TANPA PENGENDALIAN DIRI MUDAH BERTINDAK TAK WAJAR
Presiden Soeharto pada Peringatan Nuzulul Quran
Tanpa kemampuan menguasai dan mengendalikan diri, tanpa sikap bertanggung jawah, kita akan sangat mudah bertindak melampaui batas kewajaran dan kemanusiaan.
Dalam hubungan ini agama mempunyai fungsi penting karena ia mengajarkan bagaimana harus mampu menguasai dan mengendalikan diri, agar tidak terjerumus ke dalam kesengsaraan dan kehancuran akibat ulah dan perbuatan kita sendiri.
Penegasan ini disampaikan Presiden Soeharto, Minggu malam, dalam peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid lstiqlal, Jakarta, yang dihadiri Wakil Presiden Adam Malik, para pejabat dan masyarakat Jakarta yang memenuhi masjid tersebut.
Presiden mengatakan, secara lahiriah dan duniawi, dewasa ini kehidupan umat manusia makin penuh dengan tantangan. Khususnya bagi pembangunan bangsa kita yang mencapai banyak kemajuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat, serta perubahan dan kemajuan di mana-mana nampak jelas di sekitar kita.
“Apa yang dulu tidak terbayangkan oleh akal dan angan2, kini banyak menjadi kenyataan. Apa yang dulu dianggap sebagai khayalan, kini merupakan hal yang biasa dalam kehidupan manusia”, kata Kepala Negara.
Namun di balik kemajuan itu terdapat kemungkinan yang dapat merugikan. Kemajuan, katanya lagi, suatu kemenangan tetapi sekaligus merupakan tantangan. Terutama yang tertuju pada kemampuan kita untuk menguasai dan mengendalikan diri dalam memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, untuk bersikap bertanggung jawab dalam suasana kemajuan tadi. Sebab tanpa ini, kita akan mudah bertindak melampaui batas kewajaran dan kemanusiaan, tandasnya.
Seimbang
Menurut Presiden Soeharto, agama memang mengingatkan nilai2 kebendaan dan nilai2 kerohanian. Tetapi kedua nilai itu harus seimbang, tidak dapat salah satunya dipentingkan. Dalam usaha mewujudkan keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan sebagai bangsa, kita harus berusaha menyemarakkan kehidupan agama dalam masyarakat.
Namun diingatkan, kesemarakan itu jangan diartikan dengan kesemarakan lahiriah saja, tetapi juga menyangkut kehidupan rohaniah.
"Justru kehidupan rokhaniah itulah yang mengamankan dan menyelamatkan wujud kehidupan lahiriah di dunia dan kebahagiaan di akhirat nanti," tuturnya.
Dalam hubungan ini Kepala negara minta perhatian tentang pembinaan kehidupan rohaniah, terutama kepada alim ulama dan pimpinan agama umumnya.
"Kita boleh dikatakan gagal dalam membina kehidupan beragama, bila kita tidak memiliki dan memelihara kesehatan rohani. Sebab agama diturunkan justru untuk menumbuhkan dan menyehatkan rohani manusia. Salah satu rohani yang hidup adalah tumbuhnya keberanian moral dalam diri setiap penganut agama untuk secara konsekuen mengikuti nilai-nilai kebenaran yang diajarkan agamanya," ujarnya lagi.
Kesetiaan kita terhadap keserasian kehidupan rohani dan lahiriah jelas merupakan ukuran dari penghayatan kita terhadap Pancasila. Karena itu pembinaan kehidupan beragama dalam rangka pembinaan kehidupan rohani sangat penting dalam usaha kita melestarikan Pancasila.
Dalam pangkuan masyarakat yang kuat keyakinan agamanya, Pancasila akan tumbuh subur. Sebaliknya dalam pangkuan masyarakat yang menghayati Pancasila maka agama akan berkembang semarak.
Karena itu, menurut Presiden, pembinaan kehidupan beragama jelas merupakan masalah dan tugas bersama. Seperti halnya usaha pemasyarakatkan dan penghayatan nilai2 Pancasila. Selain mendalami dan menghayati ajaran agama, hendaknya kita saling menghormati dan menghargai di antara berbagai kelompok agama, serta menumbuhkan kerukunan antar ummat beragama. "Ini merupakan salah satu aspek utama," demikian Presiden.
Jangan Karena Agama
Pada kesempatan ini Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam sambutannya antara lain menegaskan, selama ini pemerintah berusaha memantapkan kerukunan hidup intern dan antara umat beragama tidak lain untuk memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sebab kita tidak menginginkan adanya keresahan dan keretakan yang mungkin timbul karena masalah agama.
Kerukunan yang kita inginkan bukan dimaksudkan untuk mencampur adukkan keyakinan melainkan kita harus rukun sebagai bangsa yang mengakui dan menghargai perbedaan agama, ujar Menteri Alamsjah.
Sebagai contoh Menteri mengatakan, umat Islam umpamanya harus meyakini kebenaran agamanya, kebenaran Al Qur’an dan Hadits. Demikian pula dengan agama lain pemeluknya meyakini benar masing-masing dan dapat menghargai keyakinan orang lain.
Dalam negara Pancasila, kata Menteri, agama berkembang dengan baik dan mempunyai kedudukan khusus dalam kehidupan bangsa dan negara. Adalah anggapan yang tidak benar bahwa dalam negara yang berdasarkan Pancasila, agama tidak berkembang atau dihalang-halangi.
Seluruh Aspek
Menteri menegaskan pula, Al Qur’an bukan hanya menjadi pedoman kehidupan yang bersifat rohaniah tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Al Qur’an memberi petunjuk bagaimana seharusnya kehidupan rohani dan kehidupan yang berhubungan dengan keperluan hidup manusia, baik perorangan maupun masyarakat dan bangsa, dan antar bangsa.
Al Qur’an mengatur hubungan antar berbagai kepentingan antara lain segi sosial ekonomi budaya dll, pada saat umat manusia dihantui kemiskinan yang melanda dunia misalnya, maka Al Qur’an mengajarkan dan menekankan pengamalan perikemanusiaan keadilan sosial melalui zakat fitrah, bersedekah, infak dll.
Al Qur’an memberi tuntunan kepada umat manusia untuk menyantuni fakir miskin, demikian pula memberi dorongan untuk belajar melalui berbagai indra bagi makhluk yang masih dicekam kebodohan.
Hikmah Puasa
Dengan berpuasa seseorang akan merasakan kebersamaan terhadap sesamanya. Dia akan merasakan kebersamaan dalam lapar dan dahaga yang melahirkan rasa kesetiakawanan dan mempertinggi rasa keadilan dan kemanusiaan, tandas Menteri mengingatkan.
Hikmah puasa bukan saja dalam aspek keagamaan tetapi juga berpengaruh dalam membina dan menumbuhkan rasa saling cinta-mencintai sesama umat manusia, menumbuhkan rasa kemanusiaan yang tercermin dalam sikap dan perbuatan yang kita perlukan dalam menerjemahkan falsafah negara kita Pancasila.
Di akhir sambutannya Menteri Agama mengajak umat Islam untuk benar-benar melaksanakan ajaran Al Qur’an.
"Marilah kita tingkatkan amal ibadah kita dalam mengisi bulan Ramadhan ini dengan mengamalkan ajaran AI Qur’an, sambil bertekad akan melaksanakan semua kewajiban ibadah puasa sampai akhir, "demikian Menteri Alamsjah.
Kendalikan Diri
Hikmah Nuzulul Qur’an yang disampaikan oleh Dr.H.Ruslan Abdulgani mengatakan, pembangunan nasional yang antara lain membangun manusia Indonesia seutuhnya menghendaki manusia yang berilmu, beramal dan beriman. Manusia yang sudah dapat mengendalikan diri, dapat juga menjaga keseimbangan materil dan spirituil, antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
”Itulah tugas nasional dewasa ini,"kata Ruslan. Untuk itu, ia mengajak kita semua untuk terus melatih diri, mawas diri dan mengendalikan diri. Serta memperbesar amal ibadah demi kejayaan bagi bangsa dan negara.
Bekas Dubes tetap RI di PBB itu juga telah menguraikan pasang surutnva perkembangan Islam di dunia. Perkembangan Islam di Indonesia salah satu jiwanya adalah anti kolonialisme.
Ini dibuktikan melalui berbagai perjuangan melawan penjajah dulu dan kemudian diteruskan dalam pergerakan modern. Karena itu bukan suatu kebetulan bahwa dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama ditandaskan tentang anti kolonialisme tersebut.
Selanjutnya dikatakan, proklamasi dan konstitusi RI lahir pada bulan puasa menjelang malam lailatul qodar. Bagi bangsa yang sedang berpuasa (waktu itu), tiada getaran yang lebih hebat dari pada getaran jiwa yang sedang tirakat puasa. Lebih-lebih lagi bangsa kita yang sedang dalam situasi penindasan militer, politis maupun penindasan sosial ekonomis. Getaran itu secara spiritual mental jauh lebih besar dari pada bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Apalagi waktu itu kita sedang manantikan kedatangan malam Nuzulul Qur’an.
Berkaitan dengan itulah dalam peringatan Nuzulul Qur’an sekarang ia mengajak untuk terus mawas diri dan mengendalikan diri serta memperbesar amal ibadah. (DTS)
…
Jakarta, Angkatan Bersenjata
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (20/07/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 504-508.