Tanda Penghargaan WHO untuk Presiden Soeharto KARENA TEROBOSAN PEMERATAAN BIDANG KESEHATAN

Tanda Penghargaan WHO untuk Presiden Soeharto KARENA TEROBOSAN PEMERATAAN BIDANG KESEHATAN

 

 

Jakarta, Kompas

HARl ini, Senin 18 Februan 1991, Presiden Soeharto menerima medali emas Health for All Golden Medal Award dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO). Medali itulah bukti pengakuan organisasi dunia di bidang kesehatan atas kepeloporan Kepala Negara menangani bidang kesehatan. Menwut rencana, seperti dikemukakan Menkes Adhyatma, tanda penghargaan tersebut akan diserahkan oleh Dirjen WHO Hiroshi Nakajima di Jakarta.

“Dia sangat terkesan karena Indonesia dinilai berhasil di bidang kesehatan berkat kepemimpinan Presiden Soeharto,” kata Menkes mengutip surat Nakajima yang diterimanya tanggal 21 Januari 1991. Penganugerahan tanda penghargaan itu, tentu sudah didahului serangkaian penilaian. Bukan hanya penilaian sesaat, tetapi penilaian terus-menerus.

BEBERAPA prestasi bisa kita catat. Misalnya dalam tahun 1988 mata dunia dipaksa tercenung ketika Presiden Soeharto menerima 8 orang bekas penyandang penyakit kusta di Bina Graha, dalam rangka POR (Pekan Olah Raga) Penyandang Kusta. Mereka berjabat tangan dengan Kepala Negara. Sementara bagi para penyandang cacat, momentum ini punya arti tersendiri. Mereka merasa terangkat harkat kemanusiaannya.

Mengapa? Sebab selama ini para penyandang cacat kusta, termasuk yang sudah dinyatakan sembuh oleh dokter pun, ditakuti dan dijauhi masyarakat. Masyarakat masih “lepra phobi” atau “kusta phobi”. Para penderita sakit ini dianggap berbahaya bisa menularkan penyakitnya. Anggapan itu bukan hanya sekarang, bahkan dalam kisah-kisah lama, mereka dikucilkan dan dianggap “sampah masyarakat”.

Tetapi, pada pertengahan Oktober tahun 1988 itu dunia menyaksikan peristiwa yang langka teijadi antara seorang bekas penderita lepra dan Presiden Rl. Bahkan barangkali untuk pertama kali seorang presiden bersedia berjabatan tangan secara resmi dengan bekas penyandang penyakit kusta. Peristiwa itu seakan membuka mata dunia, bahwa mereka yang sudah sembuh tak perlu diasingkan dan dikucilkan. Kita ingat Presiden Soeharto mengharapkan agar masyarakat tidak mengucilkan para bekas penyandang kusta. “Kembalikan dan perlakukanlah mereka seperti masyarakat lainnya.”

TENTANG keberhasilan menangani kesehatan, pernah dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Unicef (Dana PBB untuk Anak-anak), James Grant. Ketika berkunjung di Indonesia, tahun 1986, Grant menilai Indonesia berpotensi mencapai kemajuan di bidang kesehatan.

Pernyataan ini bersamaan dengan dicanangkannya program imunisasi anak. Pada “Hari Kesehatan Nasional” 1986 Presiden dan Nyonya Tien Soeharto memberikan vaksinasi polio pada beberapa anak secara simbolis. Padahal saat itu target program imunisasi masih dirasakan cuk:up berat bagi Indonesia, sebab cakupannya baru 65 persen. Sementara ketentuan Unicef dan WHO mengharuskan cakupan imunisasi minimal 80 persen. Tapi prestasi ini pun cukup besar, sebab bayi baru mencapai 25 persen, lonjakan cukup tinggi dibandingkan dengan tahun 1983 yang baru mencapai 6 persen.

Imunisasi, selama ini dianggap memberi kekebalan tubuh terhadap beberapa penyakit. Imunisasi BCG, untuk TBC, DPT untuk diphteri, pertusis, tetanus dan polio. Dengan imunisasi, angka kematian bayi dapat dicegah. Tercatat misalnya, dalam tahun 1971 angka kematian bayi masih 142 per 1.000 kelahiran hidup, 1980, menjadi 112 dan 1985 menjadi 71 per 1.000. Selama 9 tahun terjadi penurunan angka kematian bayi rata-rata 3,3.

Diperkirakan angka kematian bayi tahun 1990 mencapai 54 per 1.000 kelahiran hidup, dan diharapkan tahun 1995 menjadi 48, tahun 2.000 menjadi 35 per 1.000. Semua memperlihatkan tingginya cakupan imunisasi bayi berkaitan dengan rendahnya angka kematian bayi.

UNTUK kesekian kali dunia dibuat lebih yakin atas usaha dan tekad bangsa Indonesia, ketika dicanangkan penggunaan ASI (air susu ibu), tepat pada Hari Ibu ke- 62 dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 1990. Pada kesempatan itu ditegaskan oleh Presiden Soeharto, “Dengan memberi ASI kepada bayi, kaum ibu menjadi pelopor terwujudnya manusia Indonesia yang berkualitas.” Peristiwa itu, dinilai oleh dunia, menyingkapkan lubuk hati seorang presiden, betapa dalam perasaan dan penilaiannya terhadap seorang ibu yang menyusui anaknya dengan air susunya sendiri.

Ibu menyusui dinilai tengah menunaikan tugas kodratinya yang mulia danluhur sebagai seorang ibu. Karena memberi air susu kepada bayi mempunyai nilai kejiwaan, yaitu mengukuhkan hubungan kejiwaan antara ibu dan anak. Diserukan “Berikanlah ASI kepada bayi yang bam lahir setidaknya untuk masa 4 bulan.” Masa itu merupakan masa pertama perkembangan bayi yang masih sangat peka. ASI dinilai sebagai anugerah Tuhan yang dikaruniakan untuk mengiringi kelahiran seorang bayi. Sehingga, dalam ASI terkandung bahan yang diperlukan seorang bayi dalam pertumbuhannya.

Ada alasan pencanangan pemberian ASI. Di Indonesia terjadi penurunan penggunaan ASI. Tercatat tahun 1979di Jakarta hanya 18 persen bayi mendapat ASI, meskipun pada tahun 1984 naik menjadi 24,8 persen. Di Semarang tahun 1983 hanya 30 persen bayi mendapatASI dan 1984naik men jadi 51,5 persen, kemudian Denpasar tahun 1980 hanya 10persen dan tahun 1986 naik menjadi 18.07 persen. Padahal pemberian ASl bukan berarti kembali pada kebiasaan kuno, tetapi justru suatu cara canggih memenuhi kebutuhan bayi pada saat awal membentuk kualitas manusia. Karena teknologi canggih semakin membuktikan keunggulan ASI, antara lain dari aspek gizi, kekebalan terhadap penyakit, mengandung zat anti infeksi, alergi dan lainnya.

GERAKAN Sadar Pangan dan Gizi di Wonogiri tahun 1989, barangkali juga prestasi lain lagi. Dalam tahun itu program gizi dilaksanakan untuk memperbaiki gizi keluarga di 1.059 desa baru dan pembinaan pada 24.250 desa lama. Untuk menanggulangi gondok endemik dilakukan penyuntikan pada 289.800 penduduk yang tersebar di 23 propinsi. Pencegahan defisiensi vitamin A dilaksanakan dengan pemberian vitamin A dosis tinggi, begitu pula pencegahan dan penanggulangan alergi gizi melalui pemberian tablet besi.

Peningkatan status gizi masyarakat dinilai sangat menentukan. Karena terperhatikannya kaum wanita sebagai ibu dari anak-anak bangsa, pembangun dan pemilik masa depan. Diharapkan oleh Kepala Negara, bayi dan balita lebih diperhatikan agar kelak menjadi remaja sehat lahir batin, menjadi warga negara yang siap memikul tugas dan kehormatan meneruskan pembangunan bangsa. Ini terungkapkan tahun 1988 pada saat pembukaan Widya Karya Pangan dan Gizi ke-4 di Istana Negara.

Sebenamya kegiatan gizi sudah lama dilaksanakan. Tetapi baru pada tahun 1950 dokter Poerwo Soedarmo melanjutkannya. Melalui Lembaga Makanan Rakyat tahun 1950-1965, kegiatan gizi dikembangkan, tenaga terampil dididik melalui Sekolah Juru Penerangan Makanan, Sekolah Ahli Gizi kemudian menjadi Akademi Gizi. Mulai 25 Januari 1956 dipopulerkan, slogan Empat Sehat Lima Sempurna. Dan sejak Pelita I­V program perbaikan gizi diarahkan sesuai permasalahan gizi yang ada, dan merupakan salah satu dari program pembangunan di bidang kesehatan secara menyeluruh. Kegiatannya dipusatkan untuk menunjang penurunan angka kematian dan kesakitan.

HEALTH for All Golden Medal Award untuk Presiden Soeharto tidak lepas dari penilaian WHO akan peranannya sebagai pencetus Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) pada sekitar tahun 1972 melalui Inpres. Puskesmas dinilai sebagai tempat pelayanan kesehatan terdepan bagi masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air. Cara ini merupakan terobosan baru untuk mengatasi masalah pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Dari Puskesmas berkembang lagi Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Puskesmas Terapung dan dokter terbang. Satu sama lain berkaitan tetapi tujuannya sama untuk melayani kesehatan masyarakat. Sehingga bukan saja dibangun gedung Puskesmas tetapi berikut rumah dokter dan perawat. Kini jumlah Puskesmas sebanyak 5.631, Puskesmas Pembantu 14.850, Puskesmas Keliling roda empat 3.867 buah dan perahu motor 546 buah.

Setelah Puskesmas, muncul pula pos pelayanan terpadu atau Posyandu tahun 1984. Padahal sebelumnya kegiatan menimbang bayi, penerangan gizi dan lainnya sudah cukup lama dilakukan, tetapi belum diberi nama untuk wadah yang beraneka macam itu. Kini jumlah Posyandu sekitar 200.000 tersebar di seluruh desa yang berjumlah 65.517 pada tahun 1987. Sehingga tiap desa terdapat dua atau tiga Posyandu. Wadah pelayanan ini digerakkan oleh daya usaha masyarakat sendiri.

Puskesmas dan Posyandu merupakan terobosan terbesar dalam pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia. Usaha inimendapat penilaian WHO atas keberhasilan Presiden Soeharto dalam bidang kesehatan. Namun Presiden sendiri dengan rendah hati mengatakan pada Menteri Kesehatan “Keberhasilan itu karena mendapat dukungan masyarakat,jadi Health forAll Golden Medal Award bukan untuk Presiden tetapi untuk rakyat lndonesia.”

 

 

Sumber : KOMPAS (18/02/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 568-572.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.