Menerapkan Falsafah Bangsa
Sudomo (Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam Kabinet Pembangunan V)
Pertama kali saya berjumpa dengan Pak Harto adalah pada tahun 1962. Waktu itu Pak Harto baru diangkat•menjadi Panglima Komando Mandala pembebasan Irian Barat, dan saya diangkat menjadi Wakil Panglima Komando Mandala dari Angkatan Laut (Panglima Angkatan Laut Komando Mandala). Saya diusulkan oleh Kasal untuk menjadi Wakil Panglima Komando Mandala dengan pertimbangan untuk revenge atas gugurnya Komodor Yos Sudarso dalam pertempuran Aru pada tanggal 15 Januari 1962. Dalam peristiwa itu saya sebenarnya ditugaskan memimpin pendaratan pasukan kita di Kaimana. Ketika itu Komodor Yos berkeras untuk ikut dengan alasan ingin memancang bendera Merah Putih dan sekaligus untuk mengambil segenggam tanah dari sana. Akan tetapi baru sampai di perairan Aru, kapal kita diserang oleh Belanda, sehingga menewaskan Komodor Yos. Pertempuran di perairan Aru ini pulalah yang sebenarnya mempercepat pembentukan Komando Mandala untuk membebaskan Irian Barat.
Dalam rangka Komando Mandala ini saya mengenal Pak Harto sebagai seorang komandan lapangan yang berpengalaman. Pengalaman beliau dalam masa revolusi di Yogya sebagai Komandan Batalyon X, Komandan Brigade X, dan kemudian menjadi Panglima Divisi Diponegoro nampaknya telah menempa beliau menjadi seorang yang cermat dan ahli siasat dalam persiapan-persiapan operasi Mandala. Beliau sangat serius dalam mempersiapkan segala keperluan operasi. Ketika Operasi Jayawijaya I akan dilaksanakan, beliau mengadakan inspeksi ke seluruh kesatuan Operasi Komando Mandala yang letaknya terpencar-pencar. Pertama kali, inspeksi di Markas Besar Komando Mandala di Makassar, kemudian ke garis depan di Ambon. Bengkel perakitan (assembling) kapal-kapal laut kita di Teluk Peleng, Kepulauan Banggai, juga diinspeksi oleh beliau. Di situ terdapat 120 kapal yang sudah diassembling. Menurut rencana, beliau akan berada di kapal saya pada saat kita menyerbu ke daratan Irian Barat. Tetapi, sebagaimana diketahui, penyerbuan besar-besaran ke daratan Irian Barat itu tidak jadi dilaksanakan, karena PBB campurtangan dan berhasil menyelesaikan konflik kita dengan Belanda itu di meja perundingan.
Begitulah kontak kerjasama saya dengan Pak Harto dalam masa Operasi Mandala pembebasan Irian Barat dulu. Kemudian beliau diangkat menjadi Panglima Kostrad, sementara saya kembali ke Angkatan Laut. Meskipun demikian saya masih sering berjumpa dengan beliau. Misalnya, pada saat beliau merayakan ulang tahun, atau kadang-kadang saya mendatangi beliau di Kostrad. Jadi hubungan dengan beliau terus terjalin, walaupun sejak berakhirnya Operasi Mandala saya tidak lagi berada dalam jajaran komando beliau.
Setelah Pak Harto menjadi Presiden, saya kagum akan statesmanship beliau. Saya kira tidak mudah bagi seseorang untuk menyesuaikan diri dari lingkungan atau posisi sebagai Panglima ke posisi sebagai Presiden terutama dalam membuat keputusan. Dalam membuat keputusan, seorang presiden harus mempertimbangkan secara matang segala aspek, baik nasional maupun internasional. Hal ini berbeda dengan seorang panglima, yang biasanya setelah membuat keputusan terus operasi untuk melaksanakan keputusan itu. Dalam hal membuat keputusan ini tampak sekali kenegarawanan beliau; disamping beliau cepat dan cermat dalam membuat keputusan, beliau juga memikirkan dengan matang aspek nasional maupun internasional.
Saya mengatakan demikian bukanlah karena kultus individu, melainkan karena saya memang melihat adanya aspek-aspek tersebut didalam kepemimpinan beliau. Saya dapat mengatakan demikian, terutama dengan pengalaman-pengalaman saya di Kopkamtib dari tahun 1973 sampai 1983, dimana banyak sekali petunjuk Pak Harto yang mendasari keputusan-keputusan yang dibuat oleh Kopkamtib. Selama sepuluh tahun itu banyak sekali masalah politik nasional yang harus ditangani. Misalnya di tahun 1973 ada peristiwa Bandung dan demonstrasi menentang UU Perkawinan di DPR, sedangkan pada tahun 1974 ada peristiwa Malari. Dalam tahun-rahun selanjutnya ada peristiwa pembakaran di Solo, gerakan mahasiswa tahun 1977/1978, disamping masalah pembajakan pesawat Woyla oleh kelompok lmran. Selain itu masih muncul masalah-masalah yang berhubungan dengan pemilihan umum 1977 dan 1982. Semua itu berhasil diredam atau diatasi berkat petunjuk-petunjuk yang diberikan Pak Harto.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Pak Harto selalu menerapkan falsafah kepemimpinan yang bersumber pada kebudayaan bangsa kita. Ajaran-ajaran seperti nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, dan rumangsa isa nanging ora isa rumangsa itu beliau terapkan di mana-mana, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan kenegaraan. Hampir dalam setiap kesempatan beliau mempraktekkan ajaran-ajaran tersebut. Terus teran:g saja bahwa saya banyak belajar dari falsafah yang beliau ahut.• Banyak persoalan politik nasional saya tangani dengan men•erapkan ajaran-ajaran tersebut.
Misalnya saja dalam peristiwa Malari dan gerakan mahasiswa tahun 1978, dimana banyak mahasiswa yang saya tahan, sementara dewan mahasiswa saya bekukan. Dalam menangani gerakan-gerakan mahasiswa tersebut saya terapkan ajaran rumangsa isa nanging ora isarumangsa. Dari ajaran tersebut ada dua aspek yang bisa dikaitkan, yaitu “tahu diri” dan “pada siapapun juga atau didalam mendekati orang lain, kita mesti menganggapnya sebagai manusia, diwongke”. Oleh karena itulah saya memperlakukan para mahasiswa yang saya tahan itu sebagai manusia; tidak kasar tetapi persuasif Di sini memang kuncinya.
Jadi, meskipun saya sering menangkap para mahasiswa, namun hubungan saya dengan mereka tetap dekat. Itu semua adalah berkat falsafah yang beliau terapkan kepada saya juga. Oleh sebab itu pula saya membuat logo baru untuk Kopkamtib yang berintikan pada falsafah beliau. Dalam logo tersebut saya menggambarkan bahwa Kopkamtib bukanlah lembaga yang angker, tetapi sebagai lembaga yang menerapkan persuasi sebagai kekuatan. Dan ini sebenarnya berkaitan dengan falsafah nglurug tanpa bala.
Sebagai seorang pemimpin, Pak Harto adalah seorang yang senantiasa memperhatikan dan membela bawahan. Kita bisa melihat bagaimana tindakan beliau sewaktu menjadi Panglima Divisi Diponegoro, dan sebagai Pangkostrad. Beliau sangat memperhatikan kesejahteraan anak buah. Saya alami sendiri sewaktu saya menjadi KSAL. Pada waktu itu beliau, sebagai Menhankam/Pangab, selalu mengingatkan saya agar memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Dalam kaitannya dengan perhatian beliau terhadap bawahan, saya mempunyai satu pengalaman yang mengesankan. Ketika itu saya sedang menghadapi kasus pesawat DC-9 Garuda, Woyla, yang disandera oleh kelompok Imran di Bangkok. Sebagai Pangkopkamtib, saya stand by di Markas Kopkamtib untuk mengendalikan operasi penyelamatan penumpang dan pesawat yang dibajak itu. Pak Yusuf sebagai Menhankam/Pangab sedang berada di Ambon dalam rangka Rapim ABRI. Karena penyanderaan tersebut sudah melewati batas-batas teritorial kita, maka persoalannya bukan hanya urusan militer semata, melainkan juga urusan antara kedua kepala pemerintahan. Apalagi didalam pesawat terdapat juga warganegara asing.
Saya bertindak sebagai penghubung antara kedua pusat pengambilan keputusan, yaitu antara Pak Harto dengan Perdana Menteri Muangthai. Selain itu saya juga mengadakan kontak dengan Menhankam. Dalam hubungan ini saya telah mengirim Kepala Bakin Jenderal Yoga Soegama ke Bangkok untuk melakukan perundingan, dengan pihak Muangthai tentang bagaimana sebaiknya kita melakukan operasi penyelamatan. Kemudian saya kirim Asisten Intel Kopkamtib Mayjen. Benny Moerdani untuk memimpin pasukan penyelamatan sandera. Oleh karena itu saya dikonsinyir di Markas Kopkamtib. Saya harus berada di tempat sebagai penghubung sewaktu-waktu ada keputusan yang perlu diambil, baik oleh pihak Indonesia maupun Muangthai.
Pada suatu malam sekitar jam 23.00, saya sedang menonton televisi sambil menunggu perintah-perintah lebih lanjut, tiba-tiba telepon hotline yang menghubungkan Markas Kopkamtib dengan kediaman Presiden berbunyi. Saya angkat telepon itu, lalu terdengar suara: “Di sini Soeharto“. Saya terkejut, dan dengan refleks saya memberi hormat. Biasanya yang menelepon dari Jalan Cendana adalah ajudan, tetapi kali ini Pak Harto sendiri yang menelepon. Lalu saya katakan: “Mengapa Bapak sendiri yang telepon, kan cukup ajudan saja“. Pak Harto malah berkata: “Ya, saya tahu kamu sendirian di sana.”
Setelah kejadian itu barulah saya mengerti bahwa maksud beliau menelepon itu adalah untuk menyatakan perhatian beliau terhadap bawahan yang sedang melaksanakan tugas berat. Di situlah saya alami sendiri bahwa beliau sangat memperhatikan bawahan. Saya kira ini adalah ciri khas Pak Harto, dan tidak semua panglima ataupun mantan panglima memiliki ciri seperti ini. Kalau melihat latar belakang beliau, maka saya kira pengalaman beliau semasa revolusi telah membentuk diri beliau menjadi seorang komandan yang begitu memperhatikan keadaan bawahan.
Dalam segi Iainnya saya melihat Pak Harto sebagai seorang pemimpin yang mempunyai kepribadian teguh dalam membela kebenaran dan mengejar cita-cita bangsa. Yang saya maksudkan adalah bahwa sebagai seorang Presiden, Pak Harto sering mengeIuarkan keputusan-keputusan. Keputusan-keputusan beliau bersifat umum, sehingga ada pihak yang beruntung, dan ada juga pihak yang kurang beruntung karerta keputusan tersebut. Ambil contoh masalah utang-utang Pertamina dulu, misalnya, dimana keadaan keuangan kita sudah hampir collapse. Nah, di sini Pak Harto mengambil tindakan untuk mengatasi krisis tersebut dengan segala akibatnya. Meskipun waktu itu beliau banyak ditentang oleh pihakpihak tertentu, namun Pak Harto tetap teguh, sehingga akhirnya krisis tersebut dapat diredakan. Dalam menghadapi segala macam krisis pribadi Pak Harto sangat kuat dan beliau penuh keyakinan bahwa krisis akan dapat diatasi dengan baik. Di situlah sebenarnya ukuran seorang pemimpin.
Keteguhan sikap Pak Harto juga nampak dalam menghadapi kritik atau fitnah terhadap pemerintah. Dalam hal ini Pak Harto mempunyai pendirian bahwa semua keputusan yang diambil pemerintah mempunyai tujuan yang baik sehingga beliau tidak akan mengubah keputusan yang telah dibuat. Karena keteguhan sikap dan keyakinan diri beliau yang kuat itu maka Bung Karno pernah menganggap beliau sebagai seorang perwira yang koppig. Menurut saya, koppig di sini dalam pengertian yang positif, yaitu teguh pendirian, dan karena keyakinan, untuk membela kebenaran. Saya sendiri banyak belajar mengenai hal ini dari beliau. Selama saya yakin bahwa apa yang saya perbuat adalah untuk membela kebenaran, maka saya tidak takut.
Salah satu hal yang juga menonjol dari Pak Harto adalah bahwa beliau kaya akan “akal” dalam memecahkan persoalan yang rumit. Yang saya maksudkan di sini adalah bahwa suatu persoalan janganlah hanya dipecahkan secara konvensional, melainkan harus ada terobosan yang inkonvensional. Dalam hal ini Pak Harto sangat kuat. Kita bisa lihat bagaimana Pak Harto mencari jalan untuk mengatasi berbagai persoalan yang rumit, seperti meningkatkan prestasi olahraga, membiayai anak-anak berprestasi tetapi kurang mampu, ataupun memperbaiki daerah kumuh. Kalau kita hanya berpikir secara konvensional, maka bagaimana kita membiayai itu semua. Bahkan, barangkali, perbaikan-perbaikan tidak akan dapat dilaksanakan. Dalam hal seperti ini, Pak Harto memang ahlinya.
Kalau kita lihat adanya Yayasan Supersemar, SDSB dan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila misalnya, maka hal itu membuktikan bahwa terobosan pemikiran Pak Harto mempunyai dampak yang positif. Di sini Pak Harto secara langsung ataupun tidak langsung ikut melibatkan masyarakat dalam memperbaiki dan mengembangkanberbagai aspek kehidupan. Seperti misalnya membangun masjid, memikirkan mereka yang hidup serba kekurangan; atau meningkatkan prestasi olahraga kita.
Dalam hal seperti ini, saya juga banyak belajar dari beliau. Misalnya saja soal pedagang asongan. Sebenarnya banyak juga•yang mengkritik saya, karena mengapa harus Menko Polkam sendiri yang turun tangan. Bukankah ada Departemen Sosial yang bertugas untuk mengatasi masalah pedagang asongan? Tugas yang saya lakukan dalarn masalah pedagang asongan ini sebenarnya adalah untuk menegakkan hukum. Karena ada peraturan yang diberlakukan untuk mengatasi pedagang asongan, tetapi mereka masih tetap berkeliaran. Oleh sebab itu, masalahnya sekarang ialah bagaimana caranya menyalurkan mereka dalam bentuk yang lebih positif, sehingga mereka tidak lagi mengganggu ketertiban lalu lintas, atau kerawanan-kerawanan lainnya. Pengalaman-pengalaman yang diturunkan Pak Harto saya ambil hikmahnya. Saya carikan jalan keluarnya.
Pertama-tama saya kumpulkan mereka, dan dari wawancara yang dilakukan ternyata ada empat kategori yang menjadi keinginan mereka: pulang ke kampung, tetap menjadi pedagang asongan, beralih profesi, dan bersekolah. Bagi yang ingin pulang ke kampung, kita biayai ongkosnya dan ditambah uang Rp 50.000,- sebagai modal kerja di daerahnya. Bagi yang tetap menjadi pedagang asongaan, kita buatkan shelter khusus bagi mereka. Misalnya saja di tempat-tempat telepon umum, dimana mereka dapat meletakkan jajaannya di situ, sambil menjaga agar telepon-telepon umum tidak dirusak-untuk ini kita juga menggaji mereka perbulan. Bagi yang ingin beralih profesi, kita bekerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja untuk mendidik mereka dalam Balai Latihan Kerja. Sementara yang ingin sekolah, kita sediakan beasiswa
Lalu darimana uangnya untuk membiayai mereka? Pemerintah tentu saja tidak mempunyai uang sebanyak itu, dan saya sendiri juga tidak memilikinya. Oleh sebab itu saya ajak beberapa pengusaha besar untuk ikut memikirkan nasib para pedagang asongan ini, dan hasilnya sangat positif. Dengan mempergunakan bank, uang yang saya peroleh dari pertemuan ini saya gunakan untuk membiayai semua masalah yang berkaitan dengan pedagang asongan.
Dalam hubungan kerja selama ini, tidak setiap waktu saya memberikan laporan kepada Presiden. Saya membatasi diri untuk hanya melaporkan masalah-masalah yang penting dan memerlukan petunjuk ataupun keputusan Presiden. Kalau ada masalah-masalah yang masih bisa ditangani, maka lebih baik saya tangani sendiri sampai selesai. Ini sebenarnya untuk mengurangi beban pekerjaan beliau. Namun demikian, segala tindakan yang telah kita lakukan harus dilaporkan kepada beliau. Pada dasarnya saya tidak mau membebani beliau dengan segala permasalahan yang seharusnya bisa saya tangani. Dalam memberikan laporan, saya juga mengutarakan alternatif keputusan dan langkah-langkah yang telah saya lakukan, sehingga beliau tidak salah lagi dalam memberikan petunjuk.
Dalam hal melapor ini ada sesuatu yang cukup mengesankan tentang Pak Harto, bahwa beliau adalah seorang pendengar yang baik dan sabar. Beliau mau mendengarkan laporan kita dengan sabar, tanpa memotong kalimat-kalimat yang kita ucapkan. Bahkan sering kali, ketika beliau sedang berbicara, pembicaraan beliau tertidak marah dan malahan meminta saya untuk melanjutkan pembicaraan. SeteJah itu beliau mengajukan pertanyaan-pertanyaan, atau memberikan petunjuk-petunjuk. Pertanyaan-pertanyaan beliau itu sangat cermat, masalah-masalah yang sekecil-kecilnya pun beliau tanyakan. Kadang-kadang saya sangat surprised apabila Presiden menanyakan hal-hal yang rinci. Inilah salah satu sifat Pak Harto: memperhatikan segala masalah dari yang besar sampai yang sekecil-kecilnya. Sebab, memang, masalah-masalah yang kecil itu kadangkadang menentukan.
Kadang-kadang orang salah mengerti dan memandang Pak Harto sebagai orang yang kelihatannya angker. Secara sekilas kelihatannya memang benar, apalagi kalau kita tidak mengenal beliau dari dekat. Sebenarnya keangkeran tersebut bersumber dari keseriusan beliau. Seorang pemimpin itu memang harus serius dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi. Disamping itu, seorang pemimpin juga merupakan orang yang paling lonely, sehingga beliau tampak angker.
Tetapi sebenarnya di balik yang kelihatan itu Pak Harto mempunyai sense of humor yang tinggi. Hal ini misalnya bisa kita lihat dalam dialog-dialog antara Presiden dengan para petani. Di situ kadang-kadang muncul kelakar beliau dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan peserta. Saya sendiri sering mengalaminya dalam setiap kesempatan melapor kepada beliau. Kadang-kadang baru bertemu sudah ada kelakar dari beliau, lalu saya tanggapi dan kelihatannya bisa cocok. Dalam dialog-dialog antara saya dengan beliau juga terselip kelakar beliau. Barangkali, maksud Pak Harto menyelipkan humor dalam setiap saya melapor itu agar dialog-dialog dapat berjalan dengan lancar, atau bisa lebih terbuka. Hal itu terutama pada waktu saya di Kopkamtib, dimana banyak persoalan politik yang rumit yang harus ditangani.
Pada dasarnya Pak Harto adalah seorang pemimpin yang selalu berjalan di atas rel konstitusi. Prinsip-prinsip pelimpahan wewenang ditegakkan berdasarkan prosedur konstitusional, sehingga dalam merumuskan kebijaksanaan tampak adanya fleksibilitas yang di sesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan. Misalnya saja telah ditetapkan bahwa Presiden memimpin sidang-sidang Ekuin, Menko Kesra dan Menko Polkam memimpin sidang-sidang dari departemen-departemen yang berada dalam lingkup koordinasinya masing-masing. Oleh sebab itu bila ada masalah-masalah yang menyangkut bidang politik dan keamanan, maka Menko Polkam harus menanganinya atau membuat keputusan tentang masalah tersebut. Beliau memang telah melimpahkan wewenang untuk merumuskan kebijaksanaan yang menyangkut departemen-departemen yang berada dalam lingkup koordinasi kepada para Menko. Beliau tidak mau campurtangan dalam perumusan kebijaksanaan yang masih dapat ditangani oleh para Menko.
Selain itu beliau juga tidak menginginkan adanya tindakantindakan yang inkonstitusional. Barangkali kita pernah dengar istilah “gebuk” yang dikatakan oleh beliau ketika memberikan konferensi pers sekembali dari lawatan ke negara-negara Eropa Timur. Itu maksudnya ialah untuk mengingatkan kita bahwa soal suksesi kepemimpinan hendaklah melalui aturan permainan konstitusional, dan jangan membuat tindakan di luar jalur konstitusi. Ini saya tahu persis, karena saya yang pertama kali mengemukakannya. Waktu itu begini, Ketua Tim P7 Pak Roeslan Abdulgani mengadakan konsultasi dengan Menko Polkam mengenai soal keterbukaan, lalu saya jelaskan mengenai persoalan suksesi kepemimpinan nasional.
Kemudian timbul pandangan yang macam-macam mengenai pernyataan saya tersebut, yang selanjutnya saya laporkan kepada Pak Harto. Dalam hal ini Pak Harto mengatakan: “Itu kamu betul”. Dari situ tampak bahwa tidak benar bahwa Pak Harto menginginkan calon tunggal dalam pemilihan presiden, karena pencalonan tersebut adalah hak fraksi di MPR, dimana masing-masing fraksi bisa mengajukan calon. Pak Harto tidak pernah meminta MPR agar hanya ada calon tunggal dalam pemilihan presiden, melainkan segalanya harus berdasarkan konstitusi. Inilah yang saya luruskan waktu itu, sehingga beliau membenarkan pernyataan saya.
Dalam pada itu salah satu prinsip yang tidak pernah diberikan kepada kita para pembantu beliau adalah tanggungjawab. Ini juga merupakan ciri khas kepemimpinan beliau. Beliau selalu bertanggungjawab atas segala sesuatu yang diperbuat oleh para pembantu .beliau. Kita diberikan oleh beliau kebebasan untuk berkreasi, dan merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan, tetapi bila ada kesalahan atau kekeliruan dalam pelaksanaan, maka beliau turun tangan untuk mengambilalih tanggungjawab tersebut. Dalam
hal seperti inilah beliau berperan sebagai seornng komandan. Kesalahan anak buah merupakan tanggungjawab komandan. Oleh karena itu para pembantu beliau, terutama saya sendiri, selalu memberikan laporan yang sejelas-jelasnya dan seakurat mungkin. Aspek aspek positif dan negatif dari sesuatu tindakan yang telah kita laku kan perlu dilaporkan, sehingga beliau dapat dengan cermat memberikan petunjuk-petunjuk. Yang beliau inginkan bukan laporan ABS, melainkan laporan yang berdasarkan kenyataan. Ini juga merupakan upaya untuk meringankan tanggungjawab beliau, sehingga beliau mengetahui dan mengerti segala sesuatu mengenai tindakan kita.
Dari uraian tersebut kita juga telah melihat betapa demokratisnya beliau terhadap bawahan. Dalam arti bahwa kita diberikan: kebebasan untuk merumuskan berbagai kebijaksanaan yang masuk dalam lingkup tugas kita. Disamping itu kita juga dapat berdialog secara terbuka dalam memberikan laporan atas pekerjaan-pekerjaa kita. Di lapangan golf, beliau juga bersikap demokratis. Beliau selalu menempatkan diri sebagai anggota Jakarta Golf Club. Semua peraturan organisasi dan peraturan permainan golf ditaati oleh beliau.
Beliau tidak “mentang-mentang” menjadi Presiden, lalu minta dihormati di lapangan golf. Bahkan dengan sabar beliau menunggu giliran memukul, bilamana ada seorang pemain di depan beliau bermain lambat. Saya tahu persis mengenai hal ini, karena saya juga menjabat sebagai pimpinan Jakarta Golf Club.
Di atas sudah saya ceriterakan bahwa saya paling lama memegang jabatan di Kopkamtib, dari tahun 1973 sampai tahun 1983. Bahkan masa pensiun saya juga diundurkan oleh beliau. Saya merasa bahwa Pak Harto memang sengaja memberi kesempatan agar saya mendapat berbagai pengalaman. Memang pada waktu di Kopkamtib itu banyak sekali krisis politik yang saya hadapi dan: dapat diatasi dengan baik berkat petunjuk-petunjuk Pak Harto. Pengalaman di Kopkamtib ini jugalah yang membuat saya dapat mengatasi masalah-masalah di Departemen Tenaga Kerja dan .di kantor Menko Polkam sekarang ini.
Kalau kita ingat-ingat, masa sekitar tahun 1983 adalah masa yang paling berat bagi perekonomian kita. Masalahnya ialah adanya resesi dunia, dan pengaruh resesi ini terhadap Indonesia adalahh berupa banyaknya PHK terhadap para karyawan swasta sebagai Menteri Tenaga Kerja ketika itu, saya harus mengatasi masalah ini. Pengalaman selama di Kopkamtib dulu membuat saya mampu mencegah masalah PHK ini agar tidak berkembangkan menjadi isyu politik yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu saya terapkan pula pedoman Tridharma yang diajarkan oleh Pak Harto, yaitu rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, dan mulat sarira hangrasa wani. Tetapi sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak kultus individu, melainkan berdasarkan pedoman ini saya dapat mengatasi masalah masalah PHK dengan baik.
Tridharma itu menegaskan kepada kita bahwa seorang pemimpinakan menjadi panutan bila ia mau turun ke bawah dan mencoba menyerap aspirasi rakyatnya. Oleh sebab itulah saya datang dan mengadakan dialog dengan para karyawan yang kena PHK. Saya minta masukan dari mereka dan selanjutnya saya bicarakan dengan par pimpinan perusahaan yang bersangkutan. Dengan cara ini, para karyawan yang kena PHK itu mau mengerti dan menyadari bahwa masalah mereka memang ditanggapi secara positif, sehingga mereka tidak akan dapatdihasut oleh golongan-golongan tertentu. Dengan demikian persoalan PHK pada waktu itu dapat diselesaikan secara institusional.
Demikian pula masalah warung-warung di pinggir jalan. Kebersihan dan ketertiban mereka kurang diperhatikan, padahal warung-warung tersebut mampu menampung tenaga kerja yang relatif besar. Oleh karena itu saya larang mereka berjualan di pinggir jalan, kemudian kita didik mereka agar mereka dapat menyajikan makanan yang lebih baik dan lebih tertib. Selanjutnya mereka disalurkan ke tempat-tempat tertentu, seperti misalnya di kantorkantor pemerintah. Ini yang kemudian dikenal dengan “Pujasera” (Pusat Jajan Serba Ada). Kemudian dibentuk koperasi diantara para pedagang, sehingga sekarang ini mereka sudah mampu mandiri.
Satu hal yang agak merepotkan dari Pak Harto ialah bahwa beliau selalu memenuhi permintaan para pembantu beliau untuk menghadiri resepsi pernikahan putera-puteri mereka. Untuk hal yang satu ini, beliau jarang menolak, bahkan tidak menolak sama sekali. Barangkali hal ini juga merupakan suatu kehormatan bagi keluarga pafa pembantu beliau bahwa Pak Harto memperlakukan mereka sebagai “manusia”. Akan tetapi selain menambah beban pekerjaan bagi Pak Harto sendiri, hal ini dari segi saya sebagai Pangkopkamtib, juga sangat merepotkan. Sebab, saya harus memperhatikan segi sekuriti, disamping juga memperhatikan agar pengamanan itu tidak mengganggu jalannya upacara atau resepsi. Dalam hal seperti ini memang agak sulit untuk meminta beliau agar tidak menghadiri resepsi-resepsi tersebut.
***
_______________________
Sudomo, “Menerapkan Falsafah Bangsa”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 297-308