SURAT TERBUKA DARI NEW YORK: PENGALAMAN MENYAMBUT KUNJUNGAN PRESIDEN SOEHARTO KE AS

SURAT TERBUKA DARI NEW YORK: PENGALAMAN MENYAMBUT KUNJUNGAN PRESIDEN SOEHARTO KE AS[1]

 

Jakarta, Suara Pernbaruan

Beberapa minggu sebelumnya saya sudah mendengar bila Presiden Soeharto bakal hadir dan berpidato di gedung PBB. Karena itu, ketika harian The New York Times kembali memberitakan TimorTimur, saya sudah merasa tidak aneh lagi. Koran itu memang selalu rnenampilkan hal-hal negatif tentang Indonesia. Sebagaimana juga banyak koran atau kelompok lain di Amerika Serikat.

Tapi, itu pulalah yang membuat saya makin tertarik ikut mengelu-elukan kedatangan pak Harto, yang baru saja terpilih sebagai Ketua Gerakan Non Blok. Sebagai warga negara yang berada di luar negeri hal ini toh lumrah saja. Bangga akan negaranya dan ingin mengelukan pemirnpin bangsanya. Dan, upaya saya untuk ikuthadir dalam acara-acara beliau selama di New York pun makin menjadi-jadi.

“Saya ingin mengibarkan Bendera Merah Putih dan meneriakkan “Hidup pak Harto!”, ucap saya pada petugas Hubungan Masyarakat pada dua perwakilan kita di New York.

Sampai detik terakhir, hasilnya tidak ada. Jawaban yang saya terirna lebih aneh lagi. “Kami akan menghubungi ibu nanti!” Atau “Wah, acaranya belum jelas!,” ucap pejabat itu seminggu sebelum kedatangan Presiden. Saya tidak tahu apakah memang dirahasiakan, atau memang tidak atau belum jelas. Okelah, mereka pasti sibuk dengan tugas-tugas mereka, ucap saya dalam hati.

Lebih-lebih seperti keterangan teman saya yang tinggal di New York. Bahwa kedatangan Bapak Presiden ini begitu didramatisasi. Semua orang dilibatkan. Akibatnya pekerjaan yang dapat dilakukan 1 orang, dikerjakan oleh 10 orang. Sampai-sampai sebuah mik pernah dicoba sampai 6 kali sebelum digunakan. Dan, pada saatnya digunakan mik itu rusak. Muncullah celetukan bahwa mik itu rusak gara­ gara terlalu banyak dicoba.

Iklan Mencolok

Tapi sudahlah. Saya putuskan untuk tidak pergi ke New York (saya tinggal di negara bagian tetangganya). Kalau tidak jelas boleh mendengar atau menghadiri acara beliau yah untuk apa ke sana, ucap saya dalam hati.

Sampailah pada tanggal 24 September 1992 pagi. Ketika saya membuka koran The New York Times terpampanglah iklan besar dan mencolok (rata-rata satu halaman penuh) menyambut kedatangan beliau. Iklan itu dipasang oleh perusahaan-perusahaan besar yang umumnya perusahaan minyak raksasa seperti Mobil,Texaco, Arco, (juga Freeport) lain-lain. Isinya tentu memuji-muji pak Harto dan Indonesia. Hebat juga koran dan perusahaan-perusahaan besar ini. Dan, saya baru sadar bila pagi itulah Pak Harto menyampaikan pidatonya di depan Sidang Umum PBB. Semangat saya seketika muncul.

Naluri wartawan saya pun menyertai. Kalau sudah sampai di sana, masa tidak bisa hadir. Habis mandi saya putuskan berangkat ke New York naik kereta api. Ternyata benar. Saya beruntung. Memang terlambat mengikuti pidato beliau yang singkat yang lagi pula tampil sebagai pembicara pertama hari itu.

Tapi, saya masih dapat mengikuti sidang lainnya yang sebenarnya amat lumrah. Karena itu, untuk Kota New York suasananya adem ayem saja. Rasanya tidak ada yang istimewa dalam SU PBB pagi itu. Paling-paling munculnya seorang pembawa poster Timor Timur ketika Pak Harto berpidato.

Sedang, di luar kompleks gedung PBB sekelompok orang-orang Iran membawa poster-protes bagi Velayati, Menlu Iran. Selebihnya tidak ada yang membuat perhatian.

Melihat kondisi seperti itu saya berpikir, mestinya bisa dirneriahkan dengan nada positif dari masyarakat Indonesia untuk menyambut Bapak Presiden di pintu gerbang kompleks PBB dengar bendera kecil dan ucapan Hidup Pak Harto, seperti saya sebutkan di depan.

Jadi, masyarakat Indonesia di New York dan sekitarnya bisa dilibatkan untuk menciptakan kemeriahan dan tidak sekadar dilibatkan mengurusi mobil, mengurusi konsumsi (urusan ini terutama ibu-ibu Dharma Wanita) untuk makanan panitia, untuk mengurusi mik, atau yang lain-lain yang sesungguhnya juga hanya kepentingan panitia.

Bersiasat

Menciptakan opini positif toh juga tugas menarik. Mengimbangi opini negatif yang selalu ditampilkan koran dan kelompok lain. Melawan kondisi New York dan Amerika Serikat hemat saya perlu juga bersiasat. Dari kehadiran pak Harto di New York ini saja bisa diciptakan diskusi yang menarik.

“Anda tahu nggak kenapa perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil, Texaco, Amco, dan lain-lain sampai memasang iklan besar-besar dan bemada memuji-muji pak Harto dan Indonesia setinggi lagit?”, tanya saya pada seorang manajer Pompa Bensin Texaco di New York. Dia diam saja.

“Karena sebagian minyak yang kalian dagangkan di sini berasal dari Indonesia!, saya menyindimya. Betapapun saya tahu babwa dia tidaklah terlalu peduli, karena urusan seperti itu sudah urusannya White Plains, kantor pusat Texaco.

Lebih sakit lagi caranya harian The New York Times, koran besar penerima tidak kurang dari 63 Hadiah Pulitzer itu. Iklan-iklan sehalaman penuh dan berisi pujian terhadap pak Harto dan Indonesia itu dengan senang dia terima dan pasarkan. Soalnya ini manyangkut pemasukan uang yang besar.

Tapi, bagaimana sikapnya dalam hal pemberitaan, jangan ditanya. Yang ditampilkan adalah berita-berita Timor Timur yang selalu merugikan Indonesia. Lebih aneh lagi secuil pun tidak ada berita tentang pidato pak Harto di SU PBB pada koran itu esoknya. Demikian juga di koran-koran lain. Sakit rasanya melihat suasana semacam itu.

Bersyukur

Usai dari gedung PBB setelah pidato pak Harto, saya mencoba mampir di salah satu perwakilan kita di New York sembari menunggu ajakan ternan untuk hadir pada resepsi Bapak Presiden di Hotel Astoria malaninya.

Di kantor yang penuh dengan kesibukan itu saya mencari bahan-bahan bacaan dari tanah air.

“Oh ada di basement pak,” ucap seorang panitia yang memegang walkie talkie. Saya ke basement. Karena asing dengan gedung itu, saya bertanya pada seorang Bapak yang berdiri menonton sekelompok orang (sekitar 7 orang) yang sedang bermain kartu. Mereka umurnnya mengenakan tanda panitia. Dengan acuh, Bapak setengah baya itu mengatakan koran-koran seperti itu ada di lantai 5.

Ketika saya menceritakan pengalaman tersebut kepada seorang teman, dia hanya membalas singkat. “Itulah mereka. Padahal gajinya tinggi-tinggi itu,” katanya. “Tapi sudahlah masih beruntung you,” katanya sembari guyon. “You masih bisa menikmati makanan di Astoria, hotel nomor 1 di New York. Masyarakat Indonesia lainnya mana ada yang ikut?,” tambahnya.

Ia, ya! balas saya. Hidup ini memang harus banyak bersyukur!

Sumber:  SUARA PEMBARUAN (07/ 10/1992)

 

_______________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 429-432.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.