Tajuk Rencana PENGABDIAN KEPADA ORANG KECIL ADALAH IBADAH
Jakarta, Pelita
SUKSES Indonesia dalam pembangunan bidang kesehatan mendapat penghargaan dari Organisasi Kesehatan Sedunia, WHO. Badan PBB itu menilai, sejumlah indikator kemajuan dalam bidang kesehatan telah membuktikan prestasi Indonesia, dengan konsep kesehatan yang berorientasi kerakyatan dan mempunyai nilai operasional.
Dirjen WHO, Hiroshi Nakajima, untuk itu khusus datang ke Jakarta dan menyampaikan Health forAll Golden Medal Award kepada Presiden Soeharto.
Sebagai bangsa yang masih berada dijajaran negara berkembang, sepatutnya kita bersyukur atas penghargaan tersebut. Sebab itu menunjukkan bahwa pembangunan yang telah kita lakukan sungguh bermakna, dan tidak lepas dari orientasi kerakyatan. Bukan hanya lewat pengakuan pihak luar, tetapi berdasarkan kenyataan objektif yang ada kita dapat menyaksikan sendiri sejumlan perangkat pembangunan dalam hal inidi bidang kesehatan yang memang sudah menyebar dan (hampir) merata ke seluruh pelosok desa.
Setidak-tidaknya, dewasa ini kita mengenal tiga perangkat pembangunan kesehatan yang ada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan imunisasi untuk anak-anak di bawah usia lima tahun.
Puskesmas berada di setiap kota kecamatan, dan memiliki fungsi utama dalam bidang pengobatan untuk masyarakat di pedesaan. Lewat puskesmas, jangkauan pelayanan kesehatan dapat lebih merata hingga ke pelosok. Fungsi Puskesmas ini sudah dijalankan sejak 1972.
Sedangkan Posyandu lebih dikhususkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, tentang perlunya pemeliharaan kesehatan (misalnya sehubungan dengan bayi, atau ibu yang hamil) serta pencegahan berbagai jenis penyakit. Posyandu, yang berada di desa-desa atau daerah kelas menengah-bawah di perkotaan, kini sudah (atau baru) berjumlah 200.000 buah.
Demikian pula halnya dengan program imunisasi balita. Bahkan prestasi yang kita raih di kategori ketiga ini melebihi target WHO. Sejumlah 80 persen imunisasi lengkap sebelum akhir tahun 1990 telah kita capai tiga bulan lebih awal.
Memang, aktivitas sejumlah perangkat kesehatan di atas tentu saja merupakan indikator suksesnya pembangunan bidang kesehatan Indonesia. Lewat perangkat perangkat tersebut, sudah tampak pelayanan kesehatan bukan saja merupakan kebutuhan mendesak, tetapi sudah meningkat ke taraf kesadaran.
Hal itu tentu saja mempakan petunjuk kuat yang mengesankan bahwa pembangunan kesehatan kita kian meluas dan merata. Dan bahwa kemampuan mendapat pelayanan kesehatan kini, alhamdulillah, bukan hanya berada di tangan orang-orang yang mampu. Melalui ketiga perangkat utama kesehatan di atas, kalangan miskin dan masyarakat pedusunan pun kinikian terlibat dalam pelayanan, pemenuhan kebutuhan dan kesadaran berstandar kesehatan yang insya Allah makin baik.
Bukan berarti kita lantas berpuas diri, dan mandek. Sebab dalam bidang kesehatan juga seperti di bidang-bidang lain, kemudian terlihat sejumlah masalah, baik baru maupun mempakan kelanjutan dari belum sempurnanya pencapaian yang lama.
Munculnya sejumlah rumah sakit swasta yang begitu mahal, misalnya, yang bersaing satu sama lain dengan alat-alat kedokteran serba canggih, kadang- kadang mengganggu pemikiran kita bukan hanya karena pelayanan jasa kesehatan berubah menjadi usaha komersial yang murni -yang mungkin berhubungan dengan masalah etika kedokteran, atau, paling tidak, dengan latar belakang budaya kita yang “belum sepenuhnya materialistis”.
Tapi juga pikiran kita sering terganggu karena kemewahan itu mudah sekali mengingatkan kita akan belurn lengkapnya -betapapun penyediaan sarana-sarana medis, terpenting obat-obatan, maupun jumlah dokter sendiri, di balai-balai kesehatan di desa-desa. Cerita bahwa kualitas puskesmas di pedesaan umumnya belum menggembirakan, juga tenaga doktemya, masih berlaku hingga sekarang. Maka dua keadaan itu, rumah-rumah sakit komersial di kota-kota dan sarana kesehatan yang relatif minim di daerah pelosok, tiba-tiba menampakkan kenyataan yang timpang, yang tentulah mendorong kita untuk melakukan pembenahan lebih lanjut.
Khususnya pembenahan kepihak yang masih memerlukan peningkatan itu. Dan itulah pihak yang oleh Presiden memang diharapkan menjadi titik perhatian kita, manakala beliau, dalam sambutannya pada pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional 1991 Senin kemarin, mengingatkan agar pembangunan kesehatan lebih diarahkan ke daerah-daerah terpencil dan wilayah-wilayah kumuh perkotaan. Yang dimaksudkan Presiden tentunya penyempurnaan tadi baik dalam pemerataan maupun peningkatan kualitas.
Di antara lain-lain hal, Presiden tentunya juga menaruh keprihatinan akan kenyataan bahwa, walaupun dalam hal pelayanan kesehatan kepada rakyat paling bawah kita sudah mendapat penghargaan WHO, tetap masih terdapat desa-desa terpencil yang bahkan boleh dikatakan belum pernah mendengar apa itu puskesmas dan apa itu oralit.
Misalnya, peristiwa memilukan mengenaijatuhnya korban muntaber yang meliputi lebih dari I00 orang di Maluku Tenggara, beberapa waktu yang lalu, adalah contoh dari, antara lain, minimnya fasilitas kesehatan di pelosok- pelosok yangjauh di Tanah Air ini. Dan Maluku Tenggara hanya suatu contoh. Itu di samping permasalahan di daerah-daerah kumuh di perkotaan sendiri.
Bahwa Presiden mengingatkan kita akan kenyataan semacam itu adalah menggembirakan. Itu merupakan suatu bukti bahwa penghargaan dari WHO yang patut kita sambut dengan ucapan selamat, kepada Presiden dan kepada kalangan penyelenggara pelayanan kesehatan rakyat tidak menjadikan kita berhenti dalam pengabdian kepada rakyat. Dalam bahasa agama, pengabdian kepada orang-orang kecil itulah ibadah yang bukan main tingginya.
Sumber : PELITA (20/02/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 597-599.