SUSUNLAH TATA CARA DAN TATA KRAMA UNTUK MENYELESAIKAN KONFLIK

SUSUNLAH TATA CARA DAN TATA KRAMA UNTUK MENYELESAIKAN  KONFLIK[1]

Jakarta, Kompas

Dalam masyarakat yang semakin dinamis, sudah pasti ada persentuhan, bahkan konflik dan pertentangan. Hal ini alamiah dan tidak dapat dihindari. Yang perlu dilakukan bukanlah meredam persentuhan itu, tetapi menyusun tata cara dan tata krama bagi penyelesaian persentuhan secara damai, etis, dewasa dan beradab.

Presiden Soeharto mengatakan itu pada pembukaan Rapat Koordinasi Forum Komunikasi dan Konsultasi antara Depdagri dan Konsultasi antara Depdagri dan BP-7 Pusat dengan BP-7 Daerah , serta Direktorat Sospol Dati I seluruh Indonesia, di Istana Negara, Kamis (5/8). Forkom itu diikuti sekitar 350 orang, dan akan berlangsung sampai Senin (9/8).

Menurut Presiden, tantangan masa depan mengharuskan semua pihak menciptakan kondisi dan peluang sebesar-besarnya bagi pengembangan kreativitas dan prakarsa masyarakat, sehingga bangsa ini mampu meningkatkan daya saingnya secara damai dengan bangsa lain, baik di kawasan Asia Tenggara maupun di dunia yang aman dinamis ini. Di dalam masyarakat dinamis inilah muncul persentuhan, konflik dan pertentangan.

Selanjutnya Kepala Negara menyebutkan bahwa demokrasi harus makin dewasa. Bangsa ini secara menyeluruh maupun masing-masing daerah memiliki adat istiadat yang dirasa adil tentang cara menyelesaikan persentuhan, konflik dan pertentangan yang timbul dalam masyarakat, kata Presiden.

“Tugas kita semua adalah mengangkat esensi adat istiadat yang adil itu, melembagakannya, dan memberinya tempat dalam perkembangan kehidupan kebangsaan kita selanjutnya. Kebudayaan nasional memang berpangkal tolak pada dan dikembangkan dari puncak-puncak kebudayaan daerah,”demikian Presiden.

Ditambahkan, dengan menyesuaikan diri pada perkembangan masyarakat dan pada tuntutan perkembangan dunia dewasa ini, bangsa Indonesia akan siap menghadapi tantangan abad mendatang.

Pancasila  Akomodatif

Presiden juga mengemukakan bahwa sebagai negara yang sedang membangun, tradisi politik dan kehidupan bernegara juga masih sedang tumbuh. Negara ini membutuhkan ideologi yang mantap dan dinamis.

Itulah sebabnya mengapa sejak tahun 1985 Presiden menyebutkan, sebagai ideologi, Pancasila itu adalah ideologi terbuka. Nilai-nilai dasarnya yang ditetapkan para pendiri negara adalah tetap, tetapi menjabarkannya dikembangkan bersama secara berkala sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat dan bangsa.

“Adalah jelas bahwa ideologi yang terbuka ini sekaligus dapat memberikan dasar yang kukuh bagi kehidupan berbangsa sambil bersamaan dengan itu memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya kekuatan-kekuatan baru yang dinamis,” Ujarrya.

Menurut Kepala Negara, Pancasila bukan filsafat kenegaraan yang kaku, reaksioner dan dogmatis Pancasila, tambah Presiden, adalah filsafat kenegaraan yang berorientasi ke masa depan, bersifat akomodatif terhadap dinamika, serta mampu mendayagunakan kekuatan yang terkandung dalam kemajemukan masyarakat.

Di dalam Pancasila, ujar Kepala Negara, setiap goIongan mendapat tempat dan peluang untuk mengembangkan diri, prakarsa dan kreativitasnya .”Kita yakin bahwa gerak dinamik bangsa bersumber dari gerak dinamik warga serta gerak dinamika berbagai lapisan dan golongan yang ada di dalamnya,” katanya.

Memang itulah sesungguhnya yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat. Peran pemerintah lanjut Presiden seperti tercantum dalam Pembukaan UUD ’45, adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. “Jajaran BP-7 pusat dan daerah mempunyai peran yang sangat besar dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan kita membangun bangsa inidengan mantap dan dinamis,”tutur Kepala Negara.

Keberhasilan P-4

Sementara itu Menteri Kehakiman Oetojo Oesman dalam rapat koordinasi Forum dan Konsultasi BP7 Pusat dan Depdagri dengan Kepala BP-7 Dati I dan II serta Kaditsospol seluruh Indonesia di Wisma Haji, Jakarta, mengemukakan, berhasil tidaknya pemasyarakatan P-4 bisa dilihat dengan indikator perubahan kualitas manusia Indonesia yang menuju ke arah yang lebih positif, serta gambaran tingkah laku masyarak:at yang sesuai Pancasila.

Misal, masyarakat yang tidak mudah terhasut oleh isu-isu SARA, jelas merupakan indikator peningkatan kualitas manusia fudonesia. Meski demikian, jika masih ada hal­ hal yang kurang sesuai di masyarakat, hal itu tidak bisa ditimpakan kepada Pancasila atau dianggap sebagai kegagalan memasyarakatkan P4.

Oleh karena itu, lanjut Oetojo, yang perlu diperhatikan secara terus menerus adalah kondisi yang semakin mantap dalam upaya mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila sehingga senantiasa dapat diciptakan ketahanan, ketangguhan dalam menghadapi pengaruh perkembangan dari luar, terutama kekonsistenan menciptakan sikap mental ideologis yang diprasyaratkan Pancasila dan UUD 45.

Akar Budaya

Lebih jauh disebutkan memasuki abad 21 yang ciri-cirinya antara lain globalisasi di segala sektor kehidupan, upaya untuk membina persatuan dan kesatuan masyarakat majemuk seperti Indonesia, haruslah dilakukan secara terns menerus. Karena, tantangan yang dihadapi di masa depan adalah bagaimana mengantisipasi perkembangan dunia, dengan tetap berakar pada budaya kita. Dengan kata lain, bagaimana agar kita tidak kehilangan jati diri bangsa di tengah perubahan sosial yang demikian cepat.

“Kalau mengikuti konsep Alvin Toffler, maka berdasarkan konfigurasi geografisnya, di Indonesia ada empat gelombang sekaligus yang berada secara bersamaan. Di daerah terpencil misalnya, masih ada masyarakat era pra-pertanian. Dan tugas kita adalah bagaimana mengangkat keempat gelombang itu menjadi satu untuk tinggallandas, ” kata Oetojo.

Kondisi di atas, kata Oetojo, dengan sendirinya bisa menimbulkan kesenjangan di sana sini, karena ada kelompok yang dapat memanfaatkan peluang pembangunan dan ekonomi dunia, dan ada yang tidak. “Jadi upaya kita adalah bagaimana memajukan yang terbelakang, dan mengangkat yang lemah oleh yang kuat. Seperti halnya perekonomian kita yang ditopang oleh swasta, koperasi dan pemerintah, ” sambungnya.

Dengan demikian, hal penting yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar tetjadi pemerataan dan persatuan serta, kesatuan bangsa. “Di Maluku misalnya, kalau orang bikin masjid di kampung, orang Kristen ikut membantu, juga sebaliknya. Lalu kalau orang Islam naik haji, orang Kristen mendoakan keselamatannya di gereja,” kata Oetojo.

Sumber: KOMPAS (6/08/1993)

________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008,203-205

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.