TARAF HIDUP
Presiden mengingatkan bahwa terwujudnya masyarakat yang maju, sejahtera dan berkeadilan, diperlukan terlebih dahulu untuk membangun landasan yang kokoh dan kuat.
Menurut Kepala Negara, landasan itu adalah keadaan ekonomi yang ditandai oleh industri yang kuat dengan dukungan pertanian yang tangguh. Presiden mengisyaratkan agar masyarakat lebih produktip jika taraf hidup ingin lebih baik.
Normatip demikianlah siklus proses perbaikan sosio ekonomi masyarakat pada umumnya. Ia harus produktip untuk mencapai taraf hidup yang sempurna.
Namun sayang, lingkungan tidak selamanya menunjang norma ini. Gambaran gambaran sosial dewasa ini menunjukkan yang tidak produktip pun dapat mencapai taraf hidup yang baik, malah jauh dari sekadar baik mewah. Dengan demikian prodiktivitas menjadi tanda tanya besar Iangkah sumber taraf hidup baik?
Pemikir-pemikir ekonomi pun acap kali mempertanyakan soal ini. Namun barang kali kaum filosofiah yang berkewajiban menjawab perlukah manusia bekerja untuk hidup?’ Dan perlu kah dia bekerja lebih keras (produktip) untuk hidup lebih baik? Para ekonom akan lebih puas jika saja dia dapat menjawab: Apa determinasinya seseorang harus dapat berapa untuk keringatnya?
Ini lah pada dasarnya permasalahan yang harus dijawab dalam serangkaian pemikiran mengenai sejahtera sebagai manifestasi taraf hidup yang baik dan kemakmuran negara sebagai bagian dari ketahanan nasional. Kita harus dapat berangkat dari premis yang sama untuk mencapai tujuan secara efektif.
Taraf hidup yang diinginkan Presiden untuk diperbaiki terus menerus adalah terutama dari mereka yang menjadi lapisan terbesar dari masyarakat Indonesia, Kaum buruh/tani. Karena nanti pada gilirannya mereka ini akan mampu membeli barang hasil industri dalam negeri.
Kelanjutannya adalah industri Indonesia nantinya akan lebih maju lagi dan ini kemudian akan mempercepat pertumbuhan perekonomian Indonesia. Penalaran demikian sama sekali tidak salah.
Namun persoalannya di mana harus kita mulai? Perbaikan taraf hidup seperti kita kemukakan di atas mengandung beberapa aspek yang tidak melulu ekonomi sifatnya.
Secara psikologis kita sebutkan di atas, adanya gambaran sosial yang tidak kondusip untuk suatu perilaku positip untuk masyarakat yang produktip. Pelariannya memang akhirnya masyarakat yang demikian akan lebih banyak berfalsafah dari pada melihat kenyataan. Atau barangkali mereka malah berpegang pada falsafah yang salah, kemakmuran hanya faktor keberuntungan. Ini harus cepat dikoreksi. Makmur karena kerja keras inilah keadaan itu seharusnya.
Di masyarakat lapisan yang terbesar seperti petani dan buruh petani, faktor-faktor psikologis memang bukan satu-satunya penghambat. Secara ekonomi persoalan untuk meningkatkan taraf hidup mereka jauh lebih kompleks.
Persoalan lahan yang kian menyempit, pertambahan penduduk yang tidak mengecil, taraf pendidikan yang tidak memadai, semuanya ini adalah penghambat utama dalam meningkatkan taraf hidup mereka, dus produktivitasnya.
Semua ini dipersulit lagi dengan ketentuan harga basil produksi mereka yang sedikit sekali manfaat pertolongannya bagi peningkatan taraf hidupnya, jelas tidak sebagai insentip peningkatan produktivitas mereka.
Di atas tadi kita mempertanyakan, apa determinasinya seseorang harus dapat berapa untuk keringatnya?
Menyambut ajakan Presiden untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tani khususnya, sepatutnya sudah para ekonom kita mempertanyakan kebijaksanaan penentuan hargai hasil pertanian, seperti beras, gula dan palawija seperti berlaku sekarang ini.
Keringat mereka harus kita hargai lebih mahal dari apa yang berlaku sekarang. Meningkatkan taraf hidup mereka berarti harus dimulai dengan meningkatkan harga pembelian gabah kering mereka.
Inilah hakekatnya kemiskinan kita yang merajalela dewasa ini. (RA)
…
Jakarta, Jurnal Ekuin
Sumber: JURNALEKUIN (12/08/1982)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 774-775.