TAJUK RENCANA: KITA HARUS MAMPU BERSAING DALAM MEMBERIKAN JASA PELAYANAN
Jakarta, Kompas
ITULAH instruksi yang diberikan oleh Presiden Soeharto kepada para pejabat lewat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Ir. Sarwono Kusumaatmadja. Ditekankan, agar proses pengurusan perizinan disederhanakan dan diperlancar agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan ASEAN.
Benarkah dalam hal memberikan jasa pelayanan, kita ketinggalan? Sebagai contoh, Menteri PAN Sarwono menunjuk untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan di kawasan industri, kita memerlukan 40 sampai 50 hari. Di negara ASEAN lainnya, hanya diperlukan 24 jam sampai paling lama 3 hari.
Diingatkan oleh menteri kalau kita tetap ngotot, mempertahankan cara kerja yang sudah ketinggalan zaman, kita akan kalah bersaing dengan negara lain. Dalam waktu 15 tahun, di kawasan ASEAN akan berlaku sistem perdagangan bebas. Apabila pada waktu itu Indonesia tetap ketimpangan dalam memberikan jasa pelayanan, kita hanya akan menjadi tempat dipasarkannya barang-barang A SEAN, tanpa kita sendiri sanggup bersaing dalam memasarkan barang-barang kita.
ADALAH menarik, perhatian Kepala Negara tentang kelancaran pemberian jasa pelayanan. Hal itu berarti, kampanye atau tidak kampanye, penyelenggaraan pemerintahan jalan terns. Hal itu juga ditunjukkan oleh kegiatan lain seperti peresrnian berbagai proyek pembangunan di berbagai tempat. Pemerintahan berjalan terus, pembangunan berlangsung terus.
Instruksi mengenai keharusan meningkatkan jasa pelayanan juga menunjukkan, pemerintah mengetahui apa-apa saja yang masih menjadi kelemahan. Salah satu di antaranya adalah pemberian jasa pelayanan. Persoalan ini menjadi serius, karena perkembangan ekonomi Indonesia telah mencapai tingkat baru ialah harus bersaing dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara sesama anggota ASEAN.
Inilah sisi muka lain dari kehidupan kita sebagai bangsa yang bertekad melangkah maju bahwa tidaklah mungkin kita hanya asyik dengan urusan kita sendiri. Tidaklah mungkin kita hanya melihat ke dalam. Seraya melihat ke dalam, kita juga harus melihat ke luar. Orientasi ke luar, telah menjadi tradisi kita sejak zaman pergerakan.
Dalam pelaksanaan, ada perbedaan tekanan. Jika dulu, tekanannya politik, kini tekanannya lebih ekonomi. Sekadar tekanan, sebab sesungguhnya politik dan ekonomi tidak terpisahkan. Jika distingsi kita buat, maksudnya terutama untuk menekankan konsekuensi dan implikasi yang harus kita tarik. Sebab ekonomi yang berorientasi ke luar, bekerja sama dengan negara lain, serta berjual beli di pasar internasional, memang membawa tantangan dan permasalahannya sendiri.
Ada banyak faktor, mengapa Jepang unggul dalam ekonomi, bahkan dalam banyak hal mengungguli Amerika Serikat. Di antara banyak faktor itu, terdapat faktor bahwa Jepang mengkhususkan perhatiannya dalam ekonomi, ke dalam maupun ke luar. Ketika Amerika Serikat dan negara-negara lain sibuk dengan urusan politik dan keamanan dalam kaitannya dengan Perang Dingin, Jepang secara diam-diam dan secara terkonsentrasi membangun ekonomi, industri, teknologi.
Jepang secara konsisten menarik implikasi dan konsekuensi dari pilihan strategisnya yang setengah dipaksakan kepadanya yakni orientasi ekonomi ke dalam dan ke luar. Orientasi ke dalam seperti menghasilkan produk yang bermutu dan bersaing harganya, dimanfaatkan untuk ekspansi ekspor ke luar, untuk meluaskan pasar dan memelihara pasar di negara-negara lain. Dan di belakang mutu yang baik, harga yang kompetitif serta ekspansi pasar secara efektif, hadirlah kunci besar, ialah mutu pelayanan.
DARI contoh Jepang, menjadi lebih jelas, sesungguhnya salah kaprah juga, jika dikatakan pembangunan ekonomi itu sekadar teknis, praktis, dan pragmatis. Pembangunan ekonomi adalah pembangunan yang mencakup, karena sudah jelas, hanya akan berhasil apabila juga mencakup pembangunan sikap, orientasi, sistem nilai. Di belakang orientasi ekspor misalnya, ada reorientasi sikap dan nilai, berarti reorientasi kebudayaan.
Memberikan jasa pelayanan secara lebih efisien, artinya lancar dan murah juga memerlukan perubahan sikap. Tidak bisa dipertahankan misalnya, kebiasaan kita mengapa mesti buru-buru, mengapa mesti sekarang, esok kan juga masih bisa. Sikap itu diubah menjadi apa yang bisa dilakukan sekarang, sekarang juga dilaksanakan, bukan esok hari, biar mereka menunggu. Sudah biasa itu Kebiasaan ini harus diubah.
Kenapa kita, pejabat yang harus memberikan pelayanan. Bukankah masyarakat yang justru harus melayani kita. Bukankah itu pola yang lebih sesuai dengan tradisi kita. Masyarakat, rakyat, yang memberikan pelayanan dan upeti kepada pejabat, bukan sebaliknya. Amat besar usaha pemerintah untuk merombak sikap dan orientasi tersebut. Pejabat dan pamong dan pegawai pada semua tingkatan adalah abdi masyarakat. Dengan formulasi itu ingin ditekankan, revolusi sikap yang harus terjadi bahwa pejabat dan pamong dan pegawai bukan untuk dilayani akan tetapi justru untuk melayani.
Baiklah, kita layani, kita beli izin dan lain-lain yang diperlukan sesuai dengan aturan, tetapi quidpro quo, ada jasa pelayanan, ada imbalan. Kebiasaan itu kita kenai sebagai salah satu penyebab, berlakunya gejala ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi, dengan sendirinya, membuat barang maupun jasa pelayanan Indonesia menjadi kurang mampu bersaing.
Instruksinya hanya berbunyi, perlancar dan sederhanakan pemberian jasa pelayanan. Pemberian izin mendirikan bangunan yang sejauh ini makan waktu sebulan lebih, harus dibuat lebih cepat. Sebab di Thailand, di Malaysia, di negara ASEAN lainnya, izin yang sama selesai dalam waktu 24 jam atau paling lambat 3 hari.
Di belakang instruksi sederhana itu, terangkat kaitan-kaitan yang lebih luas dan lebih mencakup seperti perubahan sikap dan orientasi, pemutusan kebiasaan yang menahun tetapi kontra produktif Di belakang instruksi sederhana itu dibuka mata kita sebagai bangsa, bahwa kita dihadapkan pada persaingan. Bahwa kita harus memenangkan persaingan itu, manakala kita akan terus melangkah maju.
PERJALANAN bangsa dan negara senantiasa memerlukan tantangan. Tantangan itulah di antaranya, perekat rasa persatuan dan pengobar jiwa pantang menyerah. Tantangan kita sekarang adalah persaingan dengan bangsa-bangsa lain dalam menghasilkan barang yang bermutu, yang kompetitif harganya, dan yang tersedia di pasar-pasar dunia yang memerlukan. Tidak akan jemu-jemu, kita mengutip pernyataan pengusaha Korea Selatan, bahwa ia dan rekan-rekannya merasa seperti memenangkan peperangan, setiap kali dapat merebut pasar baru di dunia bagi produk perusahaannya. Itulah ekspresi dari apa yang bisa disebut sebagai patriotisme baru atau nasionalisme baru. Ada tantangan dan tantangan itu bisa dijawab dan dikalahkan.
DEMIKIANLAH, maka sesungguhnya, sekalipun jalan pragmatisme harus ditempuh dalam menapak pembangunan, di belakangnya, konteks dan kaitannya, senantiasa mencakup luas dan mendalam, sehingga karena itu juga mengandung romantika dan sanggup membangkitkan hal-hal yang baik pada bangsanya.
Sumber : KOMPAS (05/06/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 116-119.