TAJUK : KESIAPAN INDONESIA DALAM PERSAINGAN INTERNASIONAL [1]
Jakarta, Republika
Kehadiran Indonesia sebagai negara mitra dalam Pameran Hannover 95 merupakan momentum untuk memasuki persaingan internasional dalam industri yang canggih, termasuk industri pangan/pertanian, permesinan, dan industri teknologi tinggi. Hal itu dikatakan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J.Habibie di Jerman, Jumat lalu, ketika ia meninjau persiapan paviliun Indonesia di pameran akbar itu. (Republika, 2/4). Momentum Indonesia sebagai negara mitra, menurut Habibie, membuktikan bahwa bangsa Indonesia sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. “Kita harus tunjukkan bahwa manusia Indonesia sama dengan manusia Jerman maupun Amerika,” tandasnya.
“Pernyataan politik:” sekaligus “pernyataan budaya” itu penting digaris bawahi. Rasa kesederajatan perlu tertanam dulu, untuk pada gilirannya dibuktikan dalam bentuk prestasi-prestasi konkret. Mitos bahwa derajat bangsa kita lebih rendah daripada bangsa-bangsa lain perlu dikikis tuntas, paling sedikit karena dua alasan. Pertama, pendapat itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi ilmiah maupun religius. Kedua, manusia juga secara kolektif cenderung “menjadi” apa yang dikatakan atau dicitrakan orang terhadapnya. Jika kepadanya terus menerus dik:atakan bahwa ia lebih rendah daripada manusia lain. Ia akan yakin bahwa memang demikianlah adanya. Dipandang dari sudut apapun hal yang berimplikasi luas ini merugikan.
Dalam konteks perdaganganlekonomi, hal itu juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil. Tapi dalam konteks ini kita ingin menyatakan bahwa segi-segi struktural barangkali tak kalah penting, jika bukan lebih penting, dibanding aspek kultural tersebut. Dalam soal persaingan intemasional konteks utama pemyataan Menteri Habibie tersebut-sudah sering dikatakan oleh para pengamat bahwa pengusaha kita, khususnya para konglomerat, tak sanggup bertarung secara wajar di dalamnya. Mereka disebut bagaikan “macan kertas”, yang tampak garang dan perkasa dari luar, tapi sesungguhnya keropos di dalam. Mereka juga diibaratkan macan kandang, yang gesit bersepak-terjang dan hebat mengaum di kandang dalam negeri, tapi loyo di kancah internasional. Salah satu penyebab pentingnya, kata pengamat, adalah karena mereka menjadi besar bukan terutama karena kemampuan dan entrepreunership yang sejati, melainkan karena diuntungkan oleh struktur. Mereka selama ini terlalu dimanjakan oleh pelbagai fasilitas, baik berupa pinjaman modal yang sangat murah maupun macam macam subsidi dan proteksi. Sementara perusahaan-peru sahaan menengah dan kecil -yang merupakan sokoguru atau kontributor terpenting dalam struktur perekonomian negara-negara industri baru seperti Taiwan dan Korea Selatan-tak memiIiki akses yang sama besar dibanding akses konglomerat, selain kelemahan mereka di bidang pemasaran/distribusi produk dan rendahnya keterampilan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Sumber-sumber modal, terutama bank enggan memberi mereka kredit karena -begitulah alasan yang telah mendekati klise -risiko meminjami modal kepada mereka sangat tinggi.
Selain itu, ini menurut pengamatan kita, berkolusi dengan pengusaha menengah/ kecil itu jauh kurang menguntungkan. Di samping karena para pengusaha itu “petit”juga karena, meski mereka bersedia memberi “uang pelicin “, jumlahnya tidak mungkin besar. Begitulah, ketentuan pemerintah berupa keharusan menyisihkan 20 persen kredit untuk pengusaha kecil, misalnya, hingga kini belurn ada satu pun bank yang memenuhinya. Maka, jawaban bagi hasrat besaruntuk “sederajat dengan bangsa-bangsa lain” dan “sanggup bersaing di pasar internasional” harus dicari dalam aspek-aspek struktural seperti dipaparkan sepintas di atas, selain pada segi-segi kultural.
Sumber : REPUBLIKA (03/03/ 1995)
______________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 349-351.