STABILITAS POLITIK MASIH JADI PRASYARAT PERTUMBUHAN EKONOMI[1]
Oleh Martin Moentadhim S.M.
Jakarta, Antara
Stabilitas politik merupakan prasyarat bagi kelancaran pembangunan, tanpa diganggu oleh gejolak, kata Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI 16 Agustus 1994.
“Gejolak politik menyebabkan masyarakat tidak dapat memusatkan perhatian pada pembangunan. Gejolak politik tidak membawa rasa tenteram dan aman yang amat diperlukan untuk memobilisasi segala sumber daya bagi pembangunan,”kata Kepala Negara.
“Belajar dari sejarah kita sendiri maupun pengalaman bangsa-bangsa lain, sejak dini kita menyadari betapa penting stabilitas nasional sebagai landasan bagi pembangunan yang berhasil,”kata Presiden Soeharto.
Apa yang dikemukakan oleh Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini telah diuji kebenar annya secara internasional, termasuk melalui kajian terbaru atas 70 negara di berbagai bagian dunia pada periode 1960-1985. Studi ini dipersiapkan untuk Biro Nasional Riset Ekonomi Amerika Serikat (AS) oleh ahli ekonomi Alberto Alesina dari Universitas Harvard dan Roberto Perotti dari Universitas Columbia.
Kajian yang dijuduli “Distribusi Pendapatan, Ketidakmantapan Politik, dan Investasi”itu merupakan usaha untuk mengaji secara sistematis hubungan yang tampaknya intuitif, antara kemantapan politik dan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Riset tersebut pada akhirnya menyimpulkan bahwa ketidakmerataan pendapatan cenderung meningkatkan ketidakmantapan politik, yang pada gilirannya akan menghambat laju investasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Sekelompok besar penduduk miskin, yang menghadapi sekelompok kecil pribadi mantap yang sangat kaya, boleh jadi akan menja di tidak puas dengan situasi sosial-ekonomi yang ada dan menuntut perubahan radikal,” kata kedua ahli ekonomi itu.
“Dengan demikian,” katanya pula, “kerusuhan masal dan perebutan kekuasaan secara tidak sah lebih mungkin terjadi, ketimbang pada saat distribusi pendapatan lebih setara.”
Kepentingan Semua
Dalam pidato tersebut, Presiden Soeharto menyatakan bahwa “Stabilitas politik dan demokrasi berkaitan erat. Stablitas politik yang kita kehendaki bukan yang terjadi karena paksaan, atau karena tidak ada pilihan. Stabilitas politik adalah kepentingan kita semua”.
Kedua ahli ekonomi dari Universitas Harvard dan Universitas Columbia itu bahkan memasukkan demokrasi sebagai unsur dari alat ukur teoritis yang disebutnya “Indeks Stabilitas Sosial-Politik” (ISSP) untuk menguji hipotesanya. Alesina dan Perotti menyusun ISSP itu berdasarkan angka pembunuhan, kekerasan massal, kudeta dan percobaan kudeta, serta peringkat demokrasi versus kediktatoran di setiap negara yang dipelajari dalam kajian tersebut. Tetapi, mereka mengingatkan bahwa tindak kericuhan sosial-politik boleh jadi tidak diberitakan karena alasan propaganda dalam negeri yang tirani, tempat pemerintah menguasai pers dan membatasi penyebaran informasi.
Alesina dan Perotti berhipotesa bahwa indeks ketidakmantapan yang tinggi mengakibatkan ketidakpastian ekonomi, dan dengan demikian tidak mendorong investasi. Ini terjadi karena beberapa alasan. Yang pertama ialah ketika kericuhan sosial meluas, kemungkinan pemerintah digulingkan sangat tinggi, dan sekaligus membuat alur kebijakan ekonorni masa datang dan perlindungan hak cipta, lebih tidak menentu.
Yang kedua ialah kericuhan sosial boleh jadi mengakibatkan pemutusan langsung kegiatan produktif di suatu negara. Yang ketiga ialah terjadinya percobaan kudeta atau kudeta yang berhasil, menunjukkan kecenderungan pengabaian aturan hukum dan karena itu, pacta prinsipnya, merupakan ancaman terhadap hak cipta dan investasi yang mantap. Pada umumnya, Alesina dan Parotti mendapati bahwa lebih tidak merata pendapatan suatu negara, lebih mungkin negara itu akan menghadapi kerusuhan sosial politik, dan kerusuhan semacam itu lebih mungkin berlangsung di daerah perkotaan ketimbang di daerah pedesaan.
Riset mereka menunjukkan hubungan sangat negatif antara ketidakmantapan sosial-politik, penanaman modal baik pemerintah maupun swasta, dan pangsa pendapatan nasional ke kelas menengah. Seperti yang diduga, kajian itu mendapati bahwa negara kaya dan negara dengan penduduk berpendidikan tinggi, lebih mantap. Kasus Jepang merupakan contoh. Negara itu, yang punya indeks ketidakmantapan rendah ketimbang negara-negara dengan tingkat perkembangan yang sebanding pada tahun 1960, akan menjadi salah satu negara terkaya di dunia dalam 25 tahun mendatang.
Pengalaman Asia Timur
“Beberapa negara di Asia Tenggara seperti Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan telah mencatat pertumbuhan sangat tinggi pada periode setelah Perang Dunia II,” kata kedua ahli ekonomi itu menekankan.
“Setelah perang itu, ada negara-negara yang melakukan pembaruan pemilikan tanah (land-reforms) yang mengurangi ketidakseimbangan pendapatan dan kekayaan,” katanya.
“Lebih jauh lagi, dan barangkali sebagai hasil pembaruan ini, negara-negara itu relatif mantap secara politik dibanding, katakanlah, negara-negara Amerika Latin.”
“Sebaliknya, negara-negara yang terakhir ini telah mencatat distribusi pendapatan yang jauh tidak merata, kemantapan sosial-politik yang sangat goyah, dan pertumbuhan yang rendah”. Argentina, yang mempunyai indeks ketidakmantapan tertinggi kedua pada periode 1960-1985, turun beberapa peringkat dalam jenjang pendapatan. Venezuela, yang pada 1960 mencatat tertinggi kelima pendapatan per kapita dari ke-70 negara yang dikaji, juga punya indeks ketidakmantapan jauh lebih tinggi ketimbang yang lain dengan pendapatan yang sebanding.
“Tidak mengejutkan,”kata kedua ahli ekonomi itu mencatat,”bila negara-negara yang paling mantap adalah demo rasi anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD =Organization for Economic Cooperation and Development), bahkan beberapa negara yang belum berkembang, seperti Botswana, juga relatif mantap.”
Indonesia
Bagaimana pula halnya dengan pengalaman Indonesia, yang pemah dijuluki oleh para ahli ekonomi dunia sebagai negara berkeajaiban ekonomi.
“Pembangunan kita terbukti telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hasil hasil pembangunan telah dinikmati oleh rakyat pada lapisan ekonomi terbawah. Ini terlihat dengan jelas pada peningkatan pendapatan penduduk miskin. Ukurannya adalah berkurangnya penduduk yang hidup di bawah batas kecukupan,” kata Presiden Soeharto.
Menurut data yang disebut oleh Kepala Negara dalam Pidato Kenegaraan tersebut, pada 1970, jumlah penduduk miskin diperkirakan sekitar 70 juta orang atau 60 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada 1993, jumlahnya telah jauh berkurang menjadi 25,9 juta atau hanya 13,7 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Padahal, pada kurun waktu itu, penduduk republik ini bertambah dengan kurang lebih 73 juta jiwa.
Selain Inpres Desa Tertinggal,banyak cara ditempuh pemerintah Indonesia untuk mengentas mereka yang masih miskin itu, diantaranya ialah dengan mengajak mereka yang kaya untuk membantu yang miskin, misalnya dengan cara membagikan keuntungan yang diperoleh si besar. Secara teoritis ekonomi internasional, sistem pembagian keuntungan seperti ini sering disebut dengan istilah kebijakan redistributif. Kebijakan ekonomi yang terbukti bermanfaat ganda, terutama untuk lebih memeratakan pendapatan rakyat. Dalam hal ini, Alesina dan Perotti mencatat pendapat beberapa ahli ekonomi bahwa redistribusi pendapatan sering meningkatkan beban pajak pada para pemilik modal dan penanam modal, dengan demikian mengurangi rangsangan terhadap mereka untuk menanam modal. Tetapi, kedua peneliti itu berpendapat bahwa kebijakan redistributif juga mungkin mengurangi ketegangan sosial dan membantu menciptakan iklim sosial-politik yang lebih kondusif bagi kegiatan produktif dan pemupukan modal.
“Dengan demikian, dengan saluran ini, redistribusi fiskal mungkin benar-benar meningkatkan pertumbuhan ekonomi,”kata mereka menyimpulkan. “Lebih jauh lagi, dampak bersih kebijakan redistributif pada pertumbuhan telah mengimbangkan beban pajak yang menyimpang dengan manfaat ketegangan sosial yang menurun, “kata mereka pula.
Demikianlah, stabilitas politik memang diperlukan untuk memperlancar pertumbuhan ekonomi, tetapi stabilitas politik barangkali perlu dijaga terus dengan cara mengimbanginya dengan kemantapan ekonomi.
Segala daya upaya, segala sumber dan potensi serta segala kebijakan harus menuju pada ekonomi yang berkeadilan. Kita memang harus memperhatikan prinsip ekonomi yang mendasar. Tetapi, kita juga wajib menyeimbangkan kesempatan dan menjamin bahwa sistem perekonomian kita memberikan kemakmuran bagi semua orang,” kata Presiden Soeharto. (T.MMSM/SP02/ 14:18/SP05/RU1!15:35)
Sumber :ANTARA (20/08/1994)
________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 490-494.