TAJUK RENCANA: ORDE BARU DAN PAK HARTO [1]
Jakarta, Pelita
Hari ini, 8 Juni 1992, Pak Harto genap 71 tahun. Sudah tentu, kita ingin mengucapkan selamat kepada seluruh keluarga Pak Harto, dan rasa syukur kehadirat Allah SWT, bahwa beliau masih dikaruniai kesehatan untuk dapat memimpin bangsa ini. Kita merasa perlu membuat catatan kecil pada saat ulang tahun Pak Harto kali ini, oleh karena pada saat-saat seperti sekarang ini, pada saat Orde Baru akan mengakhiri tugas sejarahnya mengantar bangsa dengan pembangunan jangka panjang yang pertama, niscaya kita tidak dapat melepaskan diri dari pengabdian Pak Harto memimpin bangsa ini selama lebih dari 25 tahun.
Secara jujur, kita semua mengakui bahwa apa pun yang terjadi di negara ini, di dalam jangka waktu 25 tahun terakhir, tidak akan dapat dilepaskan dari pengabdian Pak Harto. Membuat catatan kecil, tidak berarti kita ingin mengadakan evaluasi. Tetapi sekadar ingin belajar dari sejarah, di mana sejarah itu, untuk sebagian atau bahkan inti sebagian besar, Pak Harto tentunya sangat mewamai, oleh karena beliau adalah orang pertama negeri ini di dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Sedangkan bagi anak muda, generasi penerus, mempelajari sejarah juga sangat penting agar dapat memperoleh gambaran yang proporsional terhadap perjalanan bangsanya, sehingga dapat melihat masa-depan bangsanya secara lebih jernih.
Tampilnya Pak Harto di dalam kepemimpinan Orde Baru, sesungguhnya tidak terlepas dari peristiwa yang sangat bersejarah yang dialami bangsa ini, yaitu peristiwa G30S/PKI. Apabila kita boleh berandai-andai, seandainya tidak ada peristiwa G 30S/ PKI, mungkin sejarah Indonesia tidak akan mencatat nama Soeharto. Sebab, Pak Harto di waktu itu “hanyalah” seorang prajurit, Komandan Kostrad yang masih berada pada jarak yang jauh dari kekuasaan pemerintahan.
Tetapi, keadaan memang tampaknya memanggil Pak Harto untuk tampil, menyusul vacumnya kepemimpinan Angkatan Darat oleh gugurnya Pak Yani dkk akibat kebiadaban kaum Komunis/PKI. Pak Harto tampil menyelamatkan bangsa dari upaya kudeta PKI. Tidak saja berhasil menggagalkan upaya kudeta, tetapi kemudian bahkan menghancurkan kekuatan PKI di Indonesia. Padahal, hanya beberapa saat sebelum kudeta yang gagal itu, PKI sangat mendominir percaturan politik di Indonesia.
Seandainya, sekali lagi, kita boleh berandai-andai, PKI dapat menahan diri dan tidak melaksanakan kudeta, tidak mustahil PKI dapat menguasai negara ini, sebab, hampir seluruh kekuatan politik sudah berada di dalam pengaruh dominasinya. Partai Nasional Indonesia (PNI), sebagai partai politik terbesar di waktu itu, ternyata berhasil diinfiltir PKI; sehingga sulit dibedakan garis politik antara keduanya, meskipun kekuatan anti komunis di PNI tetap berusaha untuk membuat perlawanan, misalnya Ruslan Abdulgani, Osa Maliki (alm), dllnya.
Sedangkan Partai Masyumi, partai Islam terbesar di tahun 50-an, pada tahun 1959 telah berhasil dibubarkan melalui dekrit Presiden Soekarno. Tampilnya Pak Harto dan Angkatan Darat pada umumnya, adalah sekadar suatu konsekuensi yang logis, oleh karena secara perimbangan politis, hanya Angkatan Daratlah yang mampu mengimbangi kekuatan politik PKI dan bahkan yang kemudian menghancurkan kekuatan PKI dengan dukungan seluruh rakyat.
Demikianlah, memasuki epilog G30S/PKI timbullah dualisme sikap politik bangsa, khususnya menghadapi PKI. Dengan peristiwa yang demikian kejam, wajar apabila rakyat menghendaki pembubaran PKI. Tetapi, setelah demikian hebat tuntutan itu berlangsung, tidak ada tanda-tanda PKI akan dibubarkan. Gontok-gontokan terjadi secara nasional, oleh karena ancaman PKI memang dirasakan ada di mana mana. Kalau tidak mau dibunuh, tentunya lebih baik membunuh. Sampai pada akhirnya Bung Karno mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1967 yang terkenal itu pada Pak Harto. Dan sehari setelah itu, selaku pemegang SP 11 Maret, Pak Harto membubarkan PKI. Rakyat, sudah tentu memberikan dukungan pada langkah yang diambil Pak Harto.
Meskipun demikian, adanya dualisme sikap politik di dalam menyelesaikan masalah-masalah nasional belum lenyap di dalam kehidupan politik bangsa di waktu itu. MPR mengadakan sidang istimewa dan kita bersyukur, bahwa pada akhirnya, peralihan Orde Lama ke Orde Baru tidak menimbulkan gejolak yang lebih besar dan bahkan dapat ditempuh secara konstitusional. Pak Harto, sejak itu, tampil sebagai pemegang kepemimpinan nasional, menggantikan peranan Bung Karno. MPRS menetapkan Pak Harto sebagai Pejabat Presiden pada tahun 1967.
Mengenai penetapan MPRS ini, sikap Pak Harto terhadap Bung Karno sesungguhnya masih menunjukkan sikap yang sangat hormat. Di dalam buku SOEHARTO, pikiran, ucapan dan tindakan saya, antara lain Pak Harto mengatakan Sementara itu, saya masih menjabat sebagai Pejabat Presiden. Dalam kesempatan bertemu dengan Bung Karno, saya menyampaikan harapan saya. Saya tekankan kepadanya bahwa mumpung saya masih sebagai pejabat presiden, Bung Karno masih akan bersedia memimpin negara ini dengan syarat seperti sudah dimakluminya, yakni menyetujui pembubaran PKI dan dengan jelas mengutuk G30S/PKI. Tetapi beliau kukuh pada pendiriannya. Dan sikapnya itu menetapkan tangga baru bagi saya.
Masalah yang sangat pelik dari segi kenegaraan di waktu itu adalah segi-segi yang menyangkut kenegaraan kita. Hampir semua lembaga tinggi dan tertinggi negara masih bersifat sementara. MPR yang kita miliki adalah MPR sementara, oleh karena MPR hasil pilihan rakyat tahun 1954 sudah tidak berfungsi lagi sejak 1959.
Demikian juga DPR kita. Hampir seluruh anggotanya adalah diangkat berdasar Ketetapan Presiden. Sudah tentu hal ini tidak mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Maka tugas yang tidak kalah pentingnya di waktu itu adalah terselenggaranya Pemilu. Dan Pemilu itu, telah berlangsung pada tahun 1971, hanya 4 tahun setelah Pak Harto menjabat Pejabat Presiden.
Pada pemilu yang pertama di dalam era Orde Baru ini, jumlah peserta pemilu adalah 10 OPP. Hal ini berbeda dengan pemilu pertama di tahun 1954, di mana jumlahnya mencapai puluhan, bahkan perorangan pun dimungkinkan untuk ikut di dalam pemilu. Sembilan peserta itu adalah PNI, NU, PSII, IPKI, Perti, Murba, Partai Katolik, Parkindo yang merupakan OPP yang telah ada sejak Orde Lama ditambah dua pendatang baru, yaitu Partai Muslimin Indonesia dan GoIongan Karya.
Hasil pemilu pertama ini, dalam banyak hal sangat mengejutkan. PNI yang di dalam pemilu 1954 ke luar sebagai pemenang pertama, pada pemilu 1971 perolehan kursinya sangat merosot. Kalah dengan Parmusi,yang ke luar sebagai orsospol ketiga setelah Golkar dan NU. Jumlah suara NU, secara proporsional, hampir sama dengan perolehannya di tahun 1954. Pada tahun 1974, dengan proses penyederhanaan parpol, PNI, Murba, IP-KI, Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia melebur atau fusi menjadi PDI yang kita kenai dewasa ini, sedangkan NU, PSII, Parmusi, dan Perti melebur menjadi PPP yang sekarang.
Pada pemilu berikutnya, organisasi peserta pemilu menjadi tiga, sampai dewasa ini. Demikianlah, meskipun proses penyederhanaan itu tidak segampang sebagai tampaknya sekarang, pembaharuan struktur politik yang dilaksanakan selama Orde Baru telah mampu memberikan stabilitas politik yang mantap, sehingga proses pembangunan bangsa juga dapat berlangsung lebih mantap. Hal ini tanpa mengurangi kenyataan adanya friksi-friksi yang masih sering mengganggu parpol yang ada, baik di dalam perpecahan intern atau karena sisa-sisa fusi yang belum tuntas. Adanya kerawanan masih saja menghantui orsospol kita.
Yang banyak mengesankan, sebagaimana banyak diakui oleh banyak negara, adalah keberhasilan pembangunan ekonomi kita. Secara nasional, pendapatan perkapita sejak Pelita pertama telah naik sekitar 250- 300 prosen. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan juga telah menurun dari tahun ke tahun. Masalah sandang dan pangan hampir selesai. Apabila dahulu Indonesia dikenal sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia, kini justru produksi beras berlebih. Meskipun demikian, masih ada polemik yang selalu menggoda, yaitu masalah pemerataan, meskipun tahun derni tahun gap inijuga semakin menurun.
Dernikian juga struktur ekonomi kita, yang terkadang masih sangat bergantung pada perkembangan ekonomi dunia. Misalnya sangat dominannya peranan minyak bumi, meskipun sekali lagi, hal inipun semakin dapat dikurangi dengan meningkatnya peranan ekspor nonmigas dan pajak. Disamping itu juga masalah bantuan luar negeri, sungguh pun sampai dewasa ini, kita masih sanggup memenuhi kewajiban membayar bunga dan cicilan hutang. Hasil-hasil makro itu, sudah tentu didukung oleh banyak sektor ekonomi mikro, yang jumlahnya tidak dapat disebutkan satu demi satu. Toh semua itu tidak berarti, bahwa segala sesuatunya telah sempurna dan semuanya betjalan mulus.
Di dalam perjalanan Orde Baru, ternyata masih banyak masa lah-masa lah yang sering sangat kritis, sehingga memerlukan kebijaksanaan yang cepat dan tepat, misalnya peristiwa malari, ktisis Pertamina, beberapa kali devaluasi rupiah dan terakhir adalah masa lah bantuan dari Belanda. Namun, semuanya ternyata tidak berhenti dan satu demi satu semuanya dapat diatasi.
Terakhir, mencatat perjalanan Pak Harto selama Orde Baru, rasanya sulit untuk menghindarkan diri dari melihat Pak Harto sebagai seorang pribadi muslim. Banyak di kalangan umat Islam yang sangat minim pemahamannya mengenai masalah ini. Barangkali, juga karena Pak Harto tidak merasa perlu untuk mempublikasikan kehidupan pribadi beliau. Namun, dengan berdirinya 500 masjid serta dukungan Pak Harto lainnya dalam memajukan kualitas umat, misalnya di dalam pendirian Bank Muamalat, pendirian RS Haji, pengiriman Da’i ke daerah-daerah transmigrasi serta amalan lainnya, umat Islam pun terasa terhenyak dari tidur mengakui, betapa banyak yang telah dilakukan Pak Harto sebagai seorang muslim. Demikian juga lahirnya UU peradilan agama adalah suatu hal yang sering dikatakan oleh Pak Munawir Syadzali sebagai satu hal yang ternyata tidak berhasil di waktu partai politik Islam sedang berjaya. Dan yang terakhir, meskipun sudah agak terlambat, kita semua bersyukur, bahwa Pak Harto telah menunaikan ibadah haji tahun yang lalu . Kita memahami, karena keterlambatan itu adalah berkaitan dengan tugas-tugas kenegaraan.
Selamat ulang tahun dan semogaA llah SWT selalu melimpahkan hidayat dan karuniaNya pada Pak Harto dan seluruh keluarga. Sebaik-baik manusia adalah yang berumur panjang dan beramal banyak. Semoga demikianlah adanya. Amien.***
Sumber: Pelita (08/06/1992)
__________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 705-709.