STABILISASI POLITIK, DWI FUNGSI ABRI DAN KORUPSI [1]
Djakarta, Kompas
Kechawatiran Djenderal (Purn) T.B. Simatupang mengenai kemungkinan terdjadinja Amerika-Latinisme di Indonesia memang tjukup beralasan. Walaupun tidak setjara terang2an dikatakannja adanja antjaman kemungkinan itu, namun setjara samar2 ada dibajangkannja. Terserah kepada kita, dan terutama pihak penguasa untuk memahami sinjalemen itu dan mengambil langkah2 kongkrit untuk mentjegahnja.
Untuk tidak bitjara setjara berlebihan, kini gedjala2 akan timbulnya Amerika Latinisme di negeri kita makin tambah njata. Boleh sadja orang mengatakan betapa kini situasi politik makin bertambah stabil dan posisi Pemerintah Soeharto makin lama makin kuat oleh adanja dukungan umum rakjat Indonesia dan adanja pengertian dan apresiasi luar negeri, seperti pernah dituliskan oleh Dr. Alfian. Sebab pada hakekatnja kita belum pernah setjara sungguh2 mengudji sampai dimana adanja dukungan umum itu. Di negeri kita penelitian terhadap pendapat umum belum pernah dilakukan. Kalaupun pernah diselenggarakan poll terbatas sekali-dua, hasilnya belum boleh dianggap sebagai pendapat umum. Sebab, dalam masalah pendapat umum ini kita harus menjadari banjaknja faktor jang turut menentukannja, hingga menjebabkannja dengan tjepat sekali berubah.
Sampai dimana benarnja penilaian Dr. Alfian dan apa landasan dari penilaiannja itu setjara terperintji, kita tidak tahu. Tapi perkembangan politik sosial setelah pernjataannja jang dikemukakan pada awal tahun ini dalam hubungannja dengan aksi2 “Mahasiswa Menggugat”, menundjukkan bahwa pendapat umum kian hari kian bergerak ke arah jang lain.
Kesabaran manusia ada batasnja. Tampaknja inilah kenjataan jang kian hari kian menondjol. Dan Djenderal (Purn) Simatupang sebagai warga ABRI, memberikan peringatan jang baik sekali kepada golongannja. Waspadalah dalam melaksanakan Dwi-fungsimu.
Sewaktu peranan ABRI semakin menondjol di djaman Orla, pada umumnja kalangan jang tidak begitu antusias untuk ikut main politik dan dengan support dari golongan2 politik jang anti komunis, dengan gembira menjambutnja. Dwi-fungsi ABRI pada waktu itu dapat didjadikan balans-imbangan terhadap semakin hebatnja kegiatan PKI dan kaki tangannja. Tak dapat dihindari bahwa sedjak saat itu pula ABRI sudah disoroti oleh kedua pihak.
Kalau pihak PKI lebih tjenderung untuk menundjukkan betapa korupnja ABRI di pihak lain kita temukan golongan2 jang berusaha untuk mendapatkan gambaran jang objektif mengenai ABRI ini. Kalau ada jang korup, menjeleweng, kurang disiplin, kita harus waspada. Apakah oknum2 ABRI ini seluruhnja berbuat demikian karena mabuk kekuasaan, karena mentalitasnja memang sudah bedjat, mementingkan diri sendiri, ataukah karena mereka ini dengan sengadja berbuat demikian atas instruksi PKI jang membina mereka, hingga perbuatan2nja jang tak terpudji akan dapat diexpose oleh PKI demi kepentingan dan keuntungan strategi dan taktik mereka untuk dapatnja mereka mempertjepat mematangkan “revolusi komunis”.
Tentu sadja golongan2 ini kesal menjaksikan djagonja demikian tanpa mereka dapat berbuat sesuatunja untuk mengatasi keadaan. Dan sesudah terdjadinja pengchianatan G30S/PKI, mereka dapat lebih memahami dan mengapresiasi peranan Dwi-fungsi ini. Harapan mereka makin besar setelah menjaksikan kemampuan ABRI untuk mengambil-alih tanggungdjawab dan setjara berangsur2 menguasai situasi. Bahkan juga berhasil setjara tertib menurunkan Soekarno dari atas singgasananja.
Harapan berikutnja tentulah agar ABRI berhasil pula mendjadi stabilisator politik. Seperti sudah berkali2 dikemukakan ahli2nja ABRI adalah tandingan jang setimpal dari PKI karena adanja disiplin jang kuat dan organisasi jang baik, jang tidak dapat kita temukan pada parpol2 kita. Benar bahwa dalam ABRI faktor kebapakan atau Bapakisme masih kuat, tapi ini kini mulai dikembangkan dalam arti senioritas. Sebaliknja, Bapakisme dini, parpol2 memperlihatkan gedjala2 kemutlakan. Tidak heran djika djatuhnja tokoh2 tertentu diikuti pula dengan ambruknja parpol bersangkutan.
Akan Berhasilkan ABRI Dengan Dwifungsinja?
Pertanjaan ini dikemukakan dengan mengingat bahwa Dwifungsi tidak berlaku untuk selamanja. Ada ketikanja nanti ABRI kembali kepada fungsinja jang tunggal, asalkan ABRI berhasil membawa bangsa Indonesia kepada kematangan berpolitik.
Berhasil tidaknja ABRI dengan Dwifungsinja bergantung pada dua faktor: faktor intern ABRI sendiri dan faktor hubungannja dengan kekuatan2 di luar, kekuatan sosial politik -kulturil.
Pada masa jang lampau masalah2 intern ABRI terlalu banjak ditjampuri oleh kekuatan2 sosial politik diluarnja. Hampir2 ABRI terseret dalam pertentangan2 dan kehilangan kemampuannja sebagai perisai dan pelindung Negara. Angkatan diadudomba dengan Angkatan kesatuan dalam suatu Angkatan diadu-dombakan dengan kesatuan lainnja. Tiap2 kekuatan sosial-politik ingin menanamkan orangnja didalam posisi kuntji ABRI.
Sesudah pengchianatan G30S/PKI, setjara berangsur2 ABRI mengkonsolidasikan diri. Biar demikian, sebagai suatu kelompok jang berkuasa dan sekaligus memiliki kekuatan, didalam tubuhnja terkandung bahaja2 laten. Kekuatan sendjata, djika dipaksakan, selalu mengundang perlawanan bersendjata pula, Tidak semata2 jang datangnja dari luar, dari gerakan2 subversi, tapi djuga dalarn tubuh ABRI sendiri. Dan jang terachir ini sudah banjak kita lihat tjontohnja dari negara2 Amerika Latin, dari mana Djenderal (Purn) Simatupang mentjiptakan istilah Amerika Latinismenja.
DULU diharapkan tampilnja ABRI kegelanggang politik tidak semata2 untuk mendjadi faktor stabilisator, melainkan djuga memainkan peranan sebagai pemberantas segala bentuk penjelewengan, termasuk korupsi. Keadaannja kini mendjadi runjam, karena djuga korupsi sudah mendjangkit warga2 ABRI jang memegang kekuasaan. Saja berikan tekanan para warga2 ABRI jang memegang kekuasaan karena pada hakekatnja korupsi tidak bisa terlepas daripada kekuasaan. Artinja tanpa adanja kekuasaan korupsi tidak dimungkinkan, ini terbukti pada adanja oknum2 ABRI bawahan dan menengah jang terlibat dalam tindak2 pidana tradisional: perampokanpenodongan, pembunuhan, mereka ini adalah warga2 ABRI jang setjara kebetulan tidak memegang suatu kedudukan berkuasa, bahkan seperti “disingkirkan” dari herarki kekuasaan dan didjauhkan dari wabah korupsi. Karena itula satu2nja penjelewengan jang terbuka baginja ialah melakukan tindak pidana tradisionil, jang setjara tegas sudah dilarang oleh undang2 dan dengan mudah dapat dimasukkan kedalam kategori kriminil.
KORUPSI memang bukan privilesi ABRI, sebagaimana djuga korupsi itu dulu pun bukan privilesi sipil Korupsi lebih bersangkut-paut dengan kekuasaan.
Banjaknja ditondjolkan korupsi jang dilakukan oleh warga2 ABRI, terutama djenderal2nja bukannja tidak mengundang bahaja bagi ABRI. Hal ini sudah dengan sendirinja memberikan dorongan kepada golongan2 didalam ABRI sendiri, jang merasa tidak kebagian atau jang merasa dirinja bersih dan bahkan mungkin masih idealistis, untuk mempersiapkan suatu perebutan kekuasaan. Djika ini sampai terdjadi, maka sukarlah bagi kita untuk menghindarkan diri dari timbulnja Amerika-Latinisme. Atas dasar inilah sinjalemen Djenderal (Purn) T.B. Simatupang itu perlu mendapat perhatian jang chusus, terutama untuk mawas diri dan tidak hanja sekedar intropeksi, sebab mawas diri tidaklah sama dgn intropeksi.
Intropeksi pada hakekatnja adalah sama dengan retropeksi, memandang keadaan adalah djuga memandang kepada masa lampau Mawas diri djustru menekankan pada kekinian, pada jang sekarang dan ditempat ini, jg dilakukan terus menerus tanpa memandang kedepan maupun kebelakang. Djadi mawas diri adalah setjara sadar menilai tiap tindakan jang diambil pada saat itu djuga.
TIDAK adakah bahaja dari luar, dari kekuatan sosial poltik diluar ABRI? Bahaja itu ada tapi tak perlu dilebih2kan. Bahaja itu dapat kita temukan pada gerakan2 subversi tidak hanja jang berasal dari sisa2 PKI, tapi djuga dari kekuatan2 bawah tanah lainnja. Selama kekuatan bawah tanah ini terpetjah2 seperti keadaannja sekarang ABRI mempunjai kemampuan berlebihan untuk menghadapinja, ketjuali djika kekuatan bawah tanah itu berhasil melakukan taktik adu-domba seperti dulu lagi, hanja sekarang tjaranja lebih halus, lebih “sophisticated” kata orang sekarang.
Tjampur tangan dari luar terhadap persoalan intern ABRI setjara terbuka sudah tidak mungkin lagi sekarang. Kemungkinan jang ada kini ialah menarik garis pemisah dan memperdalam perbedaan antara perwira dan tamtama, antara pati, pamen dan pama, Djika sampai berhasil ditjiptakan suatu “communication gap” maka bahanjanja sukar dibajangkan dari sekarang.
DIEXPOSENJA korupsi oleh djenderal2 melalui pers dan kurangnja pembuktian-lawan untuk menjangkalnja, tapi hanja sekedar press release atau bantahan sesuai jg tidak disertai data2 dan keterangan jang djelas bisa sadja dimanfaatkan untuk itu. Disiplin pentingnja hasil kerdja dan saran2 Komisi-4 utk. segera diumumkan, disertai keterangan jg djelas dari tindakan2 Pemerintah dalam memberantas dan mentjegah korupsi baik jg dilakukan sebelum dibentuknja Komisi-4 maupun dengan saran2 Komisi-4 itu. Bahwasanja tidak semua saran2 Komisi-4 dapat dgn segera dilaksanakan atau bahkan ada saran2 jang tidak dapat dilaksanakan, kita dapat memahaminja.
KIRANJA pertanggungdjawaban Pemerintah jang bertalian dengan masalah Pertamina BULOG dan perkajuan akan lebih merupakan suatu determinan bagi perkembangan selandjutnja daripada hanja sekedar utjapan2 bahwa tidak benar korupsi makin meluas sesudah Komisi-4 bekerdja ataupun korupsi sudah makin menurun karena tindakan2 dari TPK dan sedjumlah “Big Shot” sudah ditahan. Pendjelasan jang lebih kongkrit dan kalau mungkin terperintji perlu diberikan. Dengan demikian sekaligus akan mempunjai efek kedalam bagi ABRI, tidak semata2 efeknja keluar untuk masjarakat ramai.
Kalau Djenderal (Purn) T.B. Simatupaang membuat lelutjon agar tidak ada orang latah mengutjapkan “Dwi Fungsi” mendjadi “Dwi-Fungsi”, kiranja masih dapat ditambahkan djangan hendaknja orang luar mengartikan “DWI Fungsi” adalah fungsi stabilisator dan sekaligus djuga fungsi kotor. Sebab, selama ABRI masih memegang kekuasaan, akan sukar ditjegah timbulnja penilaian jang timpang seperti anggapan bahwa kalau korupsi dilakukan ABRI maka kategorinja adalah “Kakap” sedangkan kalau oleh sipil kategorinja “Teri” seperti pernah dikemukakan oleh Djaksa Agung Arto belum lama ini.
Tentulah akan merupakan suatu kebanggaan sedjarah kelak djika ABRI tidak sadja berhasil mentjegah terwudjudnja pemerintahan militer di Indonesia, tapi djuga berhasil bertindak sebagai mordernisator dan stabilisator. (DTS)
(Sumber: KOMPAS 23/7/1970)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 478-483.