Tajuk Rencana: BANTUAN YANG BERSYARAT POLITIK

Tajuk Rencana: BANTUAN YANG BERSYARAT POLITIK

 

 

Jakarta, Suara Pembaruan

PRESIDEN Soeharto dalam perjalanan pulang dari kunjungan kenegaraan ke luar negeri Rabu malam (11/12), menegaskan kepada pers yang menyertainya dalam pesawat terbang, bahwa kita harus kembali kepada prinsip pinjaman luar negeri. Yakni bahwa Indonesia tidak akan menerima bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan politik dalam negeri.

Sebab sejak semula telah disepakati bahwa bantuan itu diterima tanpa mengaitkannya dengan politik dalam negeri, tandas Kepala Negara.

Pernyataan sikap Presiden itu diberikan sehubungan dengan adanya pemberitaan bahwa beberapa negara donor mengaitkan pemberian bantuan mereka dengan Peristiwa Dili 12 November lalu. Semua penjelasan yang diberikan itu menurut apa adanya dan sesuai dengan kejadian sebenarnya,jelas Kepala Negara.

Menurut Presiden, pinjaman luar negeri itu hanya pelengkap saja, dan prinsipnya bantuan yang diterima harus berjangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran (grace period), bunga rendah, dan tanpa syarat politik apa pun.

DALAM hubungan ini, kita berharap agar penegasan Kepala Negara mengenai peristiwa di Timor Timur itu yang cukup lugas dan sesuai dengan keadaan yang sebenamya,dapat didukung pula oleh fakta-fakta yang berhasil dihimpun oleh Komisi Penyelidik Nasional (KPN) yang konon telah selesai dalam mengumpulkan fakta-fakta sehubungan dengan Peristiwa Dili itu.

Hal ini tentu untuk lebih meyakinkan lagi opini intemasional bahwa permasalahan di Timtim itu dapat kita letakkan pada proporsi yang sebenamya sesuai fakta yang ada. Tugas KPN cukup jelas yakni meneliti, dan menghimpun data selengkapnya agar kiranya pemerintah dapat mengambil tindakan melalui jalur hukum yang berlaku terhadap siapa saja yang bersalah tanpa pandang bulu.

Hal ini tentu merupakan suatu konsekuensi yang harus kita pikul apabila kita hendak membuktikan secara imparsial kepada dunia luar tentang kejadian sesungguhnya di Dili pada tanggal 12 November itu.

Yang ingin kita tekankan di sini bahwa tanpa tekanan apa pun entah melalui bantuan ekonomi dan lain sebagainya, dunia luar dapat mengetahui bahwa juga di negeri ini hak-hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi. Sehingga siapa saja yang melanggamya akan mendapat ganjaran sesuai hukum yang berlaku.

Mungkin dengan cara demikian kita dapat memulihkan kembali kepercayaan dunia luar terhadap kredibilitas kita sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, dan mempunyai harga diri dan martabat.

Dengan demikian kita sekaligus memberikan isyarat yang jelas kepada dunia internasional bahwa Indonesia menganut prinsip hidup berdampingan secara damai dengan bangsa-bangsa lain, dan tidak menghendaki campur tangan dalam urusan dalam negeri masing-masing. Dan yang penting tentunya agar kita tidak mudah terpancing oleh sikap yang agak konfrontatif dari masyarakat

internasional tertentu. Seperti telah kita kemukakan dalam ruang ini, di negara-negara pemberi bantuan kepada Indonesia, terdapat kelompok masyarakat, khususnya kalangan oposisi yang di waktu-waktu yang lalu dengan alasan membela hak-hak asasi manusia dan dengan motivasi politik anti RI, telah melakukan berbagai aksi untuk mencegah pemberian bantuan ekonomi kepada Indonesia.

Kita dapat memaklumi ini sebagai gejala yang wajar karena kita mengetahui bahwa juga  di negara-negara donor bersangkutan terdapat percaturan politik sebagai sesuatu yang logis dalam sistem demokrasi parlementer yang dianut negara-negara yang bersangkutan. Tampaknya akhir-akhir ini kecenderungan sikap mengaitkan bantuan ekonomi dengan syarat politik,juga terdapat pada pemerintah negara-negara donor tertentu, seperti Belanda dan Kanada.

SEBAGAI peminjam yang baik dalam arti membayar cicilan dan bunga pinjaman secara teratur, sikap demikian tentu tidak dapat diterima, sekalipun hak untuk memberi bantuan adalah sepenuhnya di tangan negara donor. Khususnya bantuan pinjaman yang belum disepakati dapat saja dibatalkan semaunya oleh yang bersangkutan.

Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda, J.P. Pronk, yang sesungguhnya lebih mengetahui situasi di Indonesia, justru di depan parlemen Belanda telah ikut serta dalam pemungutan suara yang menghentikan bantuan ekonomi kepada Indonesia. Pronk berpendapat bahwa selama belurn ada penjelasan yang memuaskan dari pihak Indonesia, Belanda akan menangguhkan bantuannya.

Seperti diketahui Belanda dalam rangka bantuan IGGI, telah menjanjikan bantuan yang belum disepakati kepada Indonesia sebesar 195 juta gulden terdiri dari 150 juta gulden bantuan proyek dan 45 juta bantuan khusus yang dapat dirupiahkan.

Menanggapi hal di atas Menko Ekuin Radius Prawiro mengatakan bagaimana mungkin Belanda dapat mengambil kesimpulan seperti itu, sedangkan penyelidikan oleh KPN tengah berlangsung.

Itulah kenyataan yang kita hadapi. Yang tak kurang pentingnya adalah, bagaimana kita mengembalikan kepercayaan masyarakat Timor Timur itu sendiri. Mungkin melalui pendekatan persuasif serta melalui peningkatan pembangunan di daerah itu kita perlu meyakinkan mereka, bahwa sebagai bagian dari bangsa Indonesia nasib mereka itu juga diperhatikan sehingga makna berintegrasi itu benar-benar dapat dirasakan. (SA)

 

Sumber : SUARA PEMBARUAN (16/12/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 424-426.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.