TADJUK RENTJANA: PERANAN KAUM MILITER

TADJUK RENTJANA: PERANAN KAUM MILITER [1]

 

Djakarta, Kompas

OLEH KARENA pemerintahan militer di Junani sedang mendapatkan sorotan kritis dari sekutu2nja dalam NATO termasuk AS bahkan sudah didjatuhi berbagai sangsi ekonomi kaum militer di Junani dengan dinegeri kita ini.

Beberapa tjontoh kongkrit bisa dikemukakn, Pemerintahan militer di Junani membekukan Konstitusi dan semua partai politik. Dengan demikian maka disana tak ada hak2 demokrasi. Maka dengan berbagai dalih pemimpin partai2 politik dipendjarakan, demikian pula kemerdekaan pers tidak ada.

Seorang wartawan wanita didjebloskan kedalam pendjara karena mengkritik penguasa militer. Pada permulaan penguasa militer disana tak mau mempergunakan tenaga sipil, jang mempunjai keahlian dan pengalaman, akibatnja kematjetan terdjadi disemua bidang.

Kaum militer di Indonesia tampil djustru untuk menegakkan kembali Konstitusi dan Demokrasi Pantjasila. Kaum politici jang demokratis bukannja dipendjarakan, melainkan dibebaskan dari pendjara. Kemerdekaan pers jang dulu mati, dihidupkan lagi. Inilah salah satu sebab mengapa kini semua kekurangan lantas diumumkan lewat pers.

Dan jang lebih penting lagi muntjulnja kaum militer dalam memimpin pemerintahan di Indonesia atas dasar kehendak dan kepertjajaan rakjat setjara spontan, jang kemudian disalurkan setjara konstitusionil. Maka ada hubungan langsung dan dukungan langsung dari rakjat terhadap peranan kaum militer dinegara ini. Ini tidak ada di Junani.

Faktor hendak mengamankan program Pemerintah dalam situasi perorangan oleh sisa2 gestapu/ PKI. kekuatan orla dan kaum vested interest menjebabkan berbagai kedudukan dipegang oleh orang2 militer. Faktor lain dati proses ini adalah tiadanja konsensus dikalangan kekuatan2 sosial sipil dalam pentjalonan atau penundjukkan tjalon2.

Tapi sekalipun ada dua faktor itu, sekarang kaum militer mulai sadar djuga bahwa tentang pembagian kedudukan dan pengamanan itu, normanja tetaplah harus keahlian, kemampuan, kedjudjuran, loyalitas bukan golongan sekalipun itu golongan militer.

Pengamanan tak harus dilakukan dengan menempatkan pedjabat militer, tetapi dengan menegakkan wibawa kaum militer itu sendiri sehingga bisa dipergunakan tenaga2 jg ahli, mampu, djudjur dan loyal tanpa menomorsatukan kriterium golongan.

Karena soal kedudukan ini soal sensitifbaik bagi kaum militer maupun golongan2 sipil, maka norma objektif harus bisa diwudjudkan sedjauh mungkin dalam menempatkan tenaga2 dalam bidang eksekutif disemua tingkatan.

Kalau masalah ini bisa dipetjahkan, maka salah faham orang luar termasuk kalangan pemerintahan dan masjarakat Amerika tentang militerisnie di Indonesia, sekaligus terhapus.

MASALAH ini ada hubungannja dengan faktor lain jaitu loyalitas kelompok2 sosial-politik dalam masjarakat. Kita kemukakan diatas, bahwa muntjulnja kepemimpinan politik dan pemerintahan kaum militer di Indonesia adalah atas kehendak dan kepertjajaan rakjat jang disalurkan setjara spontan dan setjara konstitusionil.

Didalam menanggapi kepertjajaan dan dukungan rakjat banjak ini, ada sedikit kelalaian. Jaitu terputusnja pembinaan dan penjaluran setelah berachirnja sidang istimewa MPRS jang mengachiri dualisme setjara formil. Setelah sidang istimewa MPRS, gerakan rakjat jang spontan dibiarkan mentjari sasaran, arah dan saluran sendiri.

Hal jang demikian itu memang bisa dibiarkan sesuai dengan asas demokrasi, apabila dalam masjarakat kita sudah ada pola dan struktur kehidupan politik jang sesuai dengan tuntutan program Orde Baru. Djuga bisa dibiarkan andaikata masa jang kita lalui bukanlah masa transisi jg masih penuh konflik dan kelabilan jang mudah membangkitkan krisis2 baru.

Karena dua persjaratan itu tak terpenuhi, maka tak djuga bisa dibiarkan gerakan dalam masjarakat itu mentjari sasaran dan salurannja sendiri. Sebab dengan sendirinja mereka akan kembali kekandang golongan ideologi dan kelompok2 kepentingannja. Akibatnja timbullah gedjala kesimpang-siurang dan bentrokan2 baru. (DTS)

Sumber: KOMPAS (1967)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 775-777.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.