TANGGUNG JAWAB MORAL DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Tajuk Rencana:
PENEGASAN Presiden Soeharto mengenai tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial para ulama berlaku juga pada pemuka dan semua agama pada umumnya.
Presiden Soeharto telah mengemukakan penegasan itu waktu beliau menerima para peserta Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia di Istana Negara.
Di semua negara dan kalangan para pengamat dari berbagai agama itu kita lihat bahwa kadang-kadang tanggung jawab moral seolah-olah dipertentangkan dengan tanggung jawab sosial.
Yaitu seolah-olah kehidupan kesalehan perorangan yang bermoral dan cita-cita serta perjuangan untuk menegakkan masyarakat yang adil, makmur dan rukun adalah dua segi yang terpisah bahkan saling bertentangan.
Sikap yang seolah-olah mempertentangkan kedua segi tadi pada satu pihak menyebabkan bahwa penekanan kepada kehidupan kesalehan perorangan yang bermoral dibarengi dengan sikap fanatisme dan intoleransi yang menghambat usaha untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan rukun.
Pada pihak lain sikap pemisahan seperti itu dapat juga membawa kepada usaha untuk membatasi kehidupan keagamaan demi menegakkan masyarakat yang adil, makmur dan rukun oleh karena kehidupan keagamaan itu dianggap dapat menghambat usaha untuk menegakkan masyarakat yang adil, makmur dan rukun.
Dalam Negara Pancasila maka tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial dari para pemuka agama tidak dipisahkan apalagi dipertentangkan melainkan dihubungkan secara serasi. Itu dimungkinkan oleh karena tanggung jawab moral dan tanggung jawab sosial itu berlangsung dalam rangka cita-cita bersama untuk membangun masyarakat Pancasila dalam Negara Pancasila.
Dengan demikian maka kemajemukan keagamaan yang berarti bahwa semua pihak menimba inspirasi dan motivasi dari iman dan kepercayaan mereka masing-masing, tidak menimbulkan pertentangan melainkan justru melahirkan tanggung jawab bersama di bidang sosial untuk membangun masyarakat Pancasila dalam Negara Pancasila.
Dalam hubungan tanggung jawab sosial bersama itu untuk membangun masyarakat Pancasila dalam Negara Pancasila dengan menghormati dan menyemarakkan kehidupan beragama maka kita menggaris bawahi dua hal yang dikemukakan oleh Presiden Soeharto dalam pertemuan dengan para peserta Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Yang pertama ialah kemerdekaan beragama, yang sesuai dengan P-4 oleh Presiden disebut hak yang paling asasi dari manusia yang bukan hadiah atau pemberian golongan.
Presiden Soeharto mengimbau agar kita arif dalam menangani masalah-masalah perbedaan, lebih-lebih dalam kehidupan beragama, agar tidak timbul ketegangan dan agar tidak ada pihak atau golongan yang merasa tertekan atau merasa dikurangi kemerdekaan beragamanya.
Sebagai Pancasilais yang sejati maka Presiden Soeharto menegaskan bahwa kita tidak ingin ada bagian masyarakat dan rakyat kita merasakan hal seperti itu, betapapun kecilnya bagian masyarakat kita itu.
Secara tersirat Presiden Soeharto dengan itu menghimbau agar golongan yang lebih besar menghormati hak dan kebebasan dari golongan yang lebih kecil.
Imbauan Presiden itu sangat penting oleh karena golongan yang kecil di suatu daerah merupakan golongan yang besar di daerah lain. Lagi pula dalam rangka Wawasan Nusantara terdapat perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah yang lain.
Penduduk yang datang itu sering menganut agama yang lain dari pada agama yang dianut oleh kebanyakan penduduk di daerah itu. Oleh sebab itu, himbauan Presiden Soeharto agar kita menganggap hak kemerdekaan beragama, termasuk hak untuk mendirikan rumah-rumah ibadah, sebagai hak yang paling asasi dari manusia yang bukan hadiah dari negara atau golongan, adalah sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan sebagai ideologi bangsa yang selama ini terasa belum bulat dan tuntas.
Dalam rangka penataan organisasi-organisasi kemasyarakatan, kita dengan lega menyaksikan tekad yang makin luas kalangan organisasi kemasyarakatan untuk menegaskan Pancasila sebagai satu satunya asas organisasi kemasyarakatan.
"Semua itu adalah gerak sejarah yang tidak mungkin terbendung dalam pemantapan Pancasila", kata Presiden Soeharto.
Jika tahun 1945 kita telah mengikrarkan Pancasila sebagai dasar negara, maka berkat pelajaran dan tempaan pengalaman bertahun-tahun dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, tahun 1978 MPR menetapkan P4 atau Eka Prasetya Panca Karsa, dan pada tahun 1983 melalui GBHN, MPR menegaskan kita memandang pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
"Ini berarti bahwa titik berat perjuangan kita makin maju, yaitu dari pengamanan Pancasila ke pengamalan Pancasila," kata Presiden. Kendati demikian, kita tidak akan mengendorkan sedikit pun kewaspadaan terhadap bahaya laten kekuatan-kekuatan ekstrim yang sejak semula memang tidak sejalan dengan Pancasila.
Apabila MPR menegaskan Repelita IV sebagai periode menciptakan kerangka landasan bagi tinggal landas untuk memacu pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka tekad kita melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila sebagai asas bagi kekuatan sosial politik dan ormas lainnya itu merupakan salah satu wujud nyata daripada kerangka landasan di bidang ideologi, politik dan sosial kemasyarakatan kita.
UU Perpajakan
Karya besar lain yang dicapai tahun lalu ialah lahirnya tiga undang-undang di bidang perpajakan.
Undang-Undang tersebut merupakan karya besar bersifat nasional yang mencerminkan semangat gotong-royong dan keadilan yang berakar pada kepribadian bangsa sendiri.
Dalam UU tersebut, kita menyatakan diri sebagai wajib pajak yang baik, sadar dan bertanggung jawab memberikan iuran kepada pembangunan nasional.
Dengan UU perpajakan baru itu, kita juga menegaskan tekad untuk mandiri dalam membiayai kehidupan bernegara dan pembangunan bangsa.
Inflasi Di bawah 11, 5%
Sebagai upaya mengamankan pelaksanaan pembangunan, tahun lalu pemerintah melakukan devaluasi mata uang rupiah serta menjadwalkan kembali sejumlah pembangunan proyek yang besar, yang memerlukan biaya rupiah dan dana luar negeri yang besar.
Selain itu, dalam usaha mengerahkan dana masyarakat dalam pembangunan telah ditempuh kebijaksanaan baru di bidang perbankan, yang menyangkut suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman.
Langkah-langkah tersebut walaupun dirasakan berat, merupakan rangkaian langkah pengamanan jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dengan tujuan memelihara dan melanjutkan pembangunan dan sekaligus sebagai persiapan meletakkan kerangka landasan pembangunan Repelita IV.
Dengan langkah tersebut, ternyata ekonomi nasional dapat bertahan dan mencapai berbagai kemajuan di tengah resesi dunia. Presiden mengungkapkan, meskipun telah diambil langkah ekonomi yang berat seperti devaluasi, kenaikan harga BBM, namun laju inflasi yang diperkirakan mencapai di atas 20%, seperti tahun 1978, setelah mengadakan devaluasi rupiah, ternyata dapat dikendalikan pada tingkat di bawah 11,5%.
Produksi pangan pun dilaporkan oleh Kepala Negara meningkat, khususnya beras meskipun terjadi musim kemarau yang panjang.
Tahun lalu juga berhasil diselesaikan proyek-proyek pembangunan yang besar sesuai rencana, seperti pabrik-pabrik semen, pupuk, proyek perkebunan, kilang-kilang minyak dan gas alam cair, serta pusat-pusat listrik. Sedangkan di bidang ekspor, kendati tidak terlalu besar, mengalami kenaikan.
Pada awal amanatnya, Presiden mengajak seluruh bangsa memanfaatkan saat pergantian tahun untuk menengok sejenak kembali masa-masa yang lalu.
Keberhasilan masa lalu perlu dimantapkan dan dijadikan modal, sedangkan kegagalan dan kekeliruan harus disadari untuk tidak terulang di masa depan.
Presiden juga tidak lupa menyampaikan "Selamat Natal" kepada segenap warga Kristen dan berpesan agar semangat Natal tersebut memberikan semangat baru baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam pengabdian kepada bangsa dan negara. (RA)
…
Jakarta, Sinar Harapan
Sumber : SINAR HARAPAN (13/03/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 532-535.