Tajuk Rencana : SUARA GNB DI FORUM PBB
Jakarta, Pelita
Kita semua telah melihat sendiri bagaimana Presiden Soeharto menyampaikan pidatonya untuk menyuarakan pendirian negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok (GNB).
“Saya merasa mendapat kehormatan tmtuk berbicara di depan majelis yang mulia ini, bukan saja atas nama 180 juta rakyat Indonesia, tetapi juga atas nama GNB yang beranggotakan 108 negara anggota majelis ini,” ucap Presiden. Lalu, Presiden melukiskan bahwa GNB adalah merupakan koalisi politik yang mencakup lebih banyak negara-negara berdaulat dari kelompok manapun dalam sejarah.
Bukan mau berpikir semata-mata kuantitatif, kalau kita menggaris bawahi bagian pidato seperti yang dikutip diatas. Apa yang hendak kita katakan adalah bahwa apa yang disampaikan Presiden mengenai hampir semua persoalan adalah mewakili suara yang sesungguhnya sangat absah untuk dipertimbangkan oleh dunia dewasa ini.
Apa yang ditekankan tentang ketidak inginan bangsa-bangsa yang demikian besar itu sekedar menjadi penonton dari proses perubahan sejarah yang sedang terjadi dewasa ini, memang menjadi tekad GNB seperti telah dirumuskan dalam “The Jakarta Message” beberapa waktu yang lalu.
Rasanya memang sekaranglah momentum yang tepat bagi negara-negara baru untuk memberikan kontribusi bagi penataan ulang tata dunia kita ini.
Dalam menyampaikan tuntutan itu, Presiden tampaknya tetap menekankan tentang pentingnya sebuah lembaga multilateral, suatu organisasi dunia, seperti PBB. Meski demikian, pidato itu telah mengajak agar keberadaan organisasi dunia itu formatnya disesuaikan dengan arah perkembangan masyarak:at dunia dewasa ini. Bila hampir semua massa media mengangkat agar keanggotaan Dewan Keamanan
diperluas serta lrak veto ditinjau kembali, hal itu memperlihatkan bahwa salah satu titik perhatian sekarang memang itu. Setelah Perang Dunia II berakhir pada hampir tiga dekade yang lalu, kita memang menyak:sikan tahap-tahap perkembangan global yang secara konsisten mengarah kepada tuntutan demokratisasi, keadilan, dan keseimbangan di segala bidang.
Dalam tahap-tahap itu kita memang pemah berada dalam waktu yang cukup lama suatu keadaan dimana keamanan ditentukan oleh kemampuan di bidang militer dan persenjataan. Pada kurun waktu itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai ciri, antara lain untuk memperbesarpotensi industri persenjataan .Perang dingin yang lalu memperlihatkan bagaimana negara seperti Uni Sovyet menghabiskan demikian besar anggaran belanja negaranya di sektor militer, sampai-sampai mereka mengabaikan pembangunan ekonominya. Ternyata kemudian, keandalan di bidang militer dan persenjataan, tidak bisa diandalkan bagi eksistensi negara itu, ketika ternyata rakyatnya jauh dari kesejahteraan.
Kita kemukakan contoh di atas untuk memperkuat argumentasi, betapa sesungguhnya adanya kesejahteraan di bidang ekonomi dan sosial adalah sesuatu yang harus memperoleh prioritas penanganan ketika kita bicara tentang keamanan. Keamanan yang sejati adalah ketika kebersamaan, pemerataan, dan keadilan dapat dirasakan.
Adalah karena itu, misalnya, kita tidak bisa menyerahkan masalah keamanan dunia ini hanya kepada sekelompok negara dengan mengabaikan sedemikian besar potensi dunia yang lain. Masyarakat manusia tidak mungkin menyerahkan interpretasi tentang masalah-masalah universal hanya kepada sekelompok negara-negara, kendati terdiri atas negara-negara maju sekalipun.
Kini, ketika jarum sejarah sedang mengarah kepada perubahan-perubahan mendasar, maka harus selalu dijaga agar perubahan-perubahan tersebut mengarah kepada kepentingan-kepentingan yang lebih luas.
Kepentingan-kepentingan yang lebih luas itu, tak lain dan tak bukan adalah bagaimana agar berbagai negara-bangsa dapat membangun pola interaksi yang dilandasi oleh keinginan untuk melihat tata dunia yang baru yang lebih adil dan demokratik.
Dalam hal seperti itu, kondisi negara-negara yang ada harus dilihat dalam dimensi perkembangannya secara obyektif.
Sementara negara-negara maju, harus melihat keberadaannya bukan dengan arogansi atas kekayaan dan kemajuannya, tetapi harus dimulai dari rasa tanggung jawab untuk merestorasi kondisi dunia yang timpang yang antara lain disebabkan oleh tingkah laku kolonialisme selama ratusan tahun.
Adalah dalam titik pandang semacam itu, maka suatu perkembangan yang mengarah kepada pemacuan dan pemercepatan perkembangan suatu wilayah dunia atau negara dengan bantuan dari wilayah atau negara yang lebih beruntung, merupakan keniscayaan yang dituntut oleh sejarah itu sendiri. Jadi, di sini bukanlah semata-mata persoalan yang satu memberi dan yang lain meminta.
Pidato Ketua GNB, memang memberi inspirasi untuk lahimya pandanganpandangan baru. Sebab tanpa hadirnya cara pandang baru hubungan Utara-Selatan hanyalah akan menjadi wujud baru dari apa yang terjadi “tempo doeloe” yang berlangsung selama ratusan tahun itu. Dan ini jelas bukan keinginan masyarakat dunia.
Kita boleh berharap, suara yang diperdengarkan langsung di depan mereka yang berkepentingan akan membuahkan gaung seperti yang diinginkan.
Sumber : PELITA (26/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 316-318.