TAJUK RENCANA : MENJELANG APRIL 1994[1]
Jakarta, Merdeka
Dalam beberapa waktu terakhir ini, naluri politik kita dapat menangkap adanya suatu keinginan kuat pemerintah untuk lebih “arif dan bersikap manis” terhadap perkembangan pemikiran politik masyarakat, terutama menyangkut demokrasi dan hak asasi manusia.
Sikap “manis” pemerintah itu dapat kita rasak:an melalui ungkapan- ungkapan politik yang disampaikan oleh Presiden Soeharto maupun dari para pimpinan ABRI dalam beberapa kesempatan terakhir ini, dan dari ungkapan itu dapat pula kita lihat sebagai upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan dan kendala-kendala politik “masa lalu” sebelum memasuki babak : baru Pembangunan Jangka Panjang Tahap II yang dimulai April 1994, yang tentu bisa lebih kompleks dan sulit ditebak. Pernyataan Presiden Soeharto, Rabu (4/8) di hadapan peserta Kursus Singkat Angkatan III Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dapat disebut sebagai isyarat sikap proaktif pemerintah terhadap aspirasi masyarakat yang berhubungan dengan demokrasi, dan hak-hak politik masyarakat.
Presiden Soeharto di hadapan peserta Kursus Singkat Lemhanas itu mengatakan, prakarsa dan kreativitas masyarakat hanya mungkin tumbuh dan berkembang dalam suasana yang nyaman dan bebas dari cengkraman ketakutan. Tanpa kondisi yang demikian, mustahil diharapkan tumbuhnya prakarsa dan kreativitas masyarakat.
Pernyataan ini kita nilai sebagai pandangan yang arif di tengah semakin tingginya kepedulian masyarakat terhadap demokrasi dan hak asasi. Dan sekaligus dapat kita lihat sebagai “bergesernya” pemahaman pemerintah terhadap rakyat secara lebih menyeluruh. Rakyat tidak lagi dilihat sebagai “batu” dalam proses bangunan bangsa, terapi telah ditempatkan sebagai peletak “batu” dalam proses pembangunan secara keseluruhan.
Bergesernya (katakanlah demikian) cara pandang pemerintah terhadap rakyat tersebut, menurut hemat kita, sudah terasa ketika ABRI diminta sebagai pendorong bagi berkembang demokrasi, dan kemudian diikuti dengan kebijaksanaan tut wuri handayani.
Di ABRI sendiri, dapat pula kita rasakan terjadinya perubahan-perubahan pemikiran menuju ke arah yang lebih segar dan akomodatif Pernyataan pimpinan teras ABRI yang menekankan pada sikap proaktif terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat, mengisyaratkan perubahan cara pandang tersebut.
Bergulirnya berbagai perubahan cara pandang pemerintah itu tentu menimbulkan berbagai pertanyaan yang wajar. Pertanyaan tersebut bisa saja, misalnya, apakah perubahan cara pandang pemerintah itu merupakan bagian dari suatu skenario menjelang PJPT II, atau karena pengaruh globalisasi yang membawa unsur-unsur penekan?
Selain karena faktor pengaruh globalisasi, kita melihat bahwa perubahan cara pandang pemerintah ini tidak lepas dari upaya pemerintah untuk “menyamankan kondisi politik” sebelum memasuki PJPT II.
Menurut hemat kita, pemerintah menginginkan PJPT II sebagai babak baru yang lebih segar dalam pembangunan kehidupan politik, dan karena itu “kekeliruan kekeliruan” cara pandang masa lalu sedapat mungkin diperbaiki. Pemerintah memahami bahwa terlambat sedikit saja menyadari “kekeliruan-kekeliruan” masa lalu, berarti memperbesar tumpukan kekeliruan untuk masa depan, dan sekaligus mempertipis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Padahal dalam pembangunan masa depan (PJPT II) diperlukan partisipasi besar dari masyarakat, dan prakarsa serta kreativitas masyarakat.
Karena itu tidak begitu aneh, jika menjelang PJPT II ini ada suatu skenario politik yang dimainkan pemerintah, seperti misalnya apa yang bisa kita lihat di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bahkan juga nantinya di Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan. Sebab ada suatu asumsi bahwa terjaminnya pelaksanaan PJPT II berkaitan erat dengan siapa yang akan memimpin negara ini setelah Sidang Umum MPR tahun 1997.
Bagi masyarakat, terjadinya perubahan cara pandang pemerintah belakangan ini jelas cukup baik, sejauh hal itu bukan sekedar “menanam tebu di bibir”. Sebab tuntutan utama masyarakat adalah terciptanya iklim yang benar-benar demokratis, tidak dalam tekanan-tekanan dan ketakutan.
Karena itu, apa yang telah diucapkan oleh
maupun sikap-sikap politik ABRI yang proaktif, harus diwujudkan, misalnya, dengan menghapuskan segala kendala yang menyebabkan masyarakat dicekam ketakutan, menghapuskan kesan seakan pemerintah menjadi pihak yang paling mengerti dan paling benar.***
Sumber : MERDEKA (06/08/1993)
__________________________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 196-198.