jumlah komoditi.
Sekalipun neraca perdagangan antara kedua negara sejak tahun 1976 menguntungkan Indonesia, namun sebagian besar dari jumlah ekspor itu terdiri dari minyak mentah.
Menurut Atase Perdagangan Atje Wiryaman, dalam tahun 1978 ekspor Indonesia ke Filipina betjumlah 148 juta dollar AS, sedangkan impornya hanya berjumlah sekitar 90,4 juta dollar AS. Akan tetapi dari jumlah ekspor tersebut 96,6 persen terdiri dari minyak bumi. Minyak Indonesia memenuhi sekitar 15 persen dari kebutuhan minyak untuk dalam negeri Filipina.
Menurut Menteri Tatad, kedua pemimpin juga menyinggung masalah pengungsi Indocina serta hal-hal yang diharapkan dihasilkan konperensi international tentang pengungsi di Geneva yang disponsori PBB tanggal 20-21 Juli. Kedua pemimpin menekankan lagi sikap ASEAN yang dicetuskan dalam pertemuan paraMenlu di Bali baru-baru ini, yaitu bahwa Vietnam dapat berperan positif dalam penyelesaian masalah pengungsi dalam konperensi Geneva itu.
Menjawab pertanyaan "Kompas" apakah kedua pemimpin menyatukan sikap kedua negara untuk dibawa ke Geneva, Menteri Tatad mengatakan "tidak sampai secara terperinci seperti itu." Ia menambahkan, Filipina sendiri menanggung beban sekitar empat ribu orang pengungsi Vietnam.
Ia menambahkan, dalam pertemuan itu kedua pemimpin juga memasuki masalah keamanan. Tapi Tatad sama sekali belum bersedia mengutarakan perincian persoalan keamanan tersebut. Ditanya apakah hal itu menyangkut masalah Filipina Selatan, ia tidak bersedia menjawab. Mengenai proses pencabutan klaim Filipina atas Sabah, iapun hanya mengatakan "masih terlalu pagi."
Menurut Francisco Tatad, dalam pertemuan tentang keamanan, dari fihak Filipina ikut serta Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile, sementara Presiden dibantu oleh beberapa pejabat tinggi, termasuk Mensesneg Sudharmono. Dalam rombongan Presiden, dari Hankam ikut serta Asisten Intel/Waka Bakin Mayjen Benny Murdani dan Pangkowilhan III Letjen Leo Lopulisa.
Ditanya apakah masalah lintas orang di perbatasan kedua negara termasuk dalam bahan pembicaraan, Tatad mengatakan "belum tahu".
Menurut keterangan yang diperoleh Kompas, masalah lalu lintas orang itu terutama menyangkut penduduk Indonesia yang tinggal di Kepulauan Sangir (Sulut) yang banyak memasuki wilayah Filipina untuk bekerja.
Beberapa waktu yang lalu, banyak diantara mereka yang dipulangkan ke wilayah RI, namun Pemda setempat mengalami kesulitan dalam pengadaan pemukiman bam bagi mereka. Pemerintah RI sendiri juga memulangkan setiap penduduk Filipina yang memasuki wilayah RI, termasuk orang-orang yang ikut melawan pemerintah Manila di Filipina Selatan.
Dalam pertemuan tahap pertama itu, suasananya memang santai. Kedua pemimpin tampak cerah. Presiden Soeharto mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna abu-abu dengan motif kembang, sementara Marcos berkemeja barong Tagalog. Ikut dalam pembicaraan itu antara lain Dirut Pertamina Piet Haryono.
Sambutan Meriah
Presiden dan rombongan dengan pesawat Boeing-707 Pelita Air Service, tiba di pelabuhan udara internasional Manila tepat jam 14.00 WIB atau 15.00 waktu setempat. Sekalipun ini merupakan kunjungan kerja, tapi penyambutan yang diberikan fihak Filipina cukup meriah. Setengah jam sebelum pesawat Presiden tiba di Manila, empat pesawat pembom-tempur "Crusader" F-8 dari Angkatan Udara Filipina datang menjemput, dan mengiringi sampai mendarat di Manila.
Tidak kurang dari Ny. Imelda Marcos sendiri yang mengalungkan bunga pada leher Presiden Soeharto, sementara para penyambut berjejal di tempat upacara, yang ternyata tidak jadi dengan sambutan secara kemiliteran, karena pihak Indonesia tidak menginginkan. Sekitar 7-8 helikopter telah menunggu. Presiden Marcos kemudian berdua dengan Presiden Soeharto naik ke sebuah heli Bell, langsung terbang ke Puerto Azul, diikuti heli-heli lainnya.
Selesai pembicaraan tahap pertama. Ny. Imelda Marcos selaku Menteri Pemukiman dan lingkungan Hidup, mengadakan jamuan santap malam dan dilanjutkan malam kesenian.
Menurut kalangan yang mengetahui, dalam kunjungan kerja ini memang tidak banyak hal-hal yang kuat urgensinya untuk diputuskan. Sekalipun demikian beberapa masalah yang dibahas, diharapkan dapat membuahkan hasil-hasil bermanfaat, seperti masalah klaim Filipina atas Sabah, masalah pemberontakan di Filipina Selatan, masalah lalulintas perbatasan RI-Filipina, peningkatan kerjasama ASEAN terutama dalam perdagangan antar negara dan perubahaan fasilitas tarif bea-masuk, situasi Indocina dengan pengungsinya, dan sebagainya. (DTS)
…
Puerto Azul, Kompas
Sumber: KOMPAS (18/07/1979)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 124-127.