TAJUK RENCANA KESEPAKATAN DI PULAU LANGKAWI

TAJUK RENCANA

KESEPAKATAN DI PULAU LANGKAWI[1]

Jakarta, Suara Pembaruan

KESEPAKATAN di berbagai bidang antara Presiden Soeharto dan PM Malaysia Mahathir Mohamad di Pulau Langkawi, menunjukkan kembali kebesaran jiwa kedua negara serumpun itu dalam mengatasi berbagai benih-benih konflik dan perbedaan kepentingan melalui perundingan. Dalam pembicaraan selama kunjungan tiga hari di pulau yang terletak antara perbatasan Malaysia dan Muangthai itu, kedua kepala pemerintahan telah membahas dan menyepakati banyak hal, seperti keinginan Malaysia untuk mengekspor mobil Proton Saga dan Indonesia menawarkan pesawat terbang produksi IPTN. Juga telah dicapai kesepakatan untuk membentuk komite pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia.

Sementara itu, permohonan Malaysia untuk membuka cabang-cabang banknya di Indonesia, telah disetujui. Dan gagasan pengembangan Segitiga Pertumbuhan Utara antara Indonesia, Malaysia dan Muangthai juga tercantum dalam agenda pembicaraan. Tapi tampaknya perhatian pers mengenai pertemuan di Langkawi itu, terkesan lebih terfokus pada masalah klaim tentorial karena warisan sejarah seperti dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan di perairan perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sabah. Hal ini dapat dipahami, mengingat opini umum selama ini beranggapan dalam iklim kerjasama ASEAN tidak mungkin teljadi konflik antara sesama anggota ASEAN. Apalagi antara sesama rumpun Melayu.

Munculnya masalah klaim atas kedua pulau terpencil itu dapat dikatakan merupakan suatu kejutan. Juga dapat dipertanyakan mengapa bobot konflik dapat berkembang, padahal kedua pulau yang dimasalahkan itu masing-masing hanya seluas sekitar satu kilometer persegi, dilihat dari segi potensinya baik ekonomis maupun strategis tidak mempunyai banyak arti bagi kedua belah pihak. Namun masalahnya memanas ketika sejak beberapa waktu lalu Malaysia membangun berbagai fasilitas di kedua pulau itu yang dinilai Indonesia sebagai pelanggaran atas komitmen status quo yang telah disepakati bersama sejak tahun 1969.

SEPERTI diungkapkan Menlu Ali Alatas, sengketa atas kedua pulau itu muncul setelah kedua negara saling menyampaikan dokumen mengenai posisi masing-masing, maka sekarang disepakati bahwa persoalannya akan dibawa ke tingkat perundingan yang sebenarnya. Sipadan dan Ligitan yang dinyatakan status quo sejak 1969, diharapkan dapat diselesaikan akhir tahun 1993. Indonesia , kata Menlu A latas, sejak semula memang mendesak agar selama proses itu berjalan, kesepakatan status quo atas kedua pulau itu dijaga. Kedua belah pihakjuga diharapkanjangan melakukan kegiatan yang dapat ditafsirkan sebagai mengubah status quo. Yang jelas, menurut Ali Alatas, sengketa itu dapat diselesaikan dalam suasana penuh persahabatan yang sudah terjalin selama ini. Dikatakan hal-hal prinsipal hendaknya dapat diselesaikan secepat mungkin agar tidak menjadi beban bagi generasi mendatang.

Di bidang ekonomi juga tidak selalu terdapat kesamaan kepentingan antara kedua negara berkembang itu, terutama karena kedua negara tropis itu menghasilkan jenis komoditi ekspor yang sama seperti kelapa sawit, karet, kayu lapis dan sebagainya. Struktur ekspor demikian tentu saja cenderung bersaing di pasaran dunia, apabila tidak diadakan pendekatan kerjasama yang seerat- eratnya antara kedua negara.

KESEPAKATAN tentang Sipadan dan Ligitan di Langkawi antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Mohamad agaknya tidak terlepasju ga dari hikmah yang diperoleh dari sejarah perkembangan kedua negara di masa lalu. Semangat rujukan antara kedua negara yang bertetangga itu yang dilihat dari segi etnis dan budaya termasuk rumpun Melayu, bukan baru kali ini muncul dalam sejarah peljalanan kedua bangsaitu.

Sekitar 27 tahun lalu tepatnya tanggal 11 Agustus 1966 kita mencatat peristiwa bersejarah berupa penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan RI-Malaysia di Jakarta, setelah kedua negara ini terlibat dalam konfrontasi sejak Januari 1963. Sekalipun kedua bangsa itu terlibat dalam konfrontasi bersenjata, namun konflik yang parah itu pada akhirnya berhasil diselesaikan di mej a perundin gan tanpa ada pihak ketiga yang dilibatkan.

BELAJAR dari peristiwa rujukan RI-Malaysia itu bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara telah menari k hikmahnya dan merintis jalan ke arah pembentuk an perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang kini dikenal dengan ASEAN. Sejak itu dalam dua dasawarsa terakhir ini boleh dikata berbagai benih-benih konflik di Asia Tenggara, berhasil diredam dengan semangat ASEAN . Melalui wadah itu pula terjalin kerjasama ekonomi antar kawasan yang eksistensinya kini terasa mutlak perlu dalam menghadapi berbagai dampak globalisasi.

Sudah tepat memang apabila pembicaraan di Langkawi itu lebih mengedepankan aspek kerjasama ekonomi karena memang hal-hal seperti itulah yang merupakan esensi yang rasional dan objektif dalam menjangkau hubungan masa depan yang lebih baik antara kedua bangsa ini, daripada larut dalam nasionalisme yang fanatik. Namun hal itu bukan berarti, bagi negara yang berdaulat, keutuhan wilayah  dan otoritas teritorialnya dapat diabaikan begitu saja.

Sumber : SUARA PEMBARUAN (20/07/1993)

______________________________________________________________________

 

 

 

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 168-170.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.