TAJUK RENCANA: PIDATO PRESIDEN SOEHARTO DAN PBB
Jakarta, Suara Karya
DALAM ruangan ini kemarin kita mencoba melihat pidato Presiden Soeharto di depan sidang umum PBB 24 September lalu dari dua sudut hasil KTT X GNB di Jakarta awal September lalu dan jati diri bangsa Indonesia yang diproyeksikan ke dalam tatanan dunia baru, yang menjadi dambaan seluruh dunia.
Pidato Presiden-yang seperti dikatakan kemarin penuh dengan pokok-pokok pikiran strategis-itu ingin pula kita coba melihatnya dari sudut PBB yang diharapkan dapat lebih berfungsi sesuai dengan tujuan keberadaannya.
Tolok ukur dapat berfungsi (optimal) tidaknya lembaga tertinggi dunia itu terletak dalam Piagam PBB yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1945 pada penutupan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Organisasi Internasional (United Nations Conference on International Organization), dan mulai diberlakukan tanggal 24 Oktober 1945.
PIAGAM PBB, Pasal 1 mengenai tujuan didirikannya lembaga itu, antara lain menyebutkan didirikannya PBB adalah untuk memperta hankan perdamaian dan keamanan internasional dan untuk itu mengambil langkah-langkah kolektif untuk menghindarkan/prevensi dan menghilangkan ancaman-ancaman terhadap perdamaian, dan menindas agresi atau pelanggaran-pelanggaran lain terhadap perdamaian.
Tujuan berikutnya didirikannya PBB adalah untuk mengembangkan hubungan bersahabat antar bangsa-bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri, dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memperkuat perdamaian dunia. Tujuan selanjutnya untuk mencapai kerja sama dalam pemecahan masalah-masalah internasional yang bersifat ekonomi, sosial, kultural atau kemanusiaan, dan memajukan serta mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kemerdekaan fundamental untuk semua tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
DIUKUR dengan tujuan untuk apa PBB didirikan 47 tahun lalu, maka apa yang ditegaskan Presiden mengenai PBB amat relevan. Setelah menyinggung vokalnya negara-negara rnaju mengumandangkan agar demokrasi dan “pemerintahan yang baik” dijadikan bagian integral dari proses pembangunan terutama di negara-negara berkembang ,maka di dalam konteks PBB Presiden menegaskan ketetapan hati GNB untuk memainkan peranan aktifdan konstruktif dalam usaha revitalisasi, restrukturisasi dan demokratisasi sistem PBB. Karena itu PBB serta badan-badan utamanya perlu melakukan proses peninjauan dan penggairahan kembali secara berkala agar tetap dapat mengadakan penyesuaian dinamis terhadap realitas yang berkembang dalam hubungan intemasional.
Jika para anggota PBB benar-benar punya keinginan baik untuk menjadikan lembaga tertinggi dunia inidapat berfungsi sesuai dengan tujuan keberadaannya, maka revitalisasi ,restrukturisasi dan demokratisasi sistem PBB merupakan pilihan yang tak terelakkan. Namun, dengan adanya kepentingan negara-negara maju yang cenderung memfungsionalisasikan PBB dengan titik berat sesuai dengan kepentingan mereka, tampaknya peningkatan peranan PBB untuk mencapai tujuan itu memerlukan penciptaan iklim kerja sama internal dan ekstemal GNB yang mendukung upaya menuju fungsionalisasi PBB dalam arti yang sesuai dengan tujuan keberadaannya.
UNTUK itulah peningkatan kerja sama Selatan-Selatan seperti diputuskan oleh KTT X GNB di Jakarta menjadi sangat strategis. Begitu pula rintisan kerja sama Selatan dengan negara-negara maju seperti dilakukan Presiden Soeharto sebagai Ketua GNB melalui pertemuannya dengan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Belanda tanggal 18 September lalu, misalnya, yang mengharapkan agar Belanda juga melakukan kerja sama dengan negara-negara dunia ketiga selain Indonesia. Kemungkinan yang serupajuga disinggung Presiden Soeharto dalam pertemuannya dengan Presiden Korea Selatan, Roh Tae Woo.
Semua itu membuktikan, sebagai Ketua GNB, tampaknya Presiden memanfaatkan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerja sama internal dan ekstemal GNB.
Sumber : SUARA KARYA (26/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 299-301.