TAJUK RENCANA: PENYELESAIAN KONFLIK DENGAN DAMAI[1]
Jakarta, Suara Pembaruan
PRESIDEN Soeharto mengingatkan lagi dalam menyelesaikan suatu konflik atau pertentangan, yang harus dilakukan bukanlah meredamnya, tapi menyusun tata cara untuk menyelesaikannya secara damai, etis dan berkeadaban. Kepala Negara mengatakan itu ketika membuka Rapat Koordinasi/Forum Komunikasi dan Konsultasi antara Depdagri dan BP-7 Pusat dengan BP-7 Daerah serta Direktorat Sospol Daerah Tingkat I seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta hari Kamis (5/8). Kepala Negara menyatakan, dalam masyarakat yang semakin dinamis pasti akan ada persentuhan bahkan konflik serta pertentangan.
Namun diakui Presiden bahwa hal itu merupakan alamiah dan tidak dapat dihindari. Menurut Kepala Negara, demokrasi di Indonesia harus makin dewasa. Dingatkan juga, bangsa Indonesia secara menyeluruh maupun masing-masing daerah memiliki adat istiadat yang dirasa adil tentang cara menyeJesaikan persentuhan, konflik dan pertentangan yang timbul dalam masyarakat. Selanjutnya, Kepala Negara mengimbau, merupakan tugas semuanya untuk mengangkat esensi adat-istiadat yang adil itu agar melembaga dan memberi tempat dalam kehidupan kebangsaan selanjutnya.
IMBAUAN Kepala Negara itu dapat kita lihat dalam konteks berbagai peristiwa akhir-akhir ini yang menimpa Orsospol dengan kecenderungan keretakan intern yang semakin parah, khususnya kericuhan yang terjadi pada Kongres IV PDI di Medan belum lama Partai Demokrasi Indonesia yang dibentuk pada 10 Januari 1973 itu sebagai hasil fusi dari lima partai politik boleh dikata telah mengalami kemelut intern secara terus-menerus.
Semula kemelut itu dinilai wajar mengingat PDI itu berasal dari lima parpol yakni PNI, IPKI, Partai Murba, Parkindo dan Partai Katolik yang berpaham atau berideologi nasionalisme, marhaenisme, sosialisme, Kristen Protestan dan Katolik. Namun keretakan itu tampaknya juga tidak terlepas dari konflik kepemimpinan partai.
PADA hakikatnya konflik dalam tubuh PDI mengandung dua dimensi, yaitu dimensi konflik warisan dan dimensi kepentingan pribadi. Pada dimensi pertama, terdapat dua kubu yang saling berhadapan, yaitu kubu radikal atau garis keras dan kubu moderat yang cenderung berkompromi. Pada setiap konflik yang terjadi, tampaknya kubu radikal selalu tersingkir dan kubu moderat selalu keluar sebagai pemenang.
Berdasarkan pengamatan ini kalangan pengamat politik cenderung menilai kemenangan kubu moderat atas kubu keras ada kalanya terjadi berkat campur tangan pemerintah. Dinilai juga fakta itu sejalan dengan garis kebijakan pemerintah yang berusaha menampilkan tokoh-tokoh politik yang tidak terlalu besar pada komitmen ideologi di luar Pancasila.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan konflik dalam tubuh PDI juga menampilkan dimensi kepentingan pribadi. Gejala ini sudah terlihat sejak Kongres II PDI (April 1986), yaitu saat Kongres gagal memilih ketua umumnya untuk menggantikan Soenawar Soekowati yang meninggal dunia beberapa waktu sebelumnya.
Sebelumnya memang telah terjadi keretakan akibat konflik Soekowati versus Hardjantho Sumodisastro yang masing-masing membentuk dua kubu. Akibatnya, pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri terpaksa turun tangan dan kemudian terbentuklah DPP PDI di bawah pimpinan Ketua Umum Soerjadi. Namun potensi konflik dalam tubuh PDI dalam era kepemimpinan Soerjadi tampaknya tidak dapat dihilangkan.
MASALAH potensial seperti dampak dari dikeluarkannya kebijakan DPP untuk membatasi periode masa tugas anggota DPR yang berasal dari Fraksi PDI tampaknya telah mencetuskan konflik intern yang baru. Keretakan intern dalam tubuh PDI dengan munculnya Kelompok 17 serta DPP tandingan mencapai puncaknya pada Kongres IV di Medan akhir Juli lalu. Tampaknya pemerintah akan turun tangan untuk kedua kalinya untuk membenahi konflik intern PDI. Dalam kaitan ini, ada baiknya juga jika imbauan Pak Harto sebagaimana disampaikan pada pembukaan Rakor Depd agri/BP-7 serta Direktorat Sospol Dati I seluruh Indonesia itu, dapat menjadi arahan yang tepat untuk menyelesaikan konflik dan pertentan gan seperti yang tengah meIanda tubuh Orsospol PDI. ***
Sumber: SUARA PEMBARUAN (6/08/1993)
______________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 206-207.