STABILITAS EKONOMI INDONESIA KESANKAN NEGARA NEGARA LDC[1]
Jakarta, Antara
Menko Eku Wasbang Dr. Saleh Afiff mengatakan, menteri-menteri keuangan negara-negara terbelakang (less developing countries LDC) banyak terkesan dan menanyakan stabilitas ekonomi Indonesia.
“Para peserta terkesan dengan stabilitas ekonomi Indonesia yang menghasilkan pertumbuhan,” katanya di Jakarta, Minggu sore, pada jumpa pers hari kedua Konferensi Tingkat Menteri (KTM) GNB tentang Utang dan Pembangunan.
Menurut Afiff, yang didampingi Kepala Badan Pelaksana Ketua (BPK) GNB Nana Sutresna, jumlah utang negara-negara LDC sudah mencapai taraf yang mempengaruhi sumber daya sehingga sebelum memasuki tahap stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, mereka perlu lebih dulu menyelesaikan utang-utangnya.
“Banyak di antara mereka bahkan ada yang baru saja selesai dengan perang saudara, sekalipun ada juga yang lebih stabil sehingga bisa memusatkan diri pada hal hal teknis seperti bea cukai dan deregulasi ekonomi,” katanya.
Menjawab pertanyaan tentang perbedaan kondisi dunia saat ini dibandingkan tahun 1970-an, Afiff menegaskan Indonesia ketika memulai pembangunannya di awal Orde Baru juga mengalami masa-masa yang cukup sulit karena harus terlebih dulu melunasi utang-utangnya.
Ia membenarkan, penjadwalan ulang utang luar negeri negara-negara berkembang saat ini sudah tidak mungkin lagi dilakukan karena sudah terlampau besar di samping kondisi perekonomian dalam negeri negara-negara tersebut yang tidak kondusif bagi manajemen ulang utang tersebut. Karena itu, mengutip Gamani Corea-ketua komite studi utang negara-negara GNB-, yang dimungkinkan saat ini adalah pengurangan utang sampai sebesar 70 persen atau penghapusan sama sekali.
“Beberapa negara peserta mengusulkan penghapusan sama sekali utang luar negeri negara -negara LDC, tapi inti laporan Corea adalah untuk digunakan pada saat negosiasi dengan negara-negara kreditor,”katanya.
Selain itu, kegunaan laporan komite Gamani Corea itu adalah untuk memberi kesadaran negara-negara maju tentang keadaan utang sebagian besar negara berkembang.
“Sekalipun demikian , hal itu tidak menutup kemungkinan adanya penghapusan utang sepenuh-penuhnya karena itu amat bergantung pada negara kreditor,” katanya.
Menurnt Afiff, kead aan utang itu sudah sedemikian parah sampai “mencekik tenggorokan dan menyebabkan semakin lama semakin sulit bernafas”, katanya mengutip ungkapan salah seorang peserta.
Para peserta sepakat tentang perlunya pendekatan baru yang baru akan dicoba dipikirkan pada hari terakhir, Senin (15/8), dan dicoba untuk bisa tercermin pada pernyataan ketua sidang (chairman statement) pada sidang penutupan. Dalam dua hari sidang KTM GNB, menurut Afiff dan nana, belum ada negara LDC yang menyampaikan keinginan mereka agar Indonesia bertindak lebih dari sekedar membagi pengalaman (sharing experiences) seperti disiratkan dalam tema konferensi.
“Kalau ‘financial aid ‘ belum ada, seperti yang sudah dikatakan Pak Harto, tapi kalau sekedar ‘technical assistance’ ada dalam bentuk kehadiran ahli-ahli kita menghadapi para kreditor mereka,” kata Afiff.
Selain itu, menurut laporan Nana, para peserta juga mengusulkan agar pidato pembukaan Presiden Soeharto dan sambutan Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali dimasukkan sebagai dokumen resmi KTM GNB ini.
Pertemuan itu dihadiri 31 negara, 29 di antaranya merupakan negara LDC dan dua lainnya tidak termasuk LDC tapi berbeban hutang berat. Ke-29 negara tersebut adalah Benin, Bhutan , Burkina Faso, Kamboja, Cape Verde, Republik Afrika Tengah, Chad, Comoros, Djibouti, Ethiopia, Equatorial Guinea, Guinea dan Guinea Bissau. Selain itu Lesotho, Liberia, Madagaskar, Mali, Mauritania, Mozambik, Myanmar, Niger, Sao Tome dan Principe, Sierra Leone, Sudan, Tanzania, Togo, Uganda, Zaire dan Zambia. Dua negara lainnya adalahAngola dan Nikaragua yang hadir sebagai peninjau. (T.PU17/B/EU07/ 14/08/94 21:27/re3)
Sumber: ANTARA(14/08/1994)
______________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 336-337.