TENTANG HAK PREROGATIF PRESIDEN
Jakarta, Merdeka
KATA “hak prerogative Presiden” sering disebut-sebut pada saat-saat belakangan ini. Kesan kita, kata itu dipergunakan untuk menangkis permintaan ataupun anjuran satu pihak, agar Presiden terpilih mendatang mengangkat menteri-menteri pembantunya tidak lagi terbatas pada ABRI dan Golkar, tetapi mengangkat juga anggota partai dari PDI dan PPP. Permintaan atau anjuran ini oleh pihak lain dinilai sebagai mencampuri urusan Presiden, dan karena itu keluar dalih penangkal yang ampuh “hak prerogative Presiden”. Ternyata dalih itu memang ampuh. Buktinya, mereka yang meminta atau yang menganjurkan, jadi diam tak berkutik.
Hak Istimewa
Kata “prerogative” ini berarti “voorrecht” yaitu “hak mendahulu”. Karena “hak mendahulu” ini bersifat istimewa, maka prerogatif diartikanjuga “hak istimewa”.
Dalam Ilmu Negara, prerogatif adalah istilah yang dipergunakan secara khusus berkenaan dengan hak-hak mendahulu luar biasa yang dimiliki raja yang sedang berkuasa. Prerogatif demikian disebut prerogative berdasarkan mahkota. Keterangan itu secara harfiah berbunyi, “In de staatkunde wordt het woord spedaal gebezigd m.b.t de bijzondere voorrechten welke een regerend vorst bezit” (Born-Keesing, Politieke Encyclopedie; biz 377).
Mengikuti keterangan di atas,kata “hak prerogatif sebenamya tidak tepat dipakai, karena prerogative saja sudah berarti hak istimewa”. Dengan demikian kata “hak Prerogative Presiden” semestinya “prerogative Presiden” saja, yang sepenuhnya sudah berarti “hak istimewa Presiden”.
Yang menarik perhatian kita mengenai “hak istimewa Presiden” ini ialah, hak itu seolah-olah diakui. Dan sangatlah menimbulkan pertanyaan, mengapa “hak istimewa” itu hanya dikaitkan dengan pengangkatan menteri-menteri belaka dan belum pernah kita dengar disangkutkan dengan hal-hal lainnya.
Kewajiban Istimewa
Orang bijak selalu mengatakan bahwa di samping hak, berdiri kewajiban. Atau ada pula orang mengatakannya dengan kewajiban menerbitkan hak. Bila pendapat orang bijak ini benar dan kita sepakat menerimanya, tertulah di samping “hak istimewa” berdiri pula “kewajiban istimewa”. Dengan pengembangan selanjutnya, disamping “hak istimewa Presiden” dengan sendirinya terdapat pula “kewajiban istimewa Presiden”. Sampai saat ini kita belum pernah mendengar ada orang berbicara mengenai “kewajiban istimewa Presiden”. Bila “kewajiban istimewa Presiden” tidak ada maka tidak mungkin ada ”hak istimewa Presiden”.
Sesuatu hak disebut istimewa, kalau hak itu diperoleh melampaui kewajiban. Dalam pemerintahan feodal dan raja-raja pada masa lampau, hak yang mereka peroleh melebihi dari kewajiban yang harus mereka lakukan. Kelebihan hak itu diakui, dan indah yang disebut “hak istimewa”. Namun sebagaimana kita ketahui dari sejarah, hak-hak istimewa para feodal atau raja-raja inilah yang membangkitkan revolusi, serta menumbangkan mereka dan tahta kekuasaan.
Kalau dengan rujukan keseimbangan hak dan kewajiban, kita tidak menemukan “kewajiban istimewa” Presiden, yang konsekuensi logisnya ialah, dengan sendirinya hak istimewa Presiden juga tidak ada. Melalui rujukan sistem feodal dan monarki, adakah Presiden memperoleh “hak istimewa” karena kelebihan hak dibanding kewajiban? Adakah pengangkatan menteri-menteri dapat dinilai sebagai kelebihan hak yang konstitusional bagi Presiden, dibanding kewajibannya sebagai Kepala Pemerintahan?
Bila kita baca konstitusi dimana disebutkan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” (4.1). Kemudian, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara” (17.1), maka ketentuan, “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden” (17.2), terasa wajarwajar saja. Dengan ketentuan UUD demikian itu sedikit pun tidak ada petunjuk yang menjelaskan bahwa dengan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, Presiden telah memperoleh hak yang melebihi kewajibannya. Dengan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, tidak ada tanda kalau Presiden telah mendapat “hak istimewa”. Jadi adalah mengherankan, apa dasamya, dan dari mana sumbemya, kalau orang-orang itu berani membuat dalih “hak prerogative Presiden”berkenaan dengan pengangkatan menteri-menteri. Secara terhormat mestinya mereka itu dapat menjelaskannya.
Bukan Tak Terbatas
Yang juga mengherankan kita ialah, pengangkatan menteri-menteri oleh Presiden, digambarkan pada masyarakat bangsa seolah-olah Presiden dapat berbuat sebebasbebasnya dengan tidak memperhatikan perasaan dan tanpa peduli akan pertimbangan orang lain. Adalah ganjil rasanya, Presiden dari satu republik yang demokratis, dan yang menjunjung tinggi semangat gotong-royong, musyawarah mufakat dan rasa kekeluargaan, digambarkan layak berbuat merdeka tanpa batas dalam memilih pembantu-pembantunya untuk memutar roda pemerintahan nasional.
Padahal yang disebut “prerogative” itu, dalam semangat feodalistis, raja sekali pun tidak bebas mutlak melakukannya. Dalam monarki konstitusional, raja mempergunakan “prerogatif atas nasehat menteri-menterinya. Untuk jelasnya disebut, “In een constitutionele monarchie pleegt de vorst van die prerogatief slechts gebruik te maken op advies van zijn ministers” (Born Keesing, oc).
Oleh mereka yang berpegang pada dalih “hak prerogative Presiden”, dimana pengangkatan menteri-menteri dikatakan sebagai hak istimewa Presiden, keistimewaan itu diberi tekanan pada “kebebasan” mempergunakannya. Sedangkan menurut asal-usul lahirnya prerogative itu dahulu, keistimewaannya tidak terletak pada kebebasan mempergunakannya, tetapi berada pada pengakuan hak atau pemberian hak pada raja yang sebenamya bukan haknya. lnilah yang saya sebut di atas, hak yang diperoleh raja (atau Presiden) melebihi dari kemestian kewajibannya.
Contoh konkretnya adalah, dalam negara yang menganut trias politika, Presiden tidak memiliki kewajiban yudikatif. Sungguh pun demikian, karena kedudukannya sebagai Kepala Negara, Presiden dilimpahi hak untuk memberikan grasi, amnesti, dan abolisi. Dengan hak ini, Presiden memperolen hak melebihi kewajibannya. Kelebihan hak inilah yang menjadi hak istimewa atau prerogative Presiden. Tetapi apa ada Presiden memberikan grasi, anmesti, dan abolisi dengan kebebasan tak terbatas? Jadi pasal 14 UUD 1945 mengatur prerogative Presiden karena yudikatif bukanlah kewajiban Presiden, sedangkan pasal 17 UUD 1945 bukan prerogative Presiden, karena semua itu sesuai dengan kewajiban Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Kebebasan yang Memelihara Rasa Persatuan Nasional
Kalau dalam mengangkat menteri-menteri sesuai dengan pasal 17 Konstitusi kita, Presiden diberi keleluasaan, saya sependapat. Keleluasaan itu sangat perlu , sebab Presiden tidak boleh terhambat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Tentang perlunya keleluasaan itu, perlu kita ambil contoh penyusunan kabinet oleh seorang formatur dalam sistem kabinet parlementer, yang liberal. Karena satu partai tidak memperoleh mayoritas mutlak di DPR, maka partai itu yang diberi tugas menyusun kabinet mau tidak mau harus mengajak beberapa partai lainnya membentuk pemerintahan koalisi. Formatur dengan demikian terpaksa berunding tentang pembagian jumlah dan jenis kursi yang ditawarkan pada partai-partai yang. Kalau perundingan itu gagal, maka formatur terpaksa mengembalikan mandatnya pada Presiden. Sementara Presiden menunjuk formatur barn, pemerintahan tetap dijalankan oleh kabinet demisioner dimana kabinet ini tidak boleh mengambil kebijaksanaankebijaksanaan baru.
Presiden Republik Indonesia menurut UUD 1945 tidak boleh gagal menyusun pemerintahan seperti formatur liberal parlementer tersebut di atas. Sebab kalau Presiden gagal kepada siapa dia mengembalikan mandat?. Tentu kepada MPR, dan itu berarti MPR bersidang kembali. Untuk mengundang MPR bersidang dalam waktu singkat bukan satu pekerjaan mudah, sementara itu Presiden yang gagal tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, menurut UUD 1945 Presiden tidak boleh gagal menyusun kabinetnya, sebab kalau gagal bisa mendatangkan bahaya keselamatan negara. Itulah sebabnya Presiden diberi keleluasaan mengangkat menteri-menteri yang akan menjadi pembantunya.
Keleluasaan itu bukanlah prerogatif Presiden. Karena keleluasaan itu sudah lahir dengan sendirinya sesuai jiwa Pancasila dan semangat UUD 1945. Kalau dalam sistem liberal parlementer diperlukan mayoritas mutlak di DPR sebagai kekuatan pendukung pemerintah, maka hal itu tidak diperlukan oleh seorang Presiden dalam menyusun pemerintahannya. Jadi Presiden tidak terikat dengan mayoritas mutlak, atau dengan kata lain, Presiden bebas dan pengaruh mayoritas mutlak. Apa yang mempengaruhi Presiden? Yang mempengaruhi Presiden ialah, rasa persatuan nasional.
Rasa persatuan nasional mengalir secara alami dari jiwa Pancasila yang berdasar gotong-royong, kekeluargaan dengan musyawarah mufakat, yang kesemuanya tertuang secara merata menjadi semangat UUD 1945. Kalau dalam dunia pers kita kenai “kebebasan yang bertanggungjawab”, maka untuk Presiden dalam mengangkat menteri-menteri tidak sopan kita ucapkan demikian. Dalam hal ini, kebebasan Presiden adalah kebebasan yang memelihara rasa persatuan nasional.
Kebebasan Presiden bukan tak terbatas, namun yang membatasinya adalah satu etika yang indah, yang menyebabkan Presiden semakin dihormati dan dihargai, karena terpeliharanya kesatuan nasional secara riil. Rasa persatuan nasional yang mengaJir dari jiwa Pancasila itu, mengharuskan Presiden menyatukan seluruh kekuatan nasional yang sah dalam pemerintahannya, yang merupakan cemlin persatuan nasional yang sudah terbentuk di DPR dan MPR. Musyawarah mufakat semua pihak, tidak hanya berlangsung di legislatif, tetapi juga di pemerintahan.
Dari sini terlihat, pengangkatan menteri-menteri oleh Presiden sama sekali tidak ada kaitannya dengan prerogative Presiden. Pengangkatan itu adalah kewajiban Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Sebab kalau itu tidak dilakukan, bagaimana mungkin Presiden dapat menjalankan pemerintahan. Kewajiban itu dilakukan Presiden dengan jaminan keleluasaan, yaitu keleluasaan yang beruang lingkup memelihara rasa persatuan nasional.
Oleh karena itu, permintaan atau usul agar Presiden mendatang mengangkat menteri-menterinya tidak terbatas hanya pada unsur ABRI dan Golkar, tetapi hams juga memasukkan partai dari PDI dan PPP, maka permintaan atau usul itu sah dan konstitusional. Permintaan atau usul itu bijak lagi arif, karena mengandung pemahaman akan perlunya pemeliharaan rasa persatuan nasional. Jadi permintaan atau usul itu tidak dapat ditangkal dengan dalili “hak prerogative Presiden”, karena memang bukan “hak istimewa” Presiden.
Sumber : MERDEKA (15/06/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 143-147.