TADJUK: DESA, BAGAIMANA…?

TADJUK: DESA, BAGAIMANA…?[1]

 

Jakarta, Elbahar

Ditempat ini orang2nja sederhana. Lebih dari 85% miskin tapi, pekerdja radjin dari sebelum matahari terbit sampai sesudah matahari tenggelam, ja disawah-diladang. Tidak mengenal kesenangan seperti di kota, “Lexploitation de I home par I Home” banjak dilakukan disini. Petani-Peternak-Pekerdja kasar, disini tempatnja, di desa.

Itu sebabnja kalau pilihan Lurah, Djadi rebutan. Dan semua parpol terutama dulu PKI membanggakan dan membuat basinja djuga didesa. Bahkan dalam masa revolusi fisik kekuatan perdjuangan kita berada didesa2 dan desa2 mendjadi rakjatnja di “POLITIK KOTAKAN” oleh pemimpin2 politik.

Idjon lintah darat mindring barang2, pengontrak2 kuli hidup subur didesa2, maka desa mendjadi parah, Wanitanja djadi bongkok2 karena menggendong dagangan jang amat banjak tapi tak pernah bikin kaja, Orang kota sama sekali melupakan perkembangan orang desa dalam banjak hal.

Dan dari mereka orang2 didesa banjak ada pertanjaan2 jang memilukan al. “Mas, ndjing nopo telase Merdiko niku” (Sdr., kapan habisnja kemerdekaan itu) mereka bertanja demikian karena mereka disibukkan terus menerus oleh politik, ja politik ini, politik itu dsb.

Apakah jang demikian akan terus berlaku tanpa achir.? Apakah desa dengan segenap komponen sosial ekonominja bangsa akan terus disibukkan dengan tetek bengek urusan politik ? Apakah desa akan dieksploitir untuk kepentingan politik ? Kapan didesa ada bioskop – ada kolam renang – ada tempat2 kesenian – ja ada youth centrenja ?

Kalau Pangdam Diponegoro andjurkan orpol2 djangan didesa2, tapi supaja dikota Kabupaten, Kalau pak Ali Murtopo mengatakan memang Golkar2 tidak perlu ada didesa2 tapi di Kabupaten2 sadja, dan kalau Pangdam Bukit barisan mengemukakan supaja rakjat didesa djangan disibukkan dengan persoalan politik, agar pembangunan desa2 dapat terwudjud. Maka semua andjuran dan idee demikian, menurut hemat kita adalah tepat. Mengingat hari depan desa itu dengan seluruh proses pertumbuhan dan kehidupannja jang perlu diperbaiki.

Kita harapkan kepada semua orpol baik orpol maupun Golkar, untuk dapat membantu ketenangan pembangunan pembangunan desa2. Kita kira bukanlah maksud mengurangi atau memereteli kekuatan parpol-Golkar didesa2 jang memang tjukup banjak. Namun TIMBANG-RASA terhadap masjarakat desa, dimana mereka djuga memerlukan sarana fasilitas dan keperluan kehidupan jang SAMA dengan masjartakat dikota2 perlu mendapat perhatian besar dari parpol-golkar.

Barangkali Departemen Dalam Negeri, adalah jang paling kompeten untuk membuat desa2 benar2 bukan arena politik lagi, tapi arena kiprahnja pembangunan. Rp 100.000 per desa tempo hari memang pertanda adanja perhatian langsung dari Pemerintah, Desa jang sudah merupakan gemeinshaffnja dikota. Djadi usaha memisahkan kegiatan atau kesibukan urusan politik dari desa2 ke Kabupaten, djuga merupakan usaha modernisasi dari Pemerintah sekarang.

Bagaimana dengan men-switch mental dulu kepada kesadaran pembangunan sekarang, pelu memberi dorongan kepada gemeinshaff desa kepada masjarakat desa untuk mentjiptakan autho-activity. Djangan dibiarkan mereka berkembang tanpa pengarahan buat hari depan mereka.

Tanpa mendjadikan politik sebagai seperti “bovenzinnelijk lets” kita ternjata dapat membangun. Begitu pula tanpa disibukkan dengan politik, desa tentu dapat dibangun.

Sekali lagi digarapkan pengertian dan “kerelaan parpol-golkar untuk meninggalkan desa dan “pindah” ke Kabupaten, kita bangun bersama desa2 kita, OK. (DTS)

Sumber: ELBAHAR (14/10/1971)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 971-972.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.