TAJUK RENCANA:
PIDATO AKHIR TAHUN PRESIDEN SOEHARTO[1]
Jakarta, Suara Karya
DALAM pidato akhir tahun 31 Desember 1994 malam, Presiden Soeharto menyinggung beberapa persoalan mendasar, terutama yang menyangkut perkembangan menjelang bagian akhir tahun 1994 sambil mengingatkan bahwa dengan datangnya tahun 1995 Indonesia memasuki tahun kemerdekaan yang ke-50 atau setengah abad.
Pada bagian awal pidatonya Presiden mencatat bahwa alam temyata tidak demikian ramah terhadap kita. Disebut, kekeringan yang melanda sebagian tanah air, bencana alam yang menelan korban jiwa dan harta penduduk.
“Karena itu kita harus terus-menerus meningkatkan kesadaran bahwa lingkungan alam harus kita jaga kelestariannya,” kata Kepala Negara.
Presiden juga menyinggung perkembangan organisasi sosial politik dan kemasyarakatan. Diingatkan, terganggunya konsolidasi wadah kekuatan sospol dan ormas bisa menimbulkan kerisauan pada masyarakat serta pemerintah. Karena terganggunya konsolidasi itu Jangsung maupun tidak langsung akan mempunyai pengaruh kepada kelancaran pembangunan nasional. Sedangkan, mengenai perkembangan ekonomi, Kepala Negara menegaskan (kembali) dengan apa yang diputuskan oleh pertemuan Bogor 15 November 1994, “Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, kita akan masuk dalam suasana perdagangan bebas. Jika kita tidak bersedia maka kita akan tertinggal, dan makin jauh tertinggal”.
Pidato akhir tahun itu ditutup Kepala Negara dengan mengatakan tahun 1995 mempunyai arti yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena kemerdekaan RI akan genap 50 tahun. KITA ingin menggarisbawahi makna tahun 1995 dalam kaitannya dengan 50 tahun kemerdekaan RI. Sebab, Indonesia sebagai bangsa yang pemah dijajah dan dikuras oleh Belanda selama 350 tahun dan oleh Jepang 3,5 tahun, ditambah lagi selama 20 tahun terus-menerus dirongrong oleh ketidakstabilan politik, secara rasional adalah sulit menggambarkan bahwa kita berhasil mencapai tingkat kemajuan seperti sekarang dalam kurun waktu hanya 25 tahun (PJP 1).Oleh sebab itu, kita memang patut bersyukur, seperti dikatakan Kepala Negara, karena dengan usia setengah abad kita selamat sebagai bangsa. “Kita telah memperkukuh Negara Kesatuan Republik lndonesia yang bersatu dan berdaulat, “kata Presiden. Dan kita berketetapan hati menjadikannya negara yang adil dan makmur.
TEKAD seperti yang ditegaskan Presiden tidak lain adalah amanat para pejuang pendiri Republik ini. Oleh sebab itu, sangat beralasan kerisauan masyarakat serta pemerintah seperti dikatakan Kepala Negara jika konsolidasi organisasi sospol dan kemasyarakatan mengalami gangguan. Fenomena ini mengingatkan kita kepada penga laman 20 tahun pertama kemerdekaan RI atau di zaman Orde Lama. Memang, gejolak yang dialami oleh orsospol dan ormas bersangkutan dapat di katakan sebagai refleksi berkembangnya dinamika masyarakat. Tetapi, jika dinamika itu disalurkan ke arah yang keliru sehingga menimbulkan gangguan dengan tujuan memicu berkembangn ya kekacauan, kita khawatir bangsa ini akan mundur lagi ke belakang. Dan, bagi bangsa Indonesia yang serba majemuk ini kekacauan akan membuka peluang bagi timbulnya macam-macam pertentangan yang menurut pengalaman, tidak begitu mudah untuk mengatasinya.
OLEH sebab itu, adalah kewajiban masing-masing orsospol dan ormas yang mengalami gangguan dalam mengkonsolidasikan diri agar sesegera mungkin mengatasinya dengan kearifan tinggi serta membuang jauh-jauh sikap apriori dari masing-masing pihak.
Sumber: SUARAKARYA (02/01/1995)
_____________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 10-11.