STABILITAS, DEMOKRASI DAN KETERBUKAAN [1]
Jakarta, Republika
Setiap kali Presiden Soeharto memberi peringatan tentang bahaya PKI (Partai Komunis Indonesia) atau cara-cara PKI, masyarakat tahu, situasi sudah dinilai gawat. Demikian juga halnya tatkala di atas pesawat yang membawa beliau dan rombongan pulang dari New Delhi ke Jakarta Jumat (17/12) yang lalu, Pak Harto menyampaikan sinyalemen kewaspadaan tentang bahaya Iaten itu.
Biarpun diungkapkan dengan tersenyum, semua orang menangkap isyarat itu sebagai peringatan keras. Dan orang pun mulai melakukan perhitungan, apa gerangan yang telah teijadi dan dimana letak ketidakberesan komunikasi politik yang melahirkan situasi yang dinilai telah gawat itu.
Memang, selama beberapa bulan terakhir, suhu politik dalam negeri menghangat. Komunikasi politik, oleh sementara kalangan dinilai terasa galau, karena berbagai sebab obyektif maupun subyektif. Sebab obyektif antara lain karena perjuangan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan nasional, memasuki era baru.
Era menyongsong kebangkitan nasional kedua, regenerasi, transisi dari pertanian ke industri, makin berimbangnya peran teknokrat-teknolog dan sebagainya, adalah beberapa isu pemicu intensitas debat dan perbincangan politik yang menghangat. Sebab subyektif, dalam rangka regenerasi dan pelaksanaan pesan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, ada sejumlah faksi, kelompok, bahkan tokoh- tokoh yang mesti bergeser perannya dan berubah kedudukan sosial serta relevansi politiknya.
Perubahan ini secara perseptif ataupun nyata bisa berarti lebih baik atau lebih baik dari yang diharapkan. Bagi yang merasa terpuruk pada posisi buruk, secara subyektif bisa dipahami kalau berusaha mengatasi situasi itu. Dinamika perubahan itu bisa kita lihat misalnya pada organisasi sosial politik seperti Golkar atau Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tetapi juga bisa terjadi pada organisasi-organisasi lain.
Maka wacana politik pun menghangat di dalam maupun di luar organisasi tersebut. Bahkan yang menyangkut tokoh dinamika itu terlihat dalam reaksi aneka rupa yang dampaknya relevan dengan terciptanya iklimpolitik seperti yang kita rasakan saat ini.
Maka orang pun mulai termenung, memperbincangkari, bahkan yang tidak sabar memekikkan tuntutan dan tuduhan ihwal demokrasi dan keterbukaan. Sasarannya sama, yaitu bagaimana demokrasi Pancasila bisa mengakomodasikan dinamika politik yang senyatanya dihadapi oleh Indonesia saat ini.
Di sinilah kekenyalan dan ketangguhan sistem politik yang kita pilih itu, mestinya bisa diuji. Sayang, subyek politik yang meramaikan wacana politik akhir-akhir ini belum seluruhnya mampu membudayakan nilai-nilai Pancasila secara tulus, bertanggung-jawab, dan jujur.
Praktek memaksakan kehendak dengan segala cara, argumen yang mau menang sendiri, menempatkan kepentingan individu atau kelompok di atas kepentingan yang lebih besar, bahkan menggunakan Pancasila hanya sebagai kedok untuk mencapai tujuan sempitnya, terlihat nyata dalam perbincangan politik nasional akhir-akhir ini. Malahan ada yang menggunakan peluang berdemonstrasi untuk menghina dan menistakan pribadi.
Ini semua menyerupai cara PKI memperjuangkan ideologi dan kepentingannya, dengan mengabaikan norma dan tatakrama yang sudah disepakati. Maka tepat sekali kalau kemudian Presiden Mandataris MPR mengingatkan kewaspadaan kita menghadapi perkembangan politik nasional akhir-akhir ini.
Sumber: REPUBLIKA (20/12/1993)
________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 374-375.