TAJUK RENCANA : PELAYANAN WUJUD KEDAULATAN RAKYAT

TAJUK RENCANA : PELAYANAN WUJUD KEDAULATAN RAKYAT[1]

Jakarta, Suara Pembaruan

PRESIDEN Soeharto dalam sambutannya pada penganugerahan tanda penghargaan “Abdisatya-Bakti” di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/8) pagi, antara lain menegaskan bahwa kedaulatan rakyat tidak boleh hanya terlihat dalam sidang­sidang umum MPR yang melaksanakan kedaulatan rakyat itu sekali dalam lima tahun. Kedaulatan rakyat harus dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Wujudnya antara lain adalah pelayanan yang makin hari makin baik dari seluruh aparatur negara terhadap warga masyarakat dari segala lapisan dan golongan. Seperti ditegaskan, penganugerahan tanda penghargaan ini mempakan langkah lebih lanjut untuk meningkatkan, menyempurnakan dan memodernisasi penyelenggaraan pemerintahan kita, baik dalam aspek tentorial maupun dalam aspek fungsionalnya. Tepat sekali apa yang ditandaskan oleh Kepala Negara bahwa penganugerahan tanda penghargaan ini berhubungan langsung dengan upaya kita untuk mewujudkan prinsip bahwa kekuasaan pemerintahan terletak di bawah kedaulatan rakyat.

Aspek kedaulatan rakyat dihubungkan dengan kekuasaan pemerintahan tersebut ingin kita catat dalam kesempatan ini. Karena dalam menghadapi, menangani dan menyelesaikan berbagai masalah pertanahan, penegakan hukum dan keadilan, hak­hak asasi manusia, lingkungan hidup serta ekonomi (yang kuat dan yang lemah), sering sekali kalangan aparatur yang kewenangan dan kekuasaannya bersumber dari kedaulatan rakyat justru kurang proaktif bahkan cenderung memihak kepada kekuasaan atau yang kuat, bukan kepada rakyat yang lemah. Kurang disadari, kekuasaan itu ada karena rakyat berdaulat tidak mungkin kekuasaan eksis kalau rakyat tidak berdaulat.

TAPI di sisi lain juga disadari betapa besarnya peranan pemegang kekuasaan itu dalam pembangunan. Lebih-lebih lagi dalam masyarakat kita yang masih patrialistik maka pengaruh serta keteladanan elite kekuasaan atau aparatur negara sangat menentukan. Namun seperti dikemukakan oleh Menhankam, Edi Sudradjat pekan lalu diYogyakarta (3/8), keteladanan dari atas atau dari lapisan elite, masih diperlukan. Memang di sinilah permasalahannya, sebab berbagai penyimpangan yang telah dianggap wajar-wajar saja, justru berlangsung di antara golongan elite.

Seperti dikemukakan oleh Menhankam dalam penegakan disiplin, pelanggaran justru banyak terjadi di kalangan elite, karena mereka yang mempunyai kemampuan untuk menempuh jalan pintas dengan melanggar peraturan. Di kalangan mereka pulalah yang mampu menciptakan satu sikap budaya yang menganggap pelanggaran sebagai hal yang wajar-wajar saja. Misalnya, perbuatan korupsi, pengayom yang tidak mengayomi, abdi negara yang justru menuntut dilayani, adalah hal-hal yang bisa kita saksikan di sana-sini.

PADA sisi lain, berdasarkan pengamatan dalam proses penentuan  atau pengambilan keputusan politik pihak suprastruktur politik sering lebih dominan dibanding infrastruktur politik. Padahal kalau kita tetap konsisten kepada prinsip bahwa kekuasaan itu bersumber dan atau berada di bawah kedaulatan rakyat, maka tentunya proses pengambilan keputusan politik harus mampu memadukan konsep dan pemikiran dari kedua pihak. Dengan kata lain dalam proses penentuan dan pengambilan keputusan politik harus mampu mengkristalisasikan kepentingan elite kekuasaan sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat dengan aspirasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang disalurkan melalui infrastruktur politik.

Dalam konteks ini, kita tertarik akan pemikiran yang dikemukakan oleh Soemitro pada seminar sehari “Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka Antara Identitas dan Realitas” yang diselenggarakan oleh Jatiwaringin Informal Meeting di Jakarta hari Minggu (6/8) bahwa sifat feodalis masih melekat dalam kultur politik kita sekarang ini. Sifat feodalis inilah yang harus dihilangkan dari budaya politik kita, demikian ditandaskan.

MEMANG bukan tidak mungkin salah satu penyebab timpangnya peranan antara supra dan infrastruktur politik dalam proses penentuan dan pengambilan keputusan politik, diakibatkan oleh budaya politik yang bersifat feodal tadi.

Mungkin juga karena budaya politik kita terlalu statis, tidak dinamis sesuai tuntutan perkembangan masyarakat akibatnya perilaku dan sikap mental masyarakat kurang terbuka terhadap berbagai pembahan. Sebaliknya menjadi tertutup dan tidak mempunyai keberanian untuk mengemukakan pendapat serta memperjuangkan hak dan kepentingannya. Masalahnya menjadi bertambah serius karena sementara kalangan aparatur kurang aspiratif, bahkan terkesan kurang terbuka. Akibatnya saluran demokrasi menjadi terganggu.

Sebenarnya, kalau kita konsisten terhadap prinsip bahwa kekuasaan pemerintahan itu bersumber dan berada di bawah kedaulatan rakyat yang, perwujudannya berupa melayani masyarakat sehari-hari, maka tidak bisa tidak aparatur harus proaktif kepada kepentingan rakyat, kelemahan rakyatjangan sampai meniadakan hak-haknya di bidang politik, ekonomi, hukum dan keadilan. Demikian juga di bidang pertanahan, rakyat yang memang lemah terkesan selalu dikalahkan.

Sumber : SUARA PEMBARUAN (07/08/1995)

_________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 737-739.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.