Tadjuk Rentjana: TENTARA DAN PERANANNJA

Tadjuk Rentjana:

TENTARA DAN PERANANNJA [1]

 

Jakarta, Kompas

setiap negara jang sedang berkembang banjak terdjadi konflik2 politik jang ditjoba penjelesaiannja lewat konflik2 bersendjata. Indonesia tidak terketjuali. Sedjak 1948 misalnja, kita kenal konflik2 bersendjata seperti pemberontakan kaum komunis di Madiun, Andi Azis, RMS, DI/TII, PRRI/Permesta, G30S/PKI.

Umumnja konflik2 itu berasal dari bentrokan politik, tetapi begitu mendjadi bentrokan fisik, ABRI memikul tanggung-djawabnja. Tidaklah berlebihan kalau sering dikatakan orang sedjak 1945 hingga kini tentara Indonesia belum pernah mengaso.

Melulu dari terlibatnja tentara dalam konflik2 bersendjata, sebagai kelandjutan dari konflik2 politik, tak mengherankan apabila di negara2 jang sedang berkembang, tentara semakin berperanan. Tidak sadja dibidang keamanan dari pertahanan tetapi djuga dalam pemerintahan.

Pola perkembangan itu terdjadi pula di negeri kita. Dalam hubungan dan latar belakang konflik2 politik itulah kita melihat posisi dan peranan kaum militer di negeri kita dewasa ini.

Apabila konflik2 bersendjata jang pernah terdjadi di negeri kita, kita kadji kembali, maka kita temukan berbagai sebabnja. Sudah barang tentu sebab itu kompleks namun dari kekompleksan sebab2 itu pada setiap peristiwa ada unsur2 jang menondjol.

Pemberontakan Andi Azis dan RMS nistjaja disemangati sisa2 kekuatan pro pendjadjahan di Indonesia.

Pembrontakan Madiun, DI/TII disemangati konflik Ideologi, PRRI/Permesta diunsuri konflik kepentingan pusat-daerah dibidang politik, tapi terutama dibidang ekonomi.

Studi tentang hubungan terdjadinja konflik2 dan taraf perkembangan ekonomi membuka fakta jang amat menarik. Semakin miskin keadaan suatu negara semakin banjak disana terdjadinja konflik2 dengan kekerasan fisik.

Sebuah studi misalnja mengungkapkan sedjak 1958, 87 prosen dari negara2 amat miskin mengalami kekerasan2 didalam negerinja. 69 prosen dari negara miskin mengalami hal jang sama sedangkan dari negara2 jang lumajan ekonominja hanja 48 prosen.

Kita hanja ingin menundjukkan bahwa kemiskinanpun mempakan keadaan social jang amat subur untuk terdjadinja konflik2 fisik.

Posisi dan peranan ABRI dibidang politik dan dengan itu djuga peranan golongan2 politik sipil di negeri kita ditentukan oleh seberapa djauh kita bersama mampu mengatasi sebab2 pokok dari konflik2 dimasa lampau itu.

Seberapa djauh kita bisa mengatasi konflik idiologi, disharmoni pusat daerah, seberapa djauh kita mampu mengatasi kemiskinan dengan pembangunan ekonomi.

Dinegara2 lain, manakala militer berkuasa, maka ia lantas membentuk suatu wadah politik baru jang didjadikannja saluran hubungan antara kaum penguasa militer dengan rakjat. Itu terdjadi di Mesirnja Masser, di Paki stannja Ayub Khan, di Korea Selatan.

Tidaklah demikian dinegeri kita. Kita tak tahu pasti sebabnja karena kurang tadjamnja penglihatan para pemimpin militer atau karena sengadja hendak membuktikan bahwa kaum militer paling sedikit tetap mau merupakan kekuasaan bersama dengan golongan-golongan politik.

Apabila kita melihatnja dari konsepsi tentang dwifungsi ABRI maka kita tjenderung untuk menerima pendapat jang kedua. Kaum militer dinegeri kita tetap mau membiarkan golongan2 politik hidup dan sama2 berfungsi mengatasi sebab2 dari ketidakstabilan negara dan kemiskinan rakjat.

Djika demikian halnja, dua hal seharusnja dilakukan oleh kaum militer dan oleh golongan2 politik.

Kaum militer hendaklah memberikan tempat jang lebih seimbang dan proporsionil kepada golongan2 politik. Agar partisipasinja dalam usaha bersarna memetjahkan masalah2 pokok tadi lebih besar.

Berdasarkan sedjarah konflik2 itu sendiri, maupun berdasarkan identitas golongan2 politik itu sendiri, partisipasi lebih besar itu memerlukan persjaratan.

Persjaratan itu ialah pembaruan atau penjesuaian identitas golongan2 politik. Golongan2 politik harus bisa rela mengatasi sebab2 konflik idiologi itu merekapun harus mampu merobah orientasi golongan pada orientasi nasional.

Tjepat lambatnja stabilitas politik dan pembangunan ekonomi di negari kita ditentukan oleh penjesuaian2 itu, oleh kerdjasama militer sipil di negeri kita. Kerdjasama itu djuga menentukan proses dan arah pertumbuhan demokrasi di negeri kita. (DTS)

Sumber: KOMPAS (04/10/1969)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 393-394.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.