TAJUK RENCANA: CENDEKIAWAN AGAR MELIHAT KE DEPAN

TAJUK RENCANA: CENDEKIAWAN AGAR MELIHAT KE DEPAN

 

 

Jakarta, Suara Karya

Dalam sambutan pada pembukaan Simposium Nasional Cendekiawan Muslim di Malang, Jawa Timur, Kamis lalu, Presiden Soeharto mengajak para cendekiawan untuk melihat ke depan. “Kita hidup dalam zaman yang penuh dengan kekuatan-kekuatan dinamis. Demikian banyak terjadi perkembangan-perkembangan baru yang harus kita hadapi dan kita atasi dengan mengambil keputusan yang tidak mudah, khususnya dalam bidang ekonomi dan keuangan,” kata Presiden.

Kepala Negara mengingatkan peta ekonomi dan politik dunia sedang berubah secara mendasar. Perubahan itu membawa tantangan­tantangan baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru. Juga harapan-harapan baru.

“Agar bisa berlangsung hidup dalam dunia yang bembah cepat ini, diperlukan kejelian pengamatan dan kecepatan reaksi, baik terhadap peluang yang terbuka maupun terhadap ancaman yang mungkin timbul,” kata Presiden.

“Kita tidak ingin dikejutkan terus menerus oleh berbagai perubahan dinamis tadi. Karenanya kita perlu mempunyai perspektif berjangka panjang dan bersifat mendasar mengenai masa depan itu,”kata Kepala Negara. Dalam kaitan semua itulah Presiden menilai prakarsa para cendekiawan muslim Indonesia untuk mengadakan simposium nasional guna membahas pembangunan masyarakat Indonesia abad 21 adalah tepat waktu.

KETIKA menyambut penyelenggaraan simposium, Kamis lalu, kita menggarisbawahi simposium ini mengandung arti strategis. Karena dengan tema yang dipilih tercermin bahwa cendekiawan muslim Indonesia berorientasi ke depan. Berorientasi kepada pencarian altematif-altematif yang dianggap paling baik bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi perubahan-perubahan cepat dan mendasar dalam peta, politik dan ekonomi dunia, seperti dikatakan Presiden.

Agar segenap sumber daya nasional dapat kita gunakan sebaik­baiknya dalam mencari altematif-altematif dengan kemanfaatan optimal bagi peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional serta pencapaian masa depan bangsa dalam peta politik dan ekonomi dunia yang berubah cepat itu, maka ajakan Kepala Negara mestinya tidak hanya patut ditanggapi positif oleh jajaran cendekiawan muslim. Tetapi, juga oleh seluruh jajaran cendekiawan bangsa lepas dari nilai-nilai agamis dan kepercayaan yang dianutnya.

Dengan itu akan dapat ciptakan dan dikembangkan suatu kesatuan persepsi, kesatuan sikap dan pola pandang yang bebas dari rasa curiga satu dengan yang lain. Pada gilirannya, hal ini akan menjadi sumber motivasi dan sekaligus motor penggerak bagi segenap jajaran kekuatan bangsa dalam menghadapi perubahan-perubahan cepat dan dalam mengarungi masa depan yang penuh tantangan namun penuh pula dengan peluang.

UNTUK itu, barangkali sebagai tindak lanjut dari simposium Malang, jajaran cendekiawan muslim patut mempertimbangkan, menjajagi kemungkin an, dan bahkan memprakarsai suatu interaksi dialogis antara jajaran cendekiawan muslim dengan cendekiawan nonmuslim, dengan titik tolak orientasi ke masa depan.

Dengan itu, selain dapat diharapkan akan ditemukan altematif­altematif terbaik bagi masa depan bangsa, juga seluruh daya maupun nasional akan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mewujudkan altematif terbaik itu.

 

 

Sumber : SUARA KARYA (08/12/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 374-386.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.