TAJUK RENCANA: MAKNA TAMPILNYA PRESIDEN DI PBB
Jakarta, Suara Karya
SELASA 15 September lalu, Sidang Um um PBB dimulai, dan menurut jadwalnya akan bertangsung selama tiga bulan. Untuk kurun waktu selama setahun (September 1992-September 1993) Menteri Luar Negeri Bulgaria, Stovan Ganev, terpilih sebagai Ketua Sidang Umum PBB. Sidang Umum akan membahas lebih dari 140 isu.
Di depan sidang umum lembaga tertinggi dunia itulah 24 September yang akan datang atau Kamis pekan depan, Presiden Soeharto akan menyampaikan pidatonya sebagai ketua baru Gerakan Non Blok. Menurut Menteri Luar Negeri, Ali Alatas, Senin lalu, Presiden akan tampil sebagai pembicara pertama dalam agenda pemandangan umum SU PBB. Dalam pemandangan umum itu Presiden akan mengungkapkan posisi Indonesia dan GNB mengenai berbagai masalah dunia. Presiden dan rombongan akan meninggalkan Indonesia hari Minggu 20 September Iusa.
APA saja substansi pidato Presiden itu tentulah menarik sekali untuk diketahui. Sebab, sebagai ketua baru dan yang memimpin KTT X GNB-yang oleh sementara pers dunia yang benar-benar berskala internasional dinilai sebagai KTT yang akan membuka lembaran baru bagi perjuangan GNB rasanya cukup beralasan jika penampilan Presiden sebagai Ketua GNB di depan SU PBB akan menarik perhatian yang lebih besar bila di bandingkan dengan penampilan Ketua. Ketua GNB sebelumnya.
Surat kabar International Herald Tribune (IHT), yang bermarkas di Paris dan terbit secara serentak di sepuluh kota-kota dunia lainnya (London, Zurich, Hongkong, Singapura, Den Haag, Marsielle, New York, Roma, Tokyo, Frankfurt), dalam penerbitannya pada akhir KTT X GNB memuat berita empat-kolom dari enam kolom halaman pertamanya (induk berita) tentang KIT GNB Jakarta. Judul beritanya: “Non Aligned Reality: No More Anti- Western Rhetoric” (Real it as Non Blok: Tidak ada lagi retorika anti-Barat).
KALAU surat kabar IHT bisa dijadikan salah satu barometer, tidak berlebihan dugaan kita bahwa apa yang disampaikan Presiden sebagai Ketua GNB di depan SU PBB 24 September yang akan datang akan mendapat perhatian yang cukup besar pula. Karena dalam sejarah GNB untuk pertama kali gerakan itu tampil dengan sosok yang memperlihatkan sikap lebih matang.
Sikap yang lebih matang itu tidak hanya tercermin dari tidak lagi diwamainya KTT X dengan retorika anti-Barat tetapi juga dari strategi perjuangan GNB yang sebelumnya bersifat kontrontatif menjadi strategi yang bersifat kemitraan (partnership) antara Selatan dan Utara. Strategi baru itu diisi lagi dengan dimensi untuk menggalakkan dan mengisi kerja sama antar negara GNB (Selatan-Selatan) dengan programprogram yang lebih konkret. Sedangkan, dalam menggalakkan dan mengisi kerja sama internasional KTT Jakarta sepakat untuk menjadikan PBB sebagai kunci pemecahan masalah-masalah internasional.
LAHIRNYA strategi baru GNB yang mencerminkan kematangan berpikir dan bersikap itu tentulah tidak bisa di lepaskan dari peranan Indonesia sebagai Ketua KIT X. Rasanya sangat beralasan kalau kita menggaris bawahi hal ini karena strategi baru yang dihasilkan KTT X GNB mengingatkan kita kepada strategi baru yang ditampilkan
Indonesia pada awal Orde Baru. Kalau pada zaman Orde Lama Indonesia tampil ke luar dan ke dalam dengan strategi yang bersifat konfrontatif ingatgo to hell withyour aid, keluar dari PBB dan sebagainya-padahal waktu itu perekonomian Indonesia benar- benar diambang kebangkrutan dengan laju inflasi 650 persen, maka setelah Orde Baru Indonesia tampil dengan strategi yang mengutamakan kerja sama keluar dan ke dalam.
MENURUT hemat kita, dalam konteks semua itulah tampilnya Presiden Soeharto di depan SU PBB 24 September nanti benar-benar punya makna historis bagi Indonesia dan Dunia Ketiga.
Sumber : SUARA KARYA (18/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 212-214.