Tajuk rencana : TOLAK BANTUAN LUAR NEGERI BERSYARAT POLITIK
Jakarta, Angkatan Bersenjata
PRESIDEN Soeharto dan rombongan Rabu malam lalu tiba kernbali di tanah air setelah menghadiri KTT Kelompok 15 di Caracas, Venezuela, KTT OKI di Dakar, Senegal, sekaligus mengunjungi lima negara sahabat di Amerika Latin dan Afrika.
Menurut jadwal semula, presiden yang meninggalkan tanah air 19 November, tiba kembali di Jakarta 14 Desember besok. Tapi karena KTT OKI itu berjalan lancar dan selesai lebih cepat dari jadwalnya, delegasi Indonesia yang dipimpin Presiden Soeharto dapat meninggalkan ibukota Senegal itu Selasa lalu dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Rabu malam.
Kendatipun kunjungan ke luar negeri itu dipersingkat beberapa hari, dibandingkan dengan muhibah-muhibah presiden di masa lampau, yang terakhir ini tetap merupakan yang terlama, meliputi dua benua dengan menyeberangi Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik.
Kunjungan itu sukses. Sasaran delegasi Indonesia di KTT K-15 dan KTT OKI akan terlaksana, yaitu meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan di bidang- bidang pembangunan, perekonomian, perdagangan dan teknik. Sedang usul Indonesia tentang kerjasama di bidang pertanian pangan dan program Keluarga Berencana/Kependudukan diterima oleh KTT K-15.
Kesempatan bertemu dengan kepala negara/pemerintahan dan tokoh-tokoh negara-negara sahabat di kedua KTT itu, telah dimanfaatkan Presiden Soeharto untuk menjawab pertanyaan mereka tentang insiden Dili 12 November, dengan mengemukakan apa adanya, sekaligus meluruskan berita pers luar negeri yang tidak benar dan berat sebelah yang amat merugikan Indonesia.
Tokoh-tokoh Dunia Ketiga yang memang sudah lama menyesalkan berita-berita pers Barat yang tidak objektif tentang negara-negara berkembang, berat sebelah bahkan memutar balikkan fakta, memang tidak mudah tertipu oleh berita-berita bohong itu.
Tapi bertolak-belakang dengan itu, adalah sikap segelintir menteri negara-negara Barat yang mempercayai bulat-bulat dan menerima berita itu semaca emosional yang digunakannya sebagai alasan buat menangguhkan pinjaman baru kepada Indonesia.
Sikap terburu nafsu, kasar dan tidak memperdulikan sopan santun komunikasi antar bangsa yang seharusnya dipupuk di era globalisasi ini, selain mendiskreditkan Indonesia di mata dunia, juga menimbulkan kesulitan dalam menyusun rencana anggaran baru di akhir tahun ini.
Salah satu mata anggaran yang belum jelas adalah berapa besar bantuan pembangunan yang harus dipatok dalam Rancangan APBN yang harus dirampungkan tiap Desember, sebab minggu pertama tahun baru Rancangan APBN dan Nota Keuangan disampaikan presiden kepada sidang paripuma DPR. Biasanya pembahasan DPR selesai akhir Pebrumi dan RUU APBN disahkan menjadi UUAPBN.
Maka, dengan cepatnya selesai KTT OKI, presiden lebih cepat pula berada di dalam negeri kembali untuk merampungkan tugas penyusunan Rancangan APBN 1992/1993 itu. Maka setelah dipertimbangkan kondisi intern dan ekstern akan diputuskan besarnya bantuan pembangunan dari luar negeri, demilian pula dipatok harga BBM dalam Rencana APBN 1992/1993, apakah sama dengan di tahun anggaran yang sedang berjalan, lebih rendah ataukah lebih tinggi.
Kendatipun masih ada hal-hal saat ini yang belum pasti dalam penyusunan Rencana APBN, sikap Indonesia tentang syarat-syarat pinjaman luar negeri yang dapat diterima, sudah lama ada kepastian dan tidak akan berubah dalam keadaan bagaimanapun juga. Sikap definitif ini dikemukakan lagi oleh Presiden Soeharto dalam pesawat DC- 10 kepada wartawan dalam penerbangan Dakar-Jakarta.
Ditegaskan oleh kepala negara, Indonesia tidak akan menerima bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan syarat-syarat politik, sebab sejak semula sudah disepakati bantuan luar negeri itu diterima tanpa mengaitkannya dengan politik dalam negeri. Diulanginya pula penegasan, bantuan luar negeri itu hanya sebagai pelengkap bagi pembangunan.
Kita harus kembali kepada prinsip bahwa bantuan yang diterima harus berjangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran (graceperiod) dan bunganya rendah. Kalau ada syarat politik, sama sekali tidak akan kita terima.
Dikemukakannya pula, kalau tidak ada bantuan, bukan berarti kita setengah mati. Sama sekali tidak. Namun kita membangun sesuai dengan kemampuan langkah kita, membangun dengan kemampuan sendiri, lebih-lebih menghadapi tinggal landas perlu diusahakan. Kita tidak perlu takut atau khawatir bila tidak ada bantuan luar negeri, kata presiden.
Membangun dengan kekuatan sendiri memang sudah menjadi cita-cita bangsa kita sejak semula. Kalau situasi menghendaki kita harus melakukannya lebih cepat dariyang kita rencanakan, sebagai bangsa pejuang tantangan itu tentu harus kita jawab. (SA)
Sumber : ANGKATAN BERSENJATA (13/12/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 414-416.