TAJUK RENCANA: BERFIKIR STRATEGIS

TAJUK RENCANA: BERFIKIR STRATEGIS[1]

 

Jakarta, Merdeka

Ketika Presiden Soeharto dalam kunjungannya di sebuah desa terpencil di Kutai, Kalimantan Timur, mengatakan kemiskinan dapat hilang pada tahun 2000 nanti, maka landasan ucapannya ada lab pemikiran strategis. Mengapa kita katakan demikian? Pembangunan akan tetap tersendat dan tidak efektif jika kemiskinan yang merupakan kendala penting, disamping memajukan demokrasi dan keterbukaan beijalan sendat. Dalam Trilogi Pembangunan, sasaran strategis adalah pemerataan pendapatan dan keadilan. Dengan demikian, maka apa yang kita inginkan, yakni tinggallandas perekonomian Indonesia akan segera terwujud. Tapi berfikir strategis memerlukan landasan yang bersifat strategis pula. Jika berbicara tentang pemerataan pendapatan, maka kita  berbicara pula tentang pemerataan pemilikan atas sumber daya produksi, pemerataan potensi produksi dan akhirnya pemerataan akses terhadap sistem distribusi dan pemasarannya. Maka kita akan sampai kepada sistem monopoli, proteksi, oligopoli ,dan tidak meratanya alokasi fasilitas. Jika Presiden melihat desa tertinggal yang jumlah penduduknya mencapai 25,9 jiwa, dan ini akan menjadi penghambat utama pada proses tinggallandas nanti, maka beliau menilainya secara strategis.Namun kesulitan utama, sebagaimana dipaparkan Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita,”Demokrasi ekonomi serta perekonomian nasional yang kokoh, sulit diwujudkan dalam iklim dunia usaha yang mengandung kesenjangan struktual yang tecermin dari kegiatan produksi, distribusi dan permodalan.”

Ginandjar melihat lapisan pengusaha yang sebenarnya harus menjadi tulang punggung pengembangan dunia usaha, ternyata kurang tangguh dan jumlahnya pun tidak memadai. Keadaan demikian menurutnya menimbulkan kevakuman di peringkat tengah yang merupakan perantara antara lapisan ekonomi atas dan bawah, yang disebutnya sebagai the hollow middle. Ini pula yang menurutnya menimbulkan dikotomi antara pelaku ekonomi menengah, serta menimbulkan rasa ketidakadilan. Dikotomi demikian tidak mudah dihilangkan, karena menyangkut penguasaan modal, sumber daya manusia, akses pasar dan teknologi. Maka Jengkaplah lingkaran setan yang menyebabkan perekonomian Indonesia seolah-olah “lari di tempat”. Ginandjar tampaknya masih menyimpan kiat. Kesenjangan seperti demikian, dapat saja dihentikan prosesnya, dengan cara meningkatkan efisiensi perekonomian. Upaya peningkatan melalui deregulasi yang disertai percepatan perubahan struktural pada dunia usaha yang memperkuat ekonomi usaha kecil dan memperkukuh lapisan menengah. Tentu kita tidak boleh melakukan penilaian gegabah terhadap gagasan Ginadjar. Juga tidak seyogyanya kita menggurui para menteri pembantu Presiden. Yang kita harapkan adalah berfikir strategis seperti yang contohnya diberikan Presiden adalah mengarahkan langkah kepada sasaran, dengan tidak melupakan langkah­ langkah pendahuluan secara mustahak. Kita bisa saja gagal dalam langkah-langkah pendahuluan, namunjangan kita terseret arus yang menyebabkan kita hanyut dan akhirnya menjauhi sasaran para pendiri republik ini, sering gagal dalam melakukan konfrontasi dengan Belanda, namun akhirnya mencapai sasaran utama yakni kemerdekaan kita seyogyanya mencintai mereka. Seperti yang dikatakan Karl Von Clauswitz, pemikir strategi perang yang tenar itu. “Yang penting adalah memenangkan peperangan, bukan sekedar memenangkan pertempuran demi pertempuran.”

Sumber: MERDEKA (23/05/1995)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 219-220.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.