TAK ADA SALAHNYA TANAM MODAL DI LUAR NEGERI [1]
Jakarta, Suara Karya
Presiden Soeharto menegaskan bahwa tidak ada salahnya para pengusaha Indonesia menanamkan modalnya di luar negeri, asal dikaitkan dengan upaya peningkatan ekspor nonmigas. Misalnya, untuk meningkatkan ekspor minyak Sawit mentah (CPO), pengusaha Indonesia bisa saja melakukan patungan mendirikan pabrik minyak sayur di luar negeri.
Penegasan itu dikemukakan Kepala Negara ketika menerima pimpinan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di Bina Graha Jakarta, Senin. Pimpinan DPA itu terdiri dari Ketua, Maraden Panggabean dan para Wakil Ketua, GH Mantik, Ny. Nani Sudharsono, Suhardiman dan Sukamdani Sahid Gitosardjono. Mereka datang menemui Kepala Negara untuk melaporkan hasil kunjungannya ke RRC 15-28 September lalu.
Wakil Ketua DPA yang membidangi Ekonomi, Sukamdani Sahid Gitosardjono mengemukakan, Presiden, memandang penting diantisipasinya pasar RRC. Artinya, ekspor ke negara yang sedang melakukan reformasi ekonomi itu jangan sampai terputus, bahkan harus ditingkatkan. “Bila perlu, menanarnkan modal di negara itu untuk mendekatkan pasar. Misalnya membangun industri pengolahan minyak sawit dan pakaian jadi dengan cara patungan ,”katanya.
Bahkan, dalam kerja sama investasi dengan pihak RRC itu, menurut Presiden, pihak Indonesia harus memiliki saham lebih besar. Namun, menurut Sukamdani, sekarang yang menjadi kendala tiap-tiap orang yang akan menanamkan modalnya di luar negeri adalah dikuatirkan dituduh melarikan modal.
M Panggabean mengemukakan, RRC kini sedang melakukan pembangunan secara besar-besaran, mulai dari sektor ekonomi sampai industri di pedesaan, sehingga tingkat kehidupan rakyatnya juga meningkat. Mengingat jumlah penduduk serta, tingkat perkembangannya yang demikian pesat , maka RRC merupakan pasar yang sangat potensial bagi berbagai komoditas ekspor Indonesia.
“Penduduk RRC sekarang ini satu milyar jiwa, dan jumlah kelahiran setiap tahunnya rata-rata 16 juta jiwa, atau sama dengan penduduk Australia. Melihat jumlah penduduknya itu, RRC merupakan potensi pasar yang cukup besar, “katanya.
Maraden Panggabean menjelaskan, selama di RRC rombongan DPA yang terdiri dari 10 orang itu sempat bertemu dengan Presiden Yang Sangkun, serta Pemerintah tingkat provinsi, kotamadya dan bahkan dengan beberapa pemerintah desa. Kunjungan pimpinan DPA ke negara itu atas undangan Majelis Penasehat Pemerintah dan Partai Komunis RRC, yang kira-kira kedudukannya sama dengan DPA di Indonesia. Dari kunjungan itu banyak sekali hal-hal yang bermanfaat, terutama saling tukar informasi dan pengalaman.
Di tempat yang sama setelah menerima pimpinan DPA, Presiden Soeharto menerima pimpinan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang dipimpin Ketua Umum-nya, Achmad Tahir. Kedatangan pimpinan LVRI itu untuk melaporkan bahwa Indonesia terpilih sebagai Ketua Organisasi Veteran Negara-negara ASEAN (VCONAC) untuk masa dua tahun mendatang.
Di samping itu, Indonesia juga terpilih menjadi tuan rumah konferensi VCONAC tersebut di Jakarta, 15-19 Desember 1992 mendatang. Konferensi itu sendiri direncanakan dibuka oleh Presiden Soeharto di lstana Negara.
Menurut Achmad Tahir, VCONAC itu dibentuk 19 Desember 1980 lalu, sebagai perwujudan dari Deklarasi Bali 1976, yang menganjurkan agar semangat ASEAN ini dimasyarakatkan. Artinya, dikembangkan kerja sama di kalangan pemuda, wanita, pelajar dan juga para veteran. “Alhamdulillah sepanjang organisasi ini terbentuk selama 12tahun, telah terjalin kerja sama yang demikian erat di kalangan veteran negara negara ASEAN itu, “katanya. Kerja sama di kalangan veteran ASEAN itu, menurut Achmad Tahir, bisa dilihat dari setiap ada Konferensi Federasi Veteran Dunia, veteran dari negara-negara ASEAN dalam mengemukakan pendapat atau sikapnya selalu saling membantu. (A-6)
Sumber: SUARAKARYA(l3/10 / 1992
________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 619-621.