TAJUK  RENCANA: SIFAT EGOISME SEKTORAL AGAR DIKURANGI 

TAJUK  RENCANA: SIFAT EGOISME SEKTORAL AGAR DIKURANGI  [1]

Jakarta, Merdeka

Presiden Soeharto meminta agar sifat egoisme sektoral di kalangan birokrat dalam bentuk setiap instansi atau pejabat merasa dirinya yang paling berkepentingan, harus dikurangi. Permintaan ini diungkapkan Presiden ketika menerima Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Sarwono Kusuma atmadja dan Ketua Lembaga Administrasi  Negara (LAN) JB Kristiadi, Rabu (12/8).

Semua pejabat harus mengetahui pekerjaannya sangat terkait dengan kewenangan dan pekerjaan orang lain. Untuk itu para pejabat kita harus berpikir secara integratif. Menurut Menpan Sarwono Kusuma atmadja sifat egoisme sektoral sekarang ini memang banyak ditemui dikalangan pejabat.

Mengapa? Karena hal itu terjadi berkaitan dengan adanya fakta bahwa birokrasi sangat berlebihan dalam sistem, sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Maksudnya ada beberapa jabatan yang mirip dan masing-masing merasa dialah yang paling berwenang.

Hal ini hanya dipecahkan melalui perampingan birokrasi dan menciptakan komunikasi. Tampaknya disitulah permasalahan pokoknya. Seringkali instansi birokrasi dibentuk atau diadakan hanya dimaksudkan untuk menyelipkan kedudukan bagi sementara kalangan tertentu, agar tidak dipensiunkan atau nganggur saja.

Pendeknya dimaksudkan agar kalangan tertentu itu tidak keluar dari jajaran birokrasi atau struktural pemerintahan. Sehingga kalau dikaji secara teliti betapa log-nya jajaran birokrasi negeri kita ini. Sebagai contoh betapa log-nya badan-badan yang berfungsi sebagai pengawas pembangunan. Terasa seakan telah terjadi suatu kondisi overlapping alias tumpang tindih.

Tetapi dalam dimensi praktisnya tetap saja terasa masalah-masalah yang diawasi itu belum bisa diselesaikan secara tuntas. Sebab justru telah menimbulkan suatu iklim birokratis yang baru yang merniliki kecenderungan negatif. Dan di celah-celah itulah justru akan kembali berkembang sikap dan tindak korup sementara jajaran birokrasinya.

Selama era pembangunan 25 tahun tahap pertama memang sangat dirasakan betapa tubuh instansi pemerintahan Indonesia kian membengkak saja. Apakah itu akibat perluasan makna pembangunan itu sendiri atau hanya sekedar untuk bisa menampung meningkatnya jumlah para birokrat di negeri ini?

Terasa persoalannya lebih mengarah pada penampungan jajaran birokrat yang setiap tahun semakin banyak jumlahnya. Setiap lima tahun sekali sejak 25 tahun terakhir ini selalu muncul penyusunan atau pembentukan instansi baru yang seringkali di isi oleh personalia yang orangnya itu-itu saja.

Bentuk instansi birokrasi setiap tahunnya kian menggelembung dan terus membengkak. Pada saat itulah kemudian muncul sifat egoisme sektoral dikalangan pejabatnya. Sebab mereka suka atau tidak bagaimana pun harus mencuatkan eksistensi instansinya. Mereka menuntut pengakuan bahwa instansinya benar-benar eksis.

Dan yang paling menimbulkan kesimpangsiuran adalah dengan lahimya penyusunan instansi birokrasi baru, mulailah tumpang tindih para pejabatnya pun terjadi. Sehingga yang namanya perangkapan jabatan kian merebak saja. Seorang pej bat karena pertimbangan posisi politisnya diberi kedudukan tertentu dalam instansi-instansi baru tersebut.

Dengah penalaran seperti ini benar apa yang diungkapkan Menpan Sarwono Kusumaatmadja bahwajajaran birokrasi yang sudah terlalu log seperti sekarang ini harus berani dibenahi melalui sistem perampingan. Dan sistem perampingan ini bukan hanya dikenakan kepada instansi pelaksanaan atau departemen tehnis saja.

Tetapi hendaknya sistim perampingannya harus bersifat menyeluruh mulai dari susunan dan sistim pemerintahannya sendiri. Artinya apakah pada masa Kabinet mendatang nanti diperlukan suatu perampingan beberapa kementeriannya. Apakah masih diperlukan adanya istilah-istilah Menteri Muda hanya dimaksudkan sebagai magang sebelum benar-benar menjadi seorang Menteri.

Begitu juga halnya dengan beberapa Komisaris BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang belum maupun yang sudah berbentuk Persero, masihkah diperlukan beberapa Komisaris? Apakah tidak cukup hanya satu Komisaris saja? Sebab dalam prakteknya kedudukan Komisaris atau Dewan Pengawas dalam sebuah BMUN pada hakekatnya hanya dimaksudkan untuk menampung orang-orang pensiunan saja.

Selain itu juga sistim kekayaan harus jelas kriterianya harus jelas sasaran, kualitatifnya. Jangan hanya dimaksudkan    menampung mereka-mereka yang sesungguhnya tengah menghadapi Masa Persiapan Pensiun (MPP). Sehingga kondisi seperti itu sering menimbulkan pertanyaan retorik, kapan giliran generasi muda mulai diberi kesempatan?

Sumber: MERDEKA (14/08/1992)

__________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 605-607.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.