Tadjuk: FAKTA BITJARA TAK PERLU PEMUTARBALIKAN [1]
Djakarta, Berita Yudha
Sebagaimana telah kita njatakan kemaren, bahwa kini ada golongan jang berlagak pilon jang mengatakan bahwa apa jang menamakan dirinja “Gerakan 30 September” adalah persoalan Intern Angakatan Darat.
Sebodoh-bodoh insan revolusi tidak akan menerima bahwa suatu pengambil alihan kekuasaan Negara dari tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno dengan mendemisionerkan Kabinet Dwikora dan MPRS dan digantinja dengan apa jang mereka sebut “Dewan Revolusi Indonesia” tanpa ikutnja Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi kita, hanja merupakan persoalan intern Angkatan Darat. Tetapi pasti akan menjebutnja suatu masalah Nasional jang harus dihadapi dan diselesaikan setjara Nasional pula, demi untuk melawan tindakan suatu golongan jang telah mengadakan c o u p.
Mengapa mereka demikian santernja mempropagandakan bahwa peristiwa “Gerakan 30 September” hanjalah merupakan persoalan Intern Angkatan Darat, karena meraka berusaha untuk memutar-balikan dan mengaburkan keadaan jang sebenarnja, seperti apa jang telah kita utarakan kemaren.
Apakah kedjadian jang sebenarnja jang hendak mereka putar balikkan dan kaburkan ?
Mereka akan menghapus dari ingatan masjarakat ramai dan mengaburkan penulisan sedjarah Revolusi Indonesia, bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terdjadi suatu coup jang telah dilakukan oleh mereka jang menamakan dirinja “Gerakan 30 September” jang “komandannja” adalah seorang Perwira chianat Untung dari Bataljon Tjakrabirawa Pasukan Pengawal Kepala Negara RI, jang pasti didalangi oleh golongan tertentu diluar Angkatan Darat.
Bagi kita, peristiwa petualangan kontra revolusi “Gerakan 30 September” adalah tiada lain merupakan coup sebagai puntjak dari perongrongan mereka terhadap kewibawaan Pemerintah dan alat2nja, dengan berbagai tuntutan2 dan fitnahan2 jang dilantjarkannja selama dua tahun terachir ini.
Djika kita perhatikan peristiwa2 jang terdjadi sebelum peristiwa 1 Oktober 1965 seperti tuntutan mereka untuk membubarkan KORAMIL (Komando Rayon Militer) atau PUTERPRA didaerah Djawa Barat dengan menuduh KORAMIL termasuk salah satu setan desa, jang niat sebenarnja adalah tiada lain mereka berusaha untuk memisahkan TNI/ AD dari rakjat sebagai sumber dan pepundennja. Dari tuntutan itu mereka meningkatkan aksinja kepada apa jang mereka sebut “aksi sepihak” dimana mereka telah melakukan perlawanan bersendjata terhadap petugas2 Negara jaitu Polisi Kehutanan di Indramaju dan kini terkenal dengan “peristiwa Indramaju”.
Setelah Indramaju berhasil “mereka” meningkatkan aksinja mengadakan perlawanan bersendjata terhadap Anggauta Kepolisian Negara di Bojolali disamping aksi mereka terhadap golongan agama didaerah Djawa Tengah dan Djawa Timur.
Dalam kedua aksi inipun mereka menganggap berhasil karena mereka bebas dari kutukan Revolusi, dan mereka merasa lebih terangkat deradjatnja, ketitian golongan jang paling revolusioner. Mereka terus meningkatkan lagi ofensifnja dengan dalih kompetisi Manipolis. Terdjadilah apa jang kita kenal “Peristiwa Bandar Betsi” dimana seorang anggauta TNI/ AD jaitu Peltu Sudjono jang sedang mendjalankan tugas Negara dan Revolusi telah dikerojok, dibatjok dan ditjangkul kepalanja sehingga gugur. Dalam peristiwa inipun mereka berhasil mengalihkan persoalan kriminil kepersoalan politis dengan dalih melaksanakan UUPA atau land reform.
Dan achirnja, dua hari sebelum kedjadian peristiwa 1 Oktober 1965 mereka telah berani dihadapan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi /Panglima Besar KOTRAR setjara demonstrative untuk menentang keputusan KOTRAR mengenai persoalan HMI, dimana dengan lantang disebutkan kepada CGMI supaja mengganti tjelana dengan kain kalau tidak membubarkan HMI. Kedjadian ini bagi kita jang konsekwen tanpa reserve taat dan patuh pada segala pimpinan Bung Karno baik sebagai Presiden/Perdana Menteri dan Panglima Tertinggi ABRI serta Pemimpin Besar Revolusi, maupun sebagai Panglima Besar KOTI atau pun KOTRAR, adalah merupakan tantangan dan penghinaan jang tiada taranja terhadap kebidjaksanaan Pimpinan Bung Karno Pemimpin Besar Revolusi jang oleh MPRS telah diberi kekuasaan penuh untuk memimpin Negara dan revolusi Indonesia seumur hidup.
Dalam puntjak dari keberanian, kelantangan dan kebrutalan mereka dalam merongrong kewibawaan Pemerintah jaitu Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Besar KOTRAR, dengan menggunakan Untung dari batljon Resimert Tjakrabirawa sebagai pionnja disertai dalih tuduhan bahwa ditubuh Angkatan Darat ada suatu “Dewan Djenderal” jang akan melakukan coup. Mereka dengan biadab dan kedjam mendurhakai Panjca Sila, telah membunuh Men/Pangad /Kas Koti dengan beberapa Perwira TNI/AD lainnja dan dengan lantang mereka berani telah melakukan c o u p mengambil alih kekuasaan Negara RI dari tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Djelaslah, bahwa sebutan untuk peristiwa 1 Oktober 1965 jang dilakukan oleh mereka jang menamakan dirinja “Gerakan 30 September” hanja sebagai persoalan Intern Angkatan Darat, adalah usaha mereka untuk lempar batu sembunji tangan.
Marilah kita tjamkan keadaan dan kedjadian jang sebenarnja, dan djanganlah tertipu oleh usaha pemutar balikkan dan pengaburan sedjarah jang dilakukan oleh golongan petualang kontra-revolusi “Gerakan 30 September”. Maju terus, Tuhan beserta kita.
Sumber: BERITA YUDHA(08/1 0/1965)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, Hal 36-38.