SRI LANKA YANG SEDERHANA TAPI PENUH KEIKHLASAN
Catatan Dari Kunjungan Presiden Di Tiga Negara (II)
Oleh: R.B. Sugiantoro – Wartawan Kompas
YANG TAMPAK dari udara warna hijau melulu. Makin merendah pesawat, ketahuilah yang serba hijau itu dedaunan pohon kelapa, seolah menyelimuti bumi. Pohonnya tumbuh rapat seperti tak putus-putusnya.
Mata masih pedas ketika roda pesawat menyentuh landasan Katunayake, pelabuhan udara Kolombo pada hari Sabtu Jam 10.00, Sabtu 17 November.
Segera tampak deretan pasukan dan para penyambut berjajar di bawah tenda khusus, menghindari terik matahari. Bangunan utama bandarudara Kolombo melatarbelakangi. Kesan pertama. sejelek-jeleknya Halim atau Kemayoran, kedua bandar udara Jakarta ini masih menang.
Upacara penyambutan resmi Presiden Soeharto oleh Presiden Junius Richard Jayewardene selesai. Iringan mobil dengan para wartawan di buntut memakai bis, merambat menuju kota melalui jalan aspal kasar dan sempit untuk ukuran Jakarta, sebelum masuk kejalan utama yang lebih lebar.
Orang berkelompok dan sendiri-sendiri menonton iringan di pinggir jalan. Tak ada kesan pengerahan massa. Yang laki-laki, banyak cuma bersarung tanpa baju ataupun kaus singlet. Terbuka saja. Mungkin sudah kebiasaan mereka cari angin.
Gambaran mengenai kota Kolombo tak beda dengan yang sudah banyak diceritakan orang. Terasa benar kesan kota yang tua, kurang terawat. Kontras sekali rasanya, karena kami baru turun dari London. Keringatpun mulai meleleh, sesuatu yang hampir tak pernah dirasakan di London yang sedang winter. Mobil tak begitu banyak dijumpai.
Pendeknya kesederhanaan merajai suasana, kecuali ketika kaki melangkah memasuki lobby Hotel Lanka Oberoi, hotel terbesar dan mewah tempat para wartawan dan sebagian besar anggota rombongan Presiden diinapkan.
"Hotel ini baru diperluas untuk tamu KTT Non-Blok 1976 yang lalu," kata seorang petugas hotel. Saya pun langsung ingat betapa penting peranan Sri Lanka dalam sejarah Non-Blok selama ini.
Di Kolombo ini pulalah tercetus gagasan Konperensi Asia-Afrika di Bandung hampir 25 tahun lalu, dengan segala arti dan pengaruhnya dalam merubah wajah dunia dalam tiga dek de ini.
Sore itu juga, Presiden Soeharto memulai acara-acara resminya, dimulai dengan mengunjungi Presiden Jayewardene, politisi kawakan berusia 72 tahun. Orangnya tinggi semampai. Sekilas kesan ia orang pendiam, tapi keras. Dia dikenal sederhana.
Pakaiannya baju panjang putih dan sarung putih, dengan sandal jepit. Menggambarkan kesederhanaan Sri Lanka keseluruhan. Mobil kePresidenannya sebuah Austin hitam besar, seperti taksi London saja.
Tapi dia pulalah yang kini berusahamengubah "kesederhanaan" negerinya, dengan serentetan tindakan sejak mulai memerintah medio 1977, setelah mengalahkan PM wanita Ny. Sirimavo Bandaranaike.
Sebagai pengagum de Gaulle ia tinggalkan sistem pemerintahan seperti Inggris dan membuat konstitusi baru, menjadikan dirinya Presiden eksekutif, mengubah nama negerinya menjadi Republik Sosialis Demokrasi Sri Lanka.
Pihak oposisi mengritiknya, seolah Jayewardene mau otoriter. Tapi iapun menegaskan dirinyajustru akan mengembalikan demokrasi. Undang-undang yang tak demokratis yang dibuat pemerintahan lama, dihapusnya. Orang-orang yang ditahan sejak kerusuhan 1971 tanpa peradilan, dibebaskannya. Kemerdekaan yudikatif, dikembalikannya. Berbagai usaha pembaharuan ekonomi, dijalankannya.
Catatan menunjukkan, beberapa kemajuan diraihnya dalam ekonomi seperti kenaikan produksi bahan-bahan ekspor utama, seperti teh, karet dan kopra. Dan untuk pertama kalinya, produksi berasnya melebihi target. Begitu pula pemasukan pajak meningkat sekali karena perbaikan cara-cara pengutipan. Subsidi pangan, angkutan, pendidikan dan sebagainya, yang selama ini menyerap sepertiga anggaran Sri Lanka, bertahap dengan berani mulai dihapusnya untuk disalurkan ke investasi yang produktif.
Jayewardene juga mencoba membangun pertanian dan industri sekaligus, dengan proyek Mahaweli untuk pertanian, tenaga listrik dan seterusnya, serta pengembangan Free Trade Zone untuk mengundang investasi asing. Daerah perdagangan bebas ini oleh Jayewardene diimpikan akan menjadi semacam Singapura atau Hongkong nantinya.
Beberapa persetujuan investasi dari luar telah ditandatangani untuk berdiri di daerah perdagangan bebas ini.
Masalah pembangunan ekonomi ini tampaknya menjadi obsesi Jayewardene, sampai pendukungnya menganggapnya sebagai "Nabi Musa yang tengah memimpin baninya ke tanah yang dijanjikan".
Tapi jalan yang ditempuhnya tidaklah gampang. Ia tak bisa membelah Laut Merah begitu saja seperti Musa. Semua rencananya itu, masih merupakan eksperimen bam bagi negerinya. Belum lagi pengaruh krisis ekonorni dunia, terutama minyak bumi yang begitu dirasakan sekali oleh SriLanka.
Dalam hubungan itulah, menjelang kunjungan Presiden Soeharto di Sri Lanka, soal minyak burni telah jadi topik. Tak kurang dari Dubes Sri Lanka di Jakarta, telah kepagian menyatakan Indonesia bersedia menjual minyaknyake Sri Lanka tahun depan sebanyak 360.000 ton. Begitu mutlaknya ketergantungan Sri Lanka akan minyak, sehingga masalah inibaginya amat peka.
Kalangan RI mengemukakan, karena kepekaan Sri Lanka akan soal minyak itulah, dikhawatirkan bisa termakan oleh suara-suara yang menuding OPEC sebagai biang keladi segala krisis.
Dan mengingat negara OPEC adalah sesama negara berkembang dunia ketiga, tidak mustahil dapat membuyarkan persatuan mereka, yang menurut Indonesia amat diperlukan menghadapi soal lebih besar, dialog Utara-Selatan guna mendapatkan tata ekonorni dunia yang lebih adil.
Nada pidato Presiden Jayewardene pada jamuan kenegaraan yang diadakannya untuk Presiden Soeharto, sekalipun tak langsung, namun terasa menyindir juga inti soal tersebut.
Ia antara lain berkata, hendaknya antara sesama pihak Selatan, yakni negara-negara berkembang juga dipentingkan kerjasama ekonomi antara mereka sendiri. Tidak hanya mementingkan perjuangan dengan Utara atau negara-negara maju saja.
"Sudah tiba saatnya kita nyalakan lagi solidaritas Bandung dan identitas bersama yang pada masa lalu terasa sekali!" seru Jayewardene.
Presiden Soeharto selama di Kolombo dipastikan berusaha memperjelas posisi RI dalam masalah ini. Indonesia menyatakan, usaha menuding negara-negara OPEC sengaja dilakukan negara-negara maju, untuk mengalihkan perhatian dari perjuangan Selatan memperoleh tata ekonomi dunia yang lebih adil, sekaligus memperlemah posisi pihak Selatan jika mereka sampai terpecah.
RI sendiri sebagai anggota OPEC, berusaha memahami kesulitan sesama negara berkembangan dan Non-Blok yang tak beruntung karena ketiadaan sumber minyak, dan berniat memberi program bantuan khusus oleh OPEC.
”Tapi ini pun memang masih jadi perjuangan di OPEC sendiri," begitu pengakuan kalangan RI
Sementara soal minyak dan kemungkinan penjualannya ke Sri Lanka dalam jumlah amat terbatas masih dimatangkan, kunjungan Presiden di Kolombo membuka berbagai aspek keijasama lainnya yang konkrit.
Seperti persetujuan kerjasama teknik yang ditandatangani Menlu Mochtar, untuk saling tukar ahli dan seterusnya. Selain itu juga macam-macam komoditi yang bisa saling dijual-belikan, seperti semen, pupuk, beras dan sebagainya.
Sedang dalam soal-soal politik, tukar pikiran tentang perkembangan Non-Blok setelah KTT yang seri di Havana. Sri Lanka yang banyak berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik Non-Blok, prestisenya di lingkungan Non-Blok memang tinggi.
Satu soal politik yang Sri Lanka ingin memperoleh dukungan RI adalah persoalannya dengan India mengenai masalah ”Continental Margin”, menyangkut soal batas kedua negara berdasar endapan sungai Gangga. Indonesia sulit memihak salah satu.
Menlu Sri Lanka A. Hameed sampai datang ke kamar Mochtar di Hotel Oberoi, membawa serta peta-peta resminya. Indonesia paling banter hanya dapat menyatakan menghargai posisi Sri Lanka dan mendukung penyelesaian yang adil serta dapat diterima oleh semua pihak.
Sri Lanka sendiri dalam soal TimorTimur memang tidak pemah mendukung posisi RI. Tapi selalu bersikap abstain. Dan kalangan RI menganggap alot untuk merubah sikap tersebut.
Lepas dari semua persoalan dan keljasama itu, penyambutan kunjungan Presiden Soeharto di Sri Lanka terasa hangat, sekalipun dalam suasana serba sederhana. Mengesankan ketika Walikota Kolombo, Cooray menyelenggarakan resepsi kemasyarakatan bagi Presiden di Balaikota. Intinya mirip acara di Guild House London, tapi serba jauh sederhana dan kecil.
Dalam kesederhanaannya, terasa sekali ikhlasnya penyambutan.
Pers Sri Lanka juga beda sekali dengan kedinginan pers Inggeris. Pacla hari tibanya Presiden di Kolombo, hampir semua koran memberitakan secara besar-besar.
Ditambahkan berbagai artikel di halaman tengah, yang mungkin sebagian disuplai KBRI. Tak ketinggalan TV yang bagi rakyat Srilanka dinikmati baru mulai tahun ini.
Konon pembangunan sarana pertelevisian ini seluruhnya dibiayai Jepang dengan nilai US $ 40 juta. Tapi disertai ikatan, sampai 10 tahun mendatang. Sri Lanka harus membeli segala kebutuhannya mengenai pertelevisian hanya dari Jepang.
Pada tingkatan masyarakat, hubungan dengan Indonesia memang erat sekali. Nama Indonesia cukup dikenal sejak dulu, ketika Sri Lanka ikut membantu gerakan mempertahankan kemerdekaan RI, dengan memboikot segala kapal dan pesawat Belanda.
Sri Lanka dengan penduduk sekitar 14,5 juta, punya golongan minoritas asal Indonesia sekitar 50-60.000 orang! Ya, mereka betul-betul dari Indonesia, dan sampai kinipun sekalipun telah melalui sekian generasi, masih tampak cirinya.
Saya bertemu dengan BA Hussainmiya, dosen University of Sri Lanka Peradeniya, yang kini tengah menyelesaikan program doktor sastra Melayunya dari Monash University, Australia.
Dalam resepsi yang diadakan Atase Penerangan KBRI Kolombo, dia ungkapkan betapa masih eratnya tautan pikiran golongan penduduk ini dengan tanah asalnya. Dia sendiri mengatakan nenek-moyangnya dulu asal Madura.
Umumnya golongan penduduk ini menjadi pegawai negeri dan guru, serta beragama Islam. Dan Menteri Islam pertama di Srilanka adalah dari keturunan orang Indonesia.
Menteri Perburuhan tahun 1952-1956. Demikian pula Hakim Agung Islam pertama T. Akbar pada tahun 1930′ an dulu. Hussainmiya mengharap pemerintah RI dapat membantu pembangkitan lagi sastra "Melayu" dengan beasiswa dan sebagainya. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (30/11/1979)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 265-269.