TAJUK RENCANA: JANGANLAH KITA MENDEWAKAN MATERI DAN MELUPAKAN AGAMA [1]
Jakarta, Kompas
Bangsa Indonesia agar tidak mendewa-dewakan materi, tapi mampu menjaga keseimbangan kehidupan spiritual dan materi. Para ulama mempunyai peranan utama dalam menyeimbangkan kedua hal itu.
Ajakan Presiden yang disampaikan ketika menerima para ulama se Jawa Barat itu, dewasa inimempunyai relevansi yang sangat aktual. Kecuali ajakan, sesungguhnya, penegasan Kepala Negara itu, sedikit banyak mencerminkan kegelisahan kita dewasa ini. Yakni kegelisahan yang menyangkut perasaan tidak enak dan perasaan yang menggugat, bagaimana sesungguhnya kondisi kita ini apakah sebut saja ekses (pengamatan lain memandang ,bukan sekadar lagi ekses) pembangunan ekonomi sekarang ini bukannya telah menimbulkan inklinasi pendewaan materi.
Ada kegelisahan besar, di satupihak pembangunan jelas harus dilanjutkan, karena sebut saja, 27 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan, sebaliknya, mengapa pembangunan yang belum selesai dan belum sejauh negara-negara tetangga kita, telah menimbulkan berbagai ekses yang tidak kita kehendaki,yang mengganggu rasa keseimbangan kita, bahkan rasa keadilan kita. Ada kegelisahan, mengapa seakan-akan dalam berbagai hal, sungguh-sungguh berlaku-bobot serta dampak materialisme pembangunan melanda dan mendesak ke belakang berbagai nilai lain yang kita muliakan termasuk nilai kejujuran,nilai seperlunya dan sepantasnya, nilai martabat serta keunggulan pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak mendatangkan uang banyak. Ada kegelisahan, mengapa daya dampak materialisme pembangunan ekonomi lewat jalan ekonomi pasar itu, mengkaburkan batas cukup adalah cukup, sebaliknya, terus mendesak dan mendorong tanpa kenai batas. SELALU agak membesarkan hati, bahwa rupanya, kita tidaklah seorang diri dalam menghadapi dilema pelik ini. Dalam tajuk rencananya, Mingguan Asia week 8 get richer, Asia needs an ethicfor the wealthy lebih jauh dari sekadar motivasi laba. Ketika orang-orang Asia bertambah kaya, maka Asia memerlukan etika untuk kaum kaya itu.
Dilukiskan dalam ulasan itu, dari Cina sampai India, Thailand dan Indonesia, tumbuh perasaan tidak enak dan perasaan protes terhadap kekayaan. Padahal kekayaan itu, melalui jalan yang wajar atau melalui jalan yang tidak wajar, merupakan buah pembangunan. Mengapa perasaan itu timbul? Barangkali, karena di Asia, seperti India, Cina dan Indonesia, sebelumnya yang berlaku adalah paham yang bervariasi, namun amat berbobot sosialisme, sekurang-kurangnya berbobot keadilan sosial. Belajar dari kamerad di Cina ungkapan orang kaya setan kota, yang pemah diperkenalkan oleh Aidit dan kawan-kawannya. Karena seperti misalnya di Indonesia, pandangan dan perasaan perihal keadilan sosial itu begitu luas dan mengakar dalam masyarakat, sehingga muncullah tradisi dan mithos Ratu Adil.
Karena orang-orang Asia itu, pada umumnya, lebih religius dalam pengertian, sangat menghargai dan menghayati nilai-nilai hidup nonmaterial, nilai-nilai dari dunia transenden di sana maupun di sini. Kondisi lingkungan pun membuat keadaan lebih muskil untuk dikendalikan oleh irama yang lebih tercerna. Ketika Jepang membangun ekonominya, pola konsumerisme belum seganas dan seprovokatif sekarang. Belum menjadi total dan menyeluruh, transparansi yang terjadi di zaman itu, dibandingkan dengan zaman sekarang. Jika bukan lewat media massa, lewat transportasi dan komunikasi, satu sama lain saling melihat dan menyaksikan , sehingga sekiranya ada kontras atau hal-hal yang diterima dan dirasakan sebagai distorsi, hal itu dilihat dan dirasakan secara serentak. JIKA demikian halnya , bagaimana menemukan dan menempuh jalan ke luar? Sebagai konsep, sesungguhnya dapatlah arah pemecahannya ditemukan dalam formula pembangunan yang berwawasan lingkungan. Lingkungan yang lebih kita kenai adalah lingkungan hidup, pemeliharaan lingkungan alam. Lingkungan di sini, kita perluas, mencakup lingkungan wawasan atau pandangan hidup, lingkungan alam dan lingkungan sosial, lingkungan masyarakat Bacalah Garis-Garis Besar Haluan Negara, maka amatjelas bahkan amat imperatif, bagaimana sesungguhnya konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan dalam maknanya yang luas, mencakup dan komprehensif itu, telah Letak permasalahannya di mana? Maka muncullah pandangan kritis yang selama ini dikemukakan tidak ada konsistensi dalam merumuskannya dalam kebijakan, terutama dalam pelaksanaan. Hal itu di antaranya dibuat tebih rumit oleh berlangsungnya berbagai benturan dan kepentingan serta pertimbangan-pertimbangan politik status quo.
Baiklah, pandangan itu kita pahami dan dimasukkan dalam pertimbangan. Apakah ada faktor lain? Setelah dipertimbangkan benar-benar, faktor lain itu memang ada, ialah kondisi nyata masyarakat kita sebagai warisan masa lampau. Kondisi itu menyebabkan pemerintah dan kita ditempatkan pada pilihan dilematis yang serba sulit. Jika mau segera dan cepat menghasilkan kemajuan ekonomi, untuk mengurangi kemiskinan serta untuk memacu perkembangan lebih lanjut, kita akan cenderung memilih jalan sekarang ini. Potensi yang hadir dan siap, diberi kesempatan, bahkan kesempatan besar yang dipacu oleh kerja sama. Hasilnya jelas nyata, pertumbuhan cukup besar. Ongkos sosialnya juga jelas, yakni kesenjangan.
Jika mau berlama-lama, berbenah dan persiapan lebih dulu terhadap semua potensi masyarakat kita akan juga membawa hasil, akan tetapi lebih lambat dan mungkin mengakibatkan kita semakin ketinggalan. Sebab, harus juga menjadi catatan, kondisi regional dan kondisi mondial pun, membuat pilihan kedua lebih sulit. Sebaliknya, menjadikan pilihan pertama, lebih lancar. HARUS diartikan bagairnana, misalnya, saran Asia week, agar orang melangkah lebih jauh dari sekadar laba, beyond the profit motive! Dalam kondisi nyata Indonesia, hal itu tidak bisa sekadar diartikan secara teknis dan secara kebijakan. Hal itu haruslah juga berarti, politik, terutama dalam pengertian nation and character building, membuat pembangunan bukan sekadar kesempatan ekonomi, melainkan kesempatan sejarah, sehingga bukan hanya motivasinya, tetapi juga perilaku dan resultatnya benar -benar untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat Indonesia.
Deklarasi Jimbaran, Bali, beberapa waktu lalu, misalnya, hanya mempunyai makna yang penuh jika dikaitkan dan dihayati dalam formula di atas, pembangunan bukan sekadar another economic oportunity, tetapi pembangunan sebagai kesempatan bersejarah, dengan visi, tanggungjawab dan komitmen sejarah terhadap bangsa Indonesia. Dari sikap dasar dan pandangan itu, barulah dijabarkan pandangan, perilaku dan aturan main yang bukan saja hukum, tetapi juga etika. Pandangan, sikap dan perilaku etika ekonomi dan etika kekayaan itu, menjadi sangat krusial, karena justru ekonomi kita berada dalam alam dan suasana deregulasi. Apa implikasi deregulasi? Semakin sedikit yang diatur oleh hukum, semakin banyak yang diserahkan kepada tanggung jawab masyarakat dan para pelaku ekonomi. KITA mencari jalan mempertemukan keseimbangan antara dunia sini dan dunia sana, bukan sebagai dua dunia yang berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak ketemu tetapi sebagai dua dunia yang berada in tandem bersama-sama. Barulah usaha kita tidak memberi kesan sia-sia atau seakan-akan bertetiak kepada telinga-telinga tidak dapat mendengar.
Sumber : KOMPAS ( 18/09/1995)
___________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 528-531.