TAJUKRENCANA: MENYADARI KERAWANAN DALAM KEMAJEMUKAN [1]
Jakarta, Suara Pembaruan
PRESIDEN Soeharto mengatakan, bagi bangsa Indonesia membangun dan memelihara persatuan serta kesatuan dalam negara yang masyarakatnya sangat majemuk, merupakan tugas besar dan amat strategis. Dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Paku Alam VIII, pada pembukaan Musyawarah Besar Paguyuban Wehrkreise III di Yogyakarta hari Kamis (7/7) kemarin diserukan supaya setiap warga negara dan setiap golongan dalam masyarakat senantiasa sadar terhadap kerawanan tersebut.
Tepat sekali seruan Kepala Negara supaya semangat persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan itu terus-menerus digelorakan dan dikembangkan. Sebab, sekalipun persatuan dan kesatuan bangsa kita makin bertambah kukuh, namun tidak boleh mengabaikan kerawanan yang masih melekat dalam kemajemukan masyarakat, demikian ditegaskan.
Bercermin pada pengalaman banyak negara, maka apa yang diserukan oleh Presiden Soeharto supaya setiap warga negara dan setiap golongan terus-menerus mengupayakan pembangunan serta pemeliharaan persatuan dan kesatuan nasional, seharu snyalah menjadi obsesi kita semua. Lebih-lebih lagi karena semangat kebangsaan tersebut tidak timbul dengan sendirinya. Dengan kata lain, negara kebangsaan yang kita miliki itu bukan sesuatu yang given, yang datang dan muncul dengan sendirinya. Tetapi hasil perjuangan yang gigih dari para pendahulu kita terutama sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908, kemudian dimantapkan dengan Sumpah Pemuda tahun 1928 dan selanjutnya diwujudkan pada proklamasi kemerdekaan tahun 1945.
PERSATUAN dan kesatuan nasional dalam suatu masyarakat majemuk memang makin relevan untuk digelorakan mengingat perkembangan Umum dan teknologi di satu pihak dan arus globalisasi yang melanda dunia di pihak lain. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi misalnya, menyebabkan dinamika dan visi masyarakat berkembang sedemikian rupa sehingga apabila tidak dilandasi oleh rasa persatuan dan kesatuan yang kuat, akan mudah dimasuki oleh nilai-nilai atau visi yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa bersangkutan.
Sebab perlu disadari, pola pikir dan pola sikap serta nilai- nilai yang dimiliki oleh negara yang agak homogen dan secara geografi terdiri atas daratan, sudah barang tentu tidak sama dengan pola pikir dan pola sikap serta nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa yang sangat majemuk dan merupakan negara kepulauan seperti Nusantara. Bagi negara yang terdiri atas daratan misalnya, mungkin pengertian air/perairan atau laut akan sangat berbeda dengan pengertian Negara Nusantara. Bagi negara kita, jelas bahwa air/perairan atau laut bukan pemisah terhadap daratan (pulau-pulau ), tetapi justru menjadi penghubung, sehingga daratan (pulau-pulau) dan laut merupakan satu kesatuan yang bulat yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
DEMIKIAN juga dengan masalah heterogenitas bangsa kita, sering kurang disadari. Sebab, secara internal misalnya, negara kita terdiri atas ribuan pulau yang kondisinya sangat berbeda satu sama lain dalam banyak segi. Belum lagi beranekaragam suku, agama, Iatar belakang sosial budaya dan lain-lain sedemikian rupa sehingga apabila tidak diikat dengan kukuh oleh satu pandangan hidup, akan sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan.
Secara ekstemal, negara kita menduduki posisi silang yang sangat strategis di antara dua benua dan dua samudera. Posisinya yang begitu strategis sekaligus mengundang berbagai kerawanan secara global. Sadar akan hal itulah, maka tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan “Deklarasi Djuanda” yang intinya memuat asas-asas Negara Nusantara dan sekaligus merupakan embrio dari Wawasan Nusantara yang sejak GBHN 1973 dijadikan wawasan pembangunan nasional.
“Deklarasi Djuanda” itu antara lain menandaskan, darat (pulau) dan laut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Deklarasi itu sekaligus meniadakan “kantong-kantong” laut bebas di antara dan di sekeliling kepulauan In donesia menurut ordonansi peninggalan kolonial Belanda.
SEBAGAI masyarakat yang sangat majemuk dengan sendirinya kita harus selalu menyadari akan kerawanan yang melekat di dalamnya. Oleh karena itu, dari setiap warga negara dan setiap golongan dituntut kearifan sehingga tidak timbul hal-hal yang bisa menimbulkan distorsi terhadap persatuan dan kesatuan tersebut. Sebab, suatu perilaku atau kebiasaan yang bisa diterima oleh masyarakat di suatu claerah, misalnya, belurn tentu bisa diterima oleh masyarakat di daerah lain.
Demikian juga dengan masalah keterbukaan. Suatu sikap yang terlalu transparan atau blak-blakan dari masyarakat tertentu, misalnya, mungkin dirasakan aneh bahkan tidak bisa diterima oleh masyarakat di daerah lain. Dalam hubungan ini sangat tepat apa yang dikemukakan oleh Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono baru-baru ini, keterbukaan jangan diartikan asal buka- bukaan. Jadi keterbukaan itu ada batasnya, antara lain sepanjang tidak menyinggung orang lain.
Sekali lagi, kita ingin menggarisbawahi penegasan Presiden Soeharto bahwa negara kebangsaan Indonesia hanya dapat berdiri dan bertahan hidup jika secara terus-menerus didukung oleh semangat kebangsaan yang kuat dari rakyat.
Sumber: SUARA PEMBARUAN ( 08/07/1994)
_________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 82-84.