Seorang Ksatria[1]
Sumitro Djojohadikusumo [2]
Untuk pertama kali saya berjumpa muka dengan Jenderal Soeharto pada akhir bulan Mei 1968, satu tahun setelah saya tiba kembali dari perantauan selama sepuluh tahun (1957-1967). Di zaman revolusi saya mengetahui bahwa dalam tahun 1946 dan 1941 Komandan Garnizun di Yogyakarta adalah seorang perwira bernama Letkol. Soeharto. Pada pertengahan tahun 1947 saya dikirim ke PBB sebagai Wakil Ketua Perutusan Republik Indonesia di Dewan Keamanan membantu Saudara LN Palar. Beberapa bulan setelah terjadinya Agresi Militer Belanda yang kedua, tanggal 19 Desember 1949, kami di Lake Success, New York, mendapat berita tentang Serangan Yogyakarta yang dipimpin oleh Letkol. Soeharto. Peristiwa tersebut sangat memperkuat kedudukan kita didalam perundingan di Dewan Keamanan maupun dalam dunia internasional umumnya. Pada pertengahan dasawarsa 1950 saya juga mengetahui bahwa Panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah adalah Kolonel Soeharto.
Dalam pengasingan selama tahun 1957-1967 saya secara terus menerus memelihara hubungan dengan sejumlah rekan yang tersebar di dalam negeri untuk saling bertukar pengamatan dan penilaian tentang perkembangan yang berlangsung di dalam negeri maupun dunia intemasional. Peristiwa G-30-S/PKI tanggal 30 September 1965 segera tersebar luas di luar negeri melalui pemberitaan radio.
Beberapa hari kemudian muncul nama Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Kostrad yang telah mengambilalih pimpinan Angkatan Darat dan berhasil menumpaskan pemberontakan dan kudeta yang mula-mula dipimpin oleh Letkol. Untung dibawah pengarahan Brigjen. Soepardjo dan pimpinan PKI.
Pada tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai Pangkopkamtib. Pada akhir tahun 1966/ awal 1967, saya mendapat pesan dari beberapa rekan di dalam negeri bahwa Kolonel Ali Moertopo hendak bertemu dengan saya di salah satu kota di luar negeri. Waktu itu Saudara Ali Moertopo masih staf pribadi (Spri) Ketua Presidium Kabinet Ampera (Jenderal Soeharto) dan berperan sebagai Komandan Operasi Khusus (Opsus) yang sedang menjajagi dan merintis usaha pemulihan hubungan antara Indonesia dan Malaysia.
Pada bulan Maret 1967 Bapak Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden. Pertemuan antara Saudara Ali Moertopo dan saya terlaksana di Bangkok pada akhir bulan April 1967. Selama dua jam lebih kami mengadakan pembahasan dan pertukar-pikiran secara leluasa mengenai keadaan dalam negeri yang menyangkut perkembangan ekonomi, politik dan militer. Segala sesuatu itu dalam kaitannya dengan perkembangan yang sedang berlangsung di bidang internasional.
Dari mulanya sudah jelas bagi saya, maksud Kolonel Ali Moertopo ialah untuk secara langsung memperoleh gambaran dan penilaian tentang pandangan dan pemikiran saya, khususnya pendirian saya terhadap suatu pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto. Setelah itu dalam bulan-bulan Mei dan Juni untuk beberapa kali saya dihubungi oleh Letkol. (waktu itu) Soegianto atas nama Kolonel Ali Moertopo yang sedang meratakan jalan untuk memungkinkan kembalinya saya ke tanah air.
Tepat pada tanggal 1 Juli 1967 saya tiba kembali di Indonesia. Saya tidak segera bertemu muka dengan Bapak Soeharto. Hal itu berdasarkan pengertian pada semua pihak untuk tidak menyulitkan langkah-langkah konsolidasi yang sedang dilakukan oleh Bapak Soeharto sebagai Pejabat Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Saya berkecimpung di bidang swasta dan mendirikan sebuah biro konsultasi ekonomi, PT Indoconsult, bersama rekan saya Mochtar Lubis. Namun demikian saya segera mulai berusaha untuk membantu pemerintah Orde Baru, terutama dengan pemantauan dan penilaian tentang perkembangan di bidang ekonomi dan politik. Beberapa kali saya juga melakukan perjalanan ke luar negeri untuk memberi pengertian yang sebenarnya kepada berbagai kalangan yang berpengaruh di bidang ekonomi-keuangan dan politik. Laporan-laporan tertulis disusun secara berkala dalam bentuk Memorandum yang ditujukan kepada “Pihak yang Berwewenang”. Memorandum-memorandum yang dimaksud selalu disampaikan kepada Bapak Soeharto secara tidak langsung, biasanya melalui Saudara Ali Moertopo dan kadang-kadang juga melalui Letjen. Mohammad Jusuf yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian, kemudian sebagai Menteri Perdagangan.
Dalam bulan Maret 1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan oleh MPRS sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam minggu terakhir bulan Mei 1968 saya mendapat pesan dari Saudara Ali Moertopo bahwa di waktu dekat saya akan diterima oleh Bapak Presiden. Beberapa hari kemudian dengan diantar oleh Saudara Ali Moertopo dan Saudara Soedjono Humardani, keduanya Asisten Pribadi (Aspri) Presiden, saya menghadap Presiden Soeharto malam hari di kediamannya di Jalan Cendana. Dalam suasana yang tenang dan nyaman, pada pertemuan tersebut Presiden menunjukkan sikap sopan santun yang correct. Selama sekitar satu setengah jam kita membahas dan bertukar-pikiran mengenai berbagai masalah yang sedang hangat dewasa itu: masalah pangan dan kekurangan beras, pemulihah produksi dan prasarananya, perkembangan harga dan inflasi, kelangkaan devisa, dan sebagainya; serta tentang berbagai jalan dan cara untuk menanggulanginya.
Ternyata pula, bahwa Bapak Presiden telah mempelajari dengan seksama isi memorandum-memorandum yang dalam tahun berselang secara berkala tetapi tidak langsung disampaikan kepada beliau. Atas satu sama lain itu beliau menyampaikan terima kasih dengan menambah secara terus terang, bahwa tidak semua yang saya kemukakan dapat disetujuinya. Hal itu menyangkut pendekatan terhadap beberapa masalah dan cara penanggulangannya yang disarankan oleh saya, yang menurut hemat Presiden dianggap ”agak terlalu radikal” terutama dari sudut timing sehubungan dengan perimbangan-perimbangan dalam kehidupan masyarakat yang sedang dihadapinya waktu itu.
Kesan pertama yang ada pada saya dalam pertemuan tersebut ialah bahwa saya sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang dibawah ketenangan dalam penampilannya, mempunyai keyakinan kuat dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri dan dibekali secara alamiah dengan daya nalar (natural intelligence) yang tajam sekali. Kesan pertama itu kemudian memang dibenarkan oleh pengalaman dan pengamatan saya selama puluhan tahun sejak pertemuan pertama sampai sekarang.
Pada akhir pembicaraan itu, yang terlaksana dalam suasana tenteram dan sikap terbuka dari kedua pihak, oleh Presiden dipersoalkan tentang kemungkinan saya membantu beliau secara langsung dan terbuka. Hal itu mungkin sebagai seorang anggota tim ahli yang sedang dalam pemikirannya ataupun mungkin juga sebagai menteri pembantu Presiden dalam Kabinet yang sedang disiapkannya. Akan tetapi ditekankan juga oleh Presiden, bahwa satu sama lain hal itu baru berupa kemungkinan yang sedang dalam pertimbangan. Presiden menjelaskan “masih ada keberatan-keberatan dari berbagai kalangan yang menentang peran Saudara di bidang kenegaraan. Saya masih harus meyakinkan kalangan-kalangan itu, termasuk rekan-rekan saya dalam kalangan ABRI”, demikian dikatakan oleh Presiden secara terus terang. Saya menjawab bahwa semua itu saya pahami sepenuhnya dan terserah kepada wewenang keputusan Presiden. Sebab secara de facto saya toh sudah berusaha untuk membantu kebijaksanaan pemerintah. Sehingga bagi saya pribadi tidak menjadi soal apakah dalam suatu kedudukan resmi atau tidak. Lagi pula saya menganggap diri sudah committed terhadap rezim Orde Baru.
Dari akhir pembicaraan yang dimaksud di atas nampak suatu ciri yang penting pada sikap dan perilaku Bapak Soeharto. Apa pun yang menjadi mata pembahasan dan bagaimanapun arah pembicaraannya, Presiden menjaga agar baginya tetap tersedia cukup ruang gerak yang memberi peluang untuk masih mempertimbangkan berbagai kemungkinan alternatif sebelum diambilnya suatu keputusan terakhir. Sebelum detik akhir sampai keputusan itu dinyatakan oleh Presiden sendiri, maka orang memang tidak mempunyai alasan untuk menganggap sesuatu “sudah disetujui” atau “sudah direstui” oleh Presiden, apalagi seakan-akan “sudah dijanjikan” oleh Presiden.
Kemudian selama puluhan tahun, saya dapat menyaksikan betapa banyaknya orang atau golongan yang berkali-kali membuat kesalahan perkiraan semacam itu. Tidak dapat disalahkan kepada Presiden, seakan-akan beliau telah “mengelabui mata” pihak yang bersangkutan. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, dalam kasus diri saya sebagaimana diungkapkan di atas, dalam keadaan serupa itu Presiden telah memberi isyarat bahwa masih ada berbagai kemungkinan alternatif dalam pertimbangannya. Mungkin saja isyarat-isyarat serupa juga disampaikan pada orang, pihak atau golongan pada sejumlah kesempatan lain. Mungkin pula isyarat itu juga sudah didengar oleh pihak yang bersangkutan, namun kurang diperhatikan karena terbawa oleh angan-angan ataupun harapan yang kemudian ternyata meleset dan tidak terpenuhi.
Ibarat permainan bridge seakan-akan mereka itu tidak menyadari bahwa trump card (kartu kunci) tetap berada di tangan Presiden dan kepastian akhir baru menjadi jelas pada saat kartu kunci dibuka, sedangkan saat itu ditentukan oleh Presiden semata-mata. Tidak lama sesudah pertemuan pertama itu, saya mendengar pengumuman resmi melalui Radio Republik Indonesia bahwa saya diangkat sebagai Menteri Perdagangan Rl dalam kabinet Pembangunan I, yaitu pad a tanggal 8 Juni 1968 pagi hari.
Perhatikan kini sistematika dan timing, entah itu secara sadar terencana entah secara intuisi, dalam serangkaian langkah yang diambil Bapak Soeharto perihal diri saya:
11 Maret 1966 Supersemar, Mayor Jenderal Soeharto Pangkopkamtib.
Akhir tahun 1966/awal tahun 1967 saya dihubungi oleh Kolonel Ali Moertopo.
7 Maret 1967 Bapak Soeharto Pejabat Presiden
1 Juli 1967 Saya tiba kembali di tanah air
Maret 1968 Bapak Soeharto Presiden RI
Akhir Mei 1968 Untuk pertama kali saya berjumpa muka dengan Presiden
8 Juni 1968 Saya diangkat sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet Pembangunan
Tidak saja timing yang ditentukan secara metodis-bertahap yang menarik perhatian. Satu sama lain itu dilakukan secara konstitusional dengan adanya dasar hukum. Langkah-langkah kebijaksanaan yang dipertimbangkan dengan masak secara metodis dan sistematis dan ditempuh berdasarkan landasan konstitusional memang merupakan ciri pokok dalam perilaku Bapak Soeharto.
Dari ulasan mengenai awal mula perkenalan dengan bapak Soeharto sebenarnya sudah nampak, walaupun mungkin masih tersirat, beberapa ciri penting pada gaya dan cara kepemimpinannya sebagai Kepala Negara maupun sebagai pemimpin kabinet. Satu sama lain hal itu masih dapat dilengkapi dengan menonjolkan beberapa sifat khusus dalam pengelolaan kebijaksanaannya.
Pertama-tama sebagai pemimpin, Bapak Soeharto selalu menunjukkan ketegasannya dalam memikul tanggungjawab akhir atas baik-buruknya konsekuensi dari kebijaksanaan pemerintah dan pelaksanaannya oleh para pembantunya. Sejak saya mengenal Presiden selama ini, baik sebagai menteri/pembantu Presiden maupun sebagai saksi dekat di luar pemerintahan, tidak pernah saya mengalami atau menyaksikan bahwa Presiden mengelakkan tanggungjawabnya terhadap masyarakat luar dengan melimpahkan kesalahan pada pembantunya, secara terucap atau tersirat, kendatipun mungkin sekali pembantu yang bersangkutan memang telah berbuat salah dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam keadaan demikian Presiden senantiasa mengambil alih tanggungjawab atas akibat negatif dari langkah kebijaksanaan yang telah ditempuh.
Ke dalam, secara intern tentu Presiden mengadakan koreksi melalui tambahan petunjuk secara lebih terjabar. Itu pun dilakukan dengan sopan santun dalam rumusan bahasa yang tidak kasar. Saya sendiri belum pernah menyaksikan bahwa Presiden meningkatkan suaranya jika memberi teguran kepada orang lain, walaupun saya sudah mengetahui bahwa beliau sebenarnya sedang dihinggapi oleh perasaan amarah
Kedua, kesediaan dan kemampuan Presiden untuk membina hubungan kerjasama yang baik dengan sekelompok para pembantu yang sebenarnya mempunyai latarbelakang yang berlainan sekali dalam hal pendidikan formal, pengalaman bidang kegiatan ataupun iklim budaya lingkungannya. Dalam pengamatan dan pengalaman saya sendiri sejak zaman remaja, banyak golongan dalam masyarakat kita menunjukkan sikap apriori yang ditandai oleh prasangka terhadap mereka yang berhasil mengembangkan keahliannya karena pernah diberi kesempatan untuk mendapat latihan dan pendidikan lanjutan. Serta-merta golongan ahli profesional dicap sebagai “kebarat-baratan”. Adakala kaum cendekiawan, golongan ahli profesional dan mereka yang berkecimpung di bidang ilmu pengetahuan memang cenderung untuk menunjukkan sikap pendekatan yang rasional berdasarkan penalaran semata-mata tanpa memperhatikan segi-segi politik, budaya dan adat-istiadat yang mungkin dianggap “kolot” dari sudut tuntutan zaman, namun masih berlaku sebagai realitas dalam kehidupan masyarakat sekitar. Dalam hal-hal demikian kecaman yang dimaksud di atas beralasan juga. Namun sikap prasangka secara apriori tadi sering bersumber pada sindrom (gejala penyakit) cemburu terhadap mereka yang mencapai kemajuan di bidang profesional, dalam dunia ilmu pengetahuan, dalam aparatur negara ataupun dalam dunia usaha. Sifat cemburu itu sering disertai oleh perasaan, disadari atau tidak disadari dan diakui atau tidak diakui, seakan-akan kedudukannya dan peranannya sedang dalam keadaan terancam.
Sindrom cemburu plus perasaan terancam yang dimaksud itu merupakan kelemahan yang masih menghinggapi banyak manusia Indonesia. Hal itu tidak kelihatan dan tidak dirasakan pada sikap kelakuan Bapak Soeharto dalam hubungan kerja di bidang kedinasan maupun dalam pergaulan sehari-hari. Dalam perkembangan selama dua dasawarsa yang lalu Presiden menunjukkan minatnya dan perhatiannya yang semakin meluas terhadap masalah-masalah yang beraneka ragam di berbagai bidang kegiatan masyarakat. Pengetahuannya dan pengertiannya menjadi sangat mendalam dan terinci dari ekonomi masyarakat pedesaan, masalah pangan, pertanian dan industri, ·kebijaksanaan ekonomi makro, kependudukan dan sumber daya alam, permasalahan di bidang internasional dan regional, sampai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Segala sesuatu itu sangat menonjol dan mengagumkan bilamana diingat bahwa latar belakang kehidupan Bapak Soeharto tidak menguntungkan semasa remajanya dan bekal pendidikan formalnya terbatas sekali sebagaimana diungkapkan beliau sendiri kepada saya.
Ketiga, sebagai salah satu aspek lain dalam kepemimpinan Presiden ialah sikap tenang dengan menguasai dirinya (self control) dalam menghadapi masalah apapun betapapun rumitnya, dan dalam keadaan bagaimanapun betapapun gawatnya: apakah hal itu menyangkut kekurangan beras dalam pangan, inflasi harga yang membubung tinggi, kelangkaan devisa dan spekulasi mata uang, ataukah kegaduhan politik, gangguan keamanan dan makar, kejadian musibah alam dan sebagainya.
Sifat kepemimpinan Presiden seperti yang diungkapkan di atas dengan sendirinya mengandung pengaruh terhadap pelaksanaan tugas seseorang menteri dan pejabat negara lainnya. Di satu sisi, hal itu sangat memudahkan pekerjaannya. Sebab sekali sudah ada keputusan yang diambil Presiden dalam sidang-sidang kabinet ataupun pada kesempatan lain, maka bagi seorang pembantu/pelaksana ada kepastian bahwa didalam menanggulangi permasalahan dalam bidangnya ia tetap akan didukung oleh Presiden jika dihadapi gangguan dan kesukaran ataupun dialami kecaman dan cemoohan dari kalangan luar. Tidak perlu ia selalu harus menengok ke belakang karena khawatir tiba-tiba bisa di “dis-avouir” di tengah jalan.
Keadaan demikian berlainan dari pengalaman saya di tahun lima puluhan, sewaktu saya pernah tiga kali menjadi menteri di zaman demokrasi parlementer. Waktu itu kabinet merupakan koalisi yang terdiri atas menteri-menteri yang mewakili berbagai partai politik; juga di kala beberapa kali suatu kabinet dinyatakan sebagai semacain zaken-kabinet, namun dalam kenyataannya masing-masing menteri tetap mewakili partainya. Dari pihak pimpinan partai dianggap sebagai kewajiban menteri yang bersangkutan untuk memperjuangkan aspirasi atau kepentingan partainya. Dalam konstelasi keadaan politik tahun-tahun limapuluhan hal itu memang dapat dipahami karena dianggap sebagai kelaziman dalam kehidupan partai politik. Namun tidak menguntungkan kontinuitas dalam kebijaksanaan pemerintah karena menyulitkan kelancaran kerja antar menteri dalam kabinet.
Misalnya sudah terdapat kata sepakat secara bulat dalam kabinet mengenai beberapa masalah kebijaksanaan yang penting. Tidak jarang terjadi bahwa keputusan kabinet tidak didukung oleh salah satu atau beberapa partai diantara mana terdapat selisih pendapat. Menteri-menteri kemudian dalam sidang kabinet yang berikut menyatakan tidak setuju (walaupun dengan setengah hati dan kadang-kadang bertentangan dengan parasaan hati nuraninya sendiri) terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama seminggu sebelumnya. Tidak mengherankan bahwa dalam suasana demikian dialami silih gantinya kabinet-kabinet dengan masa kerja suatu kabinet yang lamanya rata-rata hanya satu-dua tahun saja. Memang tidak mungkin orang secara serius bisa bicara tentang kebijaksanaan pembangunan, yang merupakan suatu proses jangka panjang yang meliput sekitar dua generasi dalam kehidupan bangsa. Pelaksanaan kebijaksanaan rutin sehari-hari saja sudah berlangsung tersendat-sendat karena mengalami rupa-rupa gangguan yang sering bertele-tele kalau dilihat dalam rangka kepentingan nasional dan pembangunan masyarakat secara menyeluruh.
Di lain pihak, pola dan gaya kepemimpinan Presiden juga membawa beberapa kesulitan bagi seorang pembantu/menteri atau pejabat negara. Seberapa jauh ada kelonggaran atau pembatasan dari Presiden dalam merumuskan sesuatu kebijaksanaan dan sehubungan dengan itu dalam keadaan yang bagaimana dirasakan perlu untuk meminta petunjuk dari Presiden dalam pelaksanaan sesuatu tugas-satu sama lain itu sebenarnya sulit untuk digariskan secara jelas dan pasti. Banyak tergantung dari bakat, tabiat dan pembawaan menteri atau pejabat yang bersangkutan dan dari hubungan pribadinya dengan Presiden.
Dalam pengalaman saya selama dua kali menjadi menteri kabinet dibawah Presiden Soeharto dan dalam pengamatan saya kemudian mengenai kabinet-kabinet yang menyusul, ada sementara menteri/pejabat tinggi yang selalu menunjukkan sikap berhati-hati (menurut perasaan pribadi saya bahkan terlalu berhati-hati) seakan-akan enggan untuk mengambil sesuatu langkah sebelum adanya petunjuk lebih lanjut dari Presiden walaupun masalahnya dalam lingkup tugasnya sudah jelas. Sebaliknya ada juga menteri-menteri atau pejabat-pejabat yang cenderung untuk menempuh jalan kebijaksanaannya dengan mengambil tindakan tanpa petunjuk atau konsultasi terlebih dahulu dengan Presiden. Mungkin karena dalam persepsi menteri yang bersangkutan masalahnya sudah dipercayakan kepadanya untuk diurus selanjutnya ataupun karena keadaan dianggapnya sudah begitu mendesak sehingga memerlukan tindakan seperlunya untuk segera mengatasi masalah yang dihadapinya.
Saya sendiri termasuk kategori yang kedua ini. Pada tahap awal dalam hubungan kerja dengan Presiden Soeharto memang beberapa kali terjadi salah paham sehingga hubungan menjadi renggang; disebabkan oleh kurang adanya komunikasi dari pihak saya sendiri. Pertimbangan saya waktu itu sebenarnya ialah karena justru tidak ingin terlalu mengganggu Presiden dengan mengambil waktunya yang sudah begitu padat terisi oleh banyak masalah lain. Nampaknya saya terlalu cepat menganggap bahwa segala sesuatu itu tentu sudah dipahami sepenuhnya oleh Presiden sendiri. Akan tetapi dalam hal-hal dimana langkah tindakan yang saya ambil menyentuh pihak atau golongan yang merasa kepentingannya dirugikan, tentu mereka berusaha untuk menyampaikan keberatannya dan keluhannya, beralasan atau tidak, secara langsung kalau mempunyai akses kepada Presiden ataupun melalui kalangan yang dekat kepada beliau. Oleh karena di lain pihak saya juga dianggap lalai sebab tidak sering memberi laporan-laporan penjelasan, memang tidak dapat disalahkan kalau Presiden memperoleh gambaran berat sebelah secara sepihak. Sehingga timbul kesan ataupun diisyukan seolah-olah saya hendak “mbandang sendiri”.
Pelajaran dari pengalaman serupa ini ialah sangat penting untuk melaporkan secara kontinyu dengan konsultasi berkala secara reguler mengenai masalah-masalah yang sedang ditanggulangi dalam perkembangannya. Memang Presiden hendak mengikuti dengan seksama perkembangan kcadaan di segala bidang, sehingga sewaktu waktu beliau dapat memberi tambahan petunjuk-petunjuk pelaksanaan bilamana dianggap perlu.
Pembahasan dalam sidang-sidang kabinet yang dipimpin Presiden Soeharto mempunyai sifat yang juga berbeda dari pengalaman saya zaman dahulu dalam dasawarsa 1950. Maksud dan sifat persidangan kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden ialah agar masing-masing anggota kabinet dan atau seorang menteri koordinator ada kesempatan untuk menyampaikan laporannya dan mendapat petunjuk lebih lanjut dari Presiden. Akan tetapi masalah yang dilaporkan bukanlah dimaksud sebagai bahan pertukar-pikiran, apalagi perdebatan diantara para menteri didalam sidang kabinet. Hal ini berlainan dengan kelazimam kabinet-kabinet zaman limapuluhan. Waktu itu masalah-masalah yang penting di bidang kebijaksanaan negara dibahas secara leluasa dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri yang kedudukannya memang bersifat prim us inter pares (pemuka diantara sesama rekan yang mempunyai kedudukan yang tingkatnya sejajar). Pembahasan sering ditandai oleh perdebatan yang hangat berjam-jam lamanya didalam hal ada perbedaan pendapat diantara beberapa menteri, sampai akhirnya dicapai titik temu ataupun sampai menjadi jelas tidak adanya persesuaian pandangan.
Lain halnya dengan jalannya sidang kabinet dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Jika ada selisih pendapat mengenai masalah tertentu, supaya hal itu dirembuk terlebih dahulu dalam lingkungan terbatas diantara menteri-menteri yang bersangkutan sebelum dan di luar suatu sidang kabinet; baru setelah dicapai semacam konsensus hal itu dilaporkan dalam sidang. Jika masih juga ada perselisihan pendapat, maka hendaknya masalahnya oleh menteri-menteri yang bersangkutan secara bersamaan dimajukan kepada Presiden untuk mendapat kata putus dari beliau. Tetapi satu sama lain itu pun harus dilakukan pada kesempatan tersendiri dan bukan dalam forum formal sesuatu sidang kabinet. Terus terang saya sendiri memerlukan waktu sebelum dapat menyesuaikan diri secara “otomatis-alamiah” dengan kelaziman dalam pola dan cara kerja yang dimaksud di atas.
Selama saya menjadi menteri/pembantu Presiden dalam dua kabinet secara berturut-turut (Menteri Perdagangan dalam Kabinet Pembangunan I, Menteri Negara Urusan Riset dalam Kabinet Pembangunan II), hubungan pribadi antara Presiden dan saya dapat diungkapkan sedikit banyak sebagai semacam rumusan ”tidak dekat dan tidak jauh”. Kenyataan itu memang logis dan dapat dimengerti dalam latar belakang perbedaan pengalaman masing-masing dari zaman sebelumnya. Latar belakang Presiden dalam Angkatan Bersenjata, saya dalam dunia akademik dan berkecimpung dalam kegiatan politik praktis. Budaya lingkungan masing-masing dari zaman remaja sampai menjadi dewasa juga berbeda dalam warna dan coraknya; lagi pula ada perbedaan dalam pembawaan masing-masing yang kelihatan pada pola pendekatannya terhadap masalah-masalah dalam perkembangan keadaan sekitar.
Dalam pada itu hubungan kerja dalam kedinasan pada umumnya dapat dikatakan baik (terkecuali dalam beberapa fase yang bersifat sementara tatkala beberapa kali terjadi salah pengertian karena kurang komunikasi) dan senantiasa ditandai oleh sikap saling hormat menghormati. Dalam perkembangan waktu kemudian hubungan tersebut diperkuat oleh sikap saling harga-menghargai satu terhadap lainnya. Kedua belah pihak lebih saling mengenal dan masing-masing dapat memahami serta menghargai sifat keunggulan maupun kekurangan yang ada pada pihak yang lain. Sebab melintasi garis segala perbedaan yang disebut diatas, ternyata terdapat banyak titik-titik temu yang secara bersamaan menjadi ikatan hubungan yang kuat antara kedua pihak. Kedua keluarga kami sebenarnya berasal dari masyarakat pedesaan dan dari kecil kita dapat menghayati sukaduka kehidupan keluarga desa, lebih-lebih karena keduanya mengalami dan menyaksikan pahit-getir penduduk desa dalam tahuntahun depresi yang begitu ganas (waktu itu disebut “zaman malaise”) sebelum Perang Dunia II.
Kemudian kedua keluarga kami langsung terlibat secara aktif dalam perjuangan revolusi melawan Belanda untuk mempertahan kan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Pada tahap akhir revolusi fisik Letkol. Soeharto beserta pasukannya dengan gigih mempertahankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia di sekitar Yogyakarta. Pada waktu yang sama saya di PBB dan sebagai anggota delegasi RI pada Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag ikut memperjuangkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.
Tatkala dua puluh tahun kemudian kedua oknum berjumpa muka, masing-masing menyadari bahwa kendatipun terdapat perbedaan latarbelakang namun keduanya terdorong oleh hasrat seorang patriot untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat dan masyarakat dalam keutuhan nasional (national cohesion) sebagai negara-bangsa. Keduanya dengan haluan pandangan masing-masing bertekad untuk melanjutkan daya upaya dalam pembangunan masyarakat ke arah kemajuan dan kesejahteraan. Hubungan antara Presiden dan saya sebenarnya menjadi lebih baik lagi sewaktu saya sejak tahun 1978 tidak lagi memegang kedudukan resmi dalam pemerintahan. Walaupun sebagai seorang biasa diluar pemerintahan, namun karena dari mulanya sudah committed kepada rezim Orde Baru, saya berusaha untuk terus membantu Presiden dengan pemikiran-pemikiran yang mengandung relevansi bagi pengelolaan kebijaksanaan di bidang kenegaraan. Walau bagaimanapun, secara pribadi saya tetap merasa ikut bertanggungjawab atas perkembangan masyarakat kita dalam suka-dukanya dan baik-buruknya.
Hal yang menarik dalam hubungan dengan Presiden Soeharto sebagai pribadi ialah betapa besar perhatiannya terhadap segenap teman yang di masa lalu dalam keadaan serba sulit pernah membantunya ataupun berjuang dibawah pimpinannya. Apakah hal itu terjadi di zaman remajanya, atau ketika serangan Yogya, atau sewaktu beliau memegang komando teritorial di Jawa Tengah, kemudian Panglima Mandala dan berikut dalam peristiwa G-30-S/ PKI, semua tidak terlupakan oleh Bapak Soeharto sampai sekarang pun. Memang yang patut diperhatikan ialah kawan yang selalu langka jumlahnya dalam keadaan duka, sedangkan dalam keadaan suka, banyak yang ingin mendekati sebagai “kawan”. Begitu Presiden mendengar tentang keluarga kawan dari zaman dulu yang berada dalam kesulitan, langsung beliau mengulur tangan memberi bantuan. Hal itu dilakukan secara diam-diam tanpa banyak bicara, kadangkala secara tidak langsung tetapi nyata, dengan menghindarkan kemungkinan menyinggung perasaan harga diri dari pihak yang dibantunya. Perilaku yang mengesankan itu dapat saya saksikan sendiri beberapa kali dari dekat.
Sifat lain yang menarik pada pribadi Presiden Soeharto ialah rasa kebahagiaannya yang kentara sekali bilamana beliau berada di tengah-tengah sekelompok anak kecil. Pada kesempatan seperti itu, seolah-olah pribadi Soeharto tiba-tiba berubah. Sikap penuh rasa kasih ditunjukkan secara spontan kepada anak-anak kecil sekitarnya, sekonyong-konyong Bapak Soeharto menjadi seorang extrovert yang suka bersenda-gurau, suasana riang gernbira diiringi ketawanya secara berkelakar. Pendeknya, perilaku Bapak Soeharto ditengah-tengah anak-anak kecil berbeda siang-malam dari penarnpilannya sebagai Presiden yang selalu mernbatasi dirinya dengan bersikap tenang dan berwibawa.
Bicara rnengenai kesan-kesan yang kurang menarik dari Presiden Soeharto sebagai seorang pribadi, penilaian dalarn hal ini harus dianggap sebagai penglihatan yang tentu subjektif dari pihak saya, karena penglihatan serupa itu selalu dipengaruhi oleh pengalaman dan pengamatan pribadi. Masalahnya ialah, bilamana Presiden sekali sudah mempunyai pandangan tertentu mengenai sesuatu hal di bidang kebijaksanaan ataupun mengenai seseorang atau golongan, sungguh amat sulit dan setidak-tidaknya memakan waktu yang lama sekali untuk dapat meyakinkan beliau agar mengubah pendapatnya sekalipun itu sudah kurang dibenarkan (dalam penilaian saya) oleh kenyataan dalam perkembangan keadaan.
Begitu pula, sekali Presiden sudah memberi komitmen kepada seseorang atau segolongan, satu dan lain itu harus dilaksanakan kendatipun komitmen yang bersangkutan sebenarnya tidak selaras dengan dan menyimpang dari kebijaksanaan umum yang sudah digariskan. Tentu Presiden mempunyai pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam pemberian komitmen seperti yang dimaksud, hal mana memang menjadi kewenangan beliau. Akan tetapi karena pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak selalu dijelaskan secara terjabar, maka hal itu menyulitkan pembantu yang harus melaksanakannya. Kadangkala bisa terjadi bahwa komitmen Presiden dilaksanakan oleh pembantu dengan setengah hati, sehingga·pada gilirannya kelak membawa masalah lagi dalam hubungannya dengan Presiden. Juga kalau kemudahan atau kepercayaan yang diberikan oleh Presiden disalahgunakan oleh yang berkepentingan, Pre’siden cenderung untuk tetap melindunginya. Bahkan tidak jarang Presiden mengambilalih dan memikul tanggungjawab atas kesalahan dan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak lain yang dimaksud itu.
Di satu sisi, sikap demikian adalah terpuji karena mencerminkan tabiat seorang ksatria yang berpegang pada pedoman hidup “sekali janji, harus ditepati”. Namun dari sisi lain dan dalam keadaan tertentu di kala dalam pandangan masyarakat komitmen Presiden sudah disalahgunakan, maka sikap tersebut bisa disalahtafsir sehingga merugikan kepentingan dan citra Presiden sendiri.
***
[1] Sumitro Djojohadikusumo, ” Seorang Ksatria”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 711-724.
[2] Menteri Perdagangan dalam Kabinet Pembangunan I (1968-1973); dan Menteri Negara Riset dalam Kabinet Pembangunan II (1973-1978)