TAK PERLU DIKHAWATIRKAN PASCA SOEHARTO DAN GENERASI 45

TAK PERLU DIKHAWATIRKAN PASCA SOEHARTO DAN GENERASI 45[1]

 

Jakarta, Kompas

Ketua lkatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) BJ Habibie mengemukakan, tidak perlu khawatir atau menjadi pesimis akan kesinambungan pembangunan Pasca Soeharto dan Generasi’45.

“Tidak ada alasan untuk meragukan kesinambungan pembangunan, kehidupan politik, serta stabilitas politik dan ekonomi di bumi Indonesia. Juga tidak ada alasan untuk memikirkan bagaimana jika mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Generasi’45 tidak ada lagi di kalangan bangsa Indonesia.” ujarnya dalam sambutannya pada pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ke-6 ICMI, Rabu (4/12), di Hotel Cempaka, Jakarta.

Hadir pada acara pembukaan Silaknas itu, antara lain KH Ali Yafie, Achmad Tirtosudiro, Mendikbud Prof. Wardiman Djojonegoro, dan sejumlah fimgsionaris ICMI lainnya.

Dijelaskannya, tidak ada manusia yang hidup 1.000 tahun. Yang terus hidup adalah cita-cita, dan pemikiran manusia. Demikian pula dengan mandataris MPR dan Generasi’45. Yang abadi bukanlah tubuh dan keberadaannya, melainkan jiwanya, jiwa yang selalu mekar dan hidup dalam jiwa generasi mudanya.

“Soeharto adalah salah satu tokoh, yang berada di ujung tombak memegang peranan mewakili generasi 45, yang telah melaksanakan suatu karya yang nyata, yakni menjadikan Indonesia seperti yang kita alami sekarang ini. Ia juga membawa bangsa Indonesia siap memasuki abad yang akan datang, sesuai dengan kekuatannya.” papar Habibie, sambil mengemukakan bahwa penjelasan yang sama juga pernah diberikannya kepada Presiden Perancis Jacques Chiraq.

Tak Pernah Agendakan

Menjawab pertan yaan pers seusai pembukaan Silaknas Ke-6 ICMI, Habibie menegaskan, tidak pernah dirinya mengagendakan suatu pertemuan dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB-NU) Abdurrahman Wahid seperti yang ramai diberitakan media massa.

Tak Pernah Agendakan

Menjawab pertanyaan pers seusai pembukaan Silaknas Ke-6 ICMI, Habibie menegaskan, tidak pernah dirinya mengagendakan suatu pertemuan dengan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB-NU) Abdurrahman Wahid seperti yang ramai diberitakan media massa.

Ketua ICMI juga menandaskan, tidak ada pentingnya pertemuan dengan Gus Dur dilakukan, karena program ICMI menurut Habibie ditentukan bersama oleh anggota ICMI dan semua sudah ada mekanismenya.

“Dan Gus Dur bukan anggota ICMI. Tidak ada masalah.” katanya.

Ketika ditanya mengenai usul mempertemukan dirinya dengan Gus Dur, Habibie mengatakan bahwa usul pertemuan itu normal saja dan harus dianggap sebagai silaturahmi.

“Saya pribadi tidak pernah ada masalah dengan Gus Dur.” katanya.

Ketika dikonfirmasikan penilaian Gus Dur yang mengatakan ICMI terlalu dominan dalam kehidupan politik, Habibie menyangkal pendapat tersebut. Menurut Habibie, ICMI merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang memiliki program tungga1 5 K (peningkatan kualitas iman dan taqwa,kualitas pikir, kualitas karya, kualitas kerja, dan kualitas hidup, Red).

“ICMI didirikan sesuai dengan peraturan pemerintah dan undang-undang yang berlaku. ICMI memiliki AD/ART, program, mekanisme, dan memiliki anggota, yang semuanya transparan.” tega snya.

Habibie mengingatkan, kalau toh ada yang mengusulkan adanya suatu pertemuan dengan Gus Dur, pihaknya belum tentu bersedia. Dikatakan, dirinya hanya bertanggung jawab pada muktamar ICMI berdasarkan musyawarah dan mufakat, dan di dalam ICMI terdapat mekanisme organisasi, dewan pen gurus, pakar, serta penasihat.

“Di dalam ICMI, saya bersama mereka dan bertanggungjawab kepada mereka. Dengan mereka lah saya berbicara. Saya bertang gungjawab terhadap Muktamar, Rakomas, atau Silaknas, dan tidak pernah bertanggungjawab terhadap perorangan.” tegasnya.

Belum Ada Rencana

Sekretaris Umum ICMI PusatAdi Sasono mengakui, dirinya belum mendengar adanya rencana mempertemukan Gus Dur dengan Habibie.

“Tidak ada rencana pertemuan.” Kata Adi dalam acara Malam Ta’aruj ICMI Selasa malam di tempat yang sama.

Ketika ditanya sejauh mana pentingnya pertemuan antara Gus Dur dan Habibie dilaksanakan, Adi menilai bahwa pertemuan itu biasa-biasa saja.

“Saya merasa tidak ada masalah yang terlalu mendesak untuk dibicarakan.” tandas Adi.

Bagaimana sebenarnya kondisi hubungan Gus Dur dan Habibie? tanya wartawan. Menurut Adi, dari Habibie sendiri tidak ada masalah. Habibie menurutAdi tidak pernah mengkritik Gus Dur dan tidak pernah mengkritik NU. Bahkan, kata Adi, program ICMI justru banyak membantu NU, karena ICMI dikatakannya tidak pernah membedakan Islam NU dan Islam bukan NU.

“Bila ada masalah, pasti bukan dari Pak Habibie.” katanya.

Jadi Anda memandang tidak perlu adanya pertemuan Gus Dur dan Habibie? Tanya wartawan lagi.

“Saya netral saja, terserah yang merasa perlu. Tapi dari pihak ICMI atau Pak Habibie, sampai sekarang belum ada rencana.” tandas Adi.

Integrasi Nasional

Dalam sambutannya sebagai Ketua ICMI, Habibie mengemukakan, integrasi nasional merupakan kunci penentu pencapaian tujuan pembangunan berupa kemajuan, kemandirian, kesejahteraan, dan keadilan. Sebagai bangsa yang diwamai berbagai kemajemukan, perkembangannya dapat mengarah kepada salah satu sisi dari sifat majemuk itu, yakni integrasi atau sebaliknya disintegrasi.

“Disintegrasi akan terjadi jika kita tidak dapat mengantisipasi dinamika perubahan dari dalam maupun luar yang ada secara arif dan bijaksana.” ungkapnya.

Habibie mengingatkan, ICMI yang hidup di tengah-tengah kemajemukan masyarakat, harus senantiasa berusaha untuk : menjadi faktor integrasi nasional. Hal ini dikatakan Habibie sejalan dengan niat dasar dan proses kelahiran ICMI, yakni semangat melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

“ICMI membuka diri untuk : mengembangkan komunikasi secara dinamis dengan sesama komponen umat dan bangsa.” katanya.

Berbicara soal kehidupan global yang salah satu manifestasinya adalah keterbukaan, ditandai dengan runtuhnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan antarbangsa, baik sekat politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Globalisasi menyebabkan informasi mengalir bebas, dan hal itu menurut Habibie mengandung konsekuensi semakin bebasnya lalu lintas pertukaran gagasan antar bangsa.

Dalam situasi demikian, kata Habibie, kita harus siap menerima kenyataan bahwa banyak hal yang menjadi keyakinan selama ini akan dipertanyakan dan dikaji keabsahan dan relevansinya.

Diilustrasikan, sistem kehidupan kita sebagai bangsa serta pandangan-pandangan yang melandasinya harus diperhitungkan karena akan terus menerus dikaji dan ditantang.

“Masalah globalisasi adalah masalah bagaimana menyelaraskan gagasan-gagasan dasar bangsa dengan konsekuensi yang ditimbulkan oleh arusperubahan yang cepat dan massif.” kata  Habibie.

Bahasan GBHN

Berbicara mengenai Silaknas ke-6 ICMI, Habibie menilai bahwa kegiatan ini merupakan hal yang amat penting dan strategis, karena bangsa Indonesia tengah mempersiapkan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998.

Berkaitan dengan bahan masukan GBHN 1998, Habibie menekankan agar Silaknas berpijak pada dua pembahasan, yaitu rumusan GBHN 1998 harus mencerminkan proses kesinambungan pembangunan (sustainability), dan rumusan GBHN 1998 harus dapat menjawab secara akurat berbagai persoalan serta tantangan yang dihadapi bangsa sebagai produk dinamika internal bangsa maupun sebagai akibat perubahan lingkungan strategisregional dan global.

“Saya mengimbau agar bahan-bahan masukan ICMI untuk GBHN 1998 disusun atas dasar visi bangsa yang jauh ke depan. Kekuatan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh ketajamannya melihat dan mengantisipasi masa depannya.” tandas Habibie yang juga Menteri Riset dan Teknologi itu.

Kepada seluruh fungsionaris ICMI di satuan, wilayah maupun pusat- Habibie berpesan untuk menjadikan ICMI bukan sekedar sebagai suatu kelompok cendekiawan atau suatu organisasi saja, melainkan mengembangkannya menjadi “gerakan” cendekiawan muslim Indonesia.

“Hal ini dapat terjadi apabila kegiatan dan program ICMI dapat menyentuh dan memecahkan persoalan yang dihadapi bangsa dan umat di tingkat akar rumput.” katanya. (pep)

Sumber : KOMPAS (05/12/1996)

___________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 22-25.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.