TEPAT WAKTU PRAKARSA CENDEKIAWAN MUSLIM BAHAS PEMBANGUNAN ABAD XXI
Malang, Kompas
Presiden Soeharto menilai prakarsa para cendekiawan muslim Indonesia untuk mengadakan simposium nasional membahas pembangunan masyarakat Indonesia abad ke 21 adalah tepat waktu. Adalah tugas para cendekiawan untuk mengenal masalah yang telah ada dan masalah-masalah baru yang bisa timbul, menganalisa unsur unsurnya dan melihat kaitannya satu sama lain, memperkirakan kemungkinan dan kecenderungan. Dan jika perlu mengembangkan berbagai altematif awal kebijaksanaan dan strategi yang dapat dipilih oleh para pengambil keputusan.
Hal itu diutarakan Kepala Negara ketika membuka Simposium Nasional Cendekiawan Muslim yang berlangsung di Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Kamis pagi (6/12). Simposium bertema “Membangun masyarakat Indonesia abad XXI” ini diikuti 512 peserta yang datang dari berbagai disiplin ilmu dan profesi dari seluruh Indonesia berlangsung sampai Sabtu (8/12) besok.
“Tema itu merangsang kita semua untuk memikirkan secara sungguh-sungguh arah yang harus kita tempuh agar dalam memasuki abad 21 nanti kita benar-benar siap,” tutur Presiden Soeharto.
Simposium ini tergolong istimewa karena dibuka langsung oleh Presiden Soeharto dan menurut rencana akan ditutup oleh Wakil Presiden Sudharmono hari Sabtu besok. Gagasan awal untuk mempertemukan para cendekiawan muslim ini datang dari kalangan mahasiswa Fakultas Teknik Unibraw yang kemudian disambut baik berbagai kalangan.
Perspektif Jangka Panjang
Kepala Negara mengingatkan persiapan memasuki abad ke 21 itu bertambah penting karena Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun kedua nanti untuk sebagian besar, justru akan berlangsung pada awal abad ke 21. Suasana abad yang akan datang itu belum seluruhnya bisa diperkirakan dari pengalaman selama ini. Banyak sekali perkembangan dan kecenderungan baru yang masih perlu dikaji dan ditelaah bersama baik kecenderungan perkembangan di dalam negeri maupun kecenderungan dunia pada umumnya.
Diingatkannya bangsa Indonesia hidup dalam zaman yang penuh dengan kekuatan-kekuatan dinamis, demikian banyak terjadi perkembangan-perkembangan baru yang harus dihadapi dan diatasi dengan mengambil berbagai keputusan yang tidak mudah, khususnya dalam bidang ekonomi dan keuangan.
“Peta ekonomi dan politik dunia sedang bembah secara mendasar dalam dasawarsa terakhir abad 20 ini. Perubahan itu membawa tantangan-tantangan baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru. Juga harapan-harapan baru”, kata Presiden Soeharto.
Ditegaskannya agar bisa berlangsung hidup dalam dunia yang bembah cepat ini, diperlukan kejelian pengamatan dan kecepatan reaksi baik terhadap peluang yang terbuka maupun yang mungkin timbul.
“Kita tidak ingin dikejutkan terus menerus oleh berbagai pembahan dinamis ini. Karenanya kita perlu mempunyai perspektif berjangka panjang dan bersifat mendasar mengenai masa depan itu. Seluruhnya harus dilandaskan pada kemantapan dan keteguhan hati untuk mencapai sasaran akhir yang telah kita tetapkan ialah terwujudnya masyarakat kita yang maju, sejahtera, adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila,” tambah Presiden Soeharto.
Menurut Kepala Negara, justru inilah bidang yang seyogyanya menjadi ajang pengabdian kaum cendekiawan, yang diharapkannya mempunyai pandangan yang jernih tentang kecenderungan perkembangan keadaan. “Dengan kejernihan pandangan itu, kaum cendekiawan dapat merumuskan altematif kebijaksanaan dan strategi yang bisa kita pilih bersama. Tentu saja strategi jangka panjang pembangunan dan arah perjalanan bangsa kita akan ditentukan oleh MPR dalam Sidang Umum tahun 1993 nanti,”katanya.
Ditambahkannya, persiapan mmusan kebijaksanaan dan strategi pembangunan nasional itu seyogyanya mulai dilakukan oleh masyarakat sendiri. Ini merupakan wujud dari partisipasi dan tanggungjawab hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. “Ini juga merupakan wujud dari ketetapan hati kita untuk membangkitkan prakarsa dan kreativitas masyarakat, “ tegasnya.
Dari berbagai pemikiran yang mempunyai akar sosial yang luas ini, menurut Presiden Soeharto, para wakil rakyat dalam lembaga tertinggi negara nantinya bisa memilih kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang terbaik.
Cara Berpikir Strategis
Di bagian lain sambutannya, Kepala Negara juga mengatakan, pada abad ke-21 yang penuh dengan perubahan dinamis dan tantangan baru bangsa Indonesia tidak meniru model pembangunan bangsa lain, yang disusun khas sesuai dengan nilai budaya mereka dan untuk menghadapi rangkaian masalah yang khas mereka hadapi. “Kita bahkan tidak dapat mengulangi model pembangunan nasional kita sendiri di masa lampau,” tegas Presiden Soeharto.
“Dalam menangani pembangunan nasional yang demikian luas cakupannya , bangsa kit a disetiap lapisan perlu lebih banyak mengembangkan cara berpikir strategis, yaitu cara berpikir yang berorientasi kemasa datang. Cara berpikir strategis bisa membantu kita untuk merencanakan dan mengendalikan nasib kita sendiri, sehingga dengan demikian mempunyai nilai keagamaan,” tuturnya.
Diingatkannya, agama Islam mengajarkan bahwa nasib kita sesungguhnya berada di tangan kita sendiri. Berulang kali diingatkan, Tuhan Yang Maha Esa tidak akan mengubah nasib kita,jika tidak kita sendiri yang hendak mengubahnya. “Nasib kita di masa datang bisa dan boleh kita rencanakan. Pelaksanaannya juga bisa kita tata dan kita kendalikan,” tambahya.
Sebagai bangsa yang majemuk, kata Kepala Negara, masa depan bangsa akan tergantung pada kebulatan hati untuk terns maju dengan semangat kebersamaan dan semangat kebangsaan.
“Dalam semangat kebersamaan dan semangat kebangsaan itu, Saudara semua cendekiawan muslim akan mampu menyumbangkan risalah agama yang bersifat rahmatan lil alamin. Kehadiran dan pengabdian kita hendaknya mendatangkan manfaat kepada segenap golongan, kepada seluruh bangsa. Amin …..,” demikian residen Soeharto.
Kebersamaan Langkah
Acara pembukaan ditandai pemukulan beduk, yang dilanjutkan ramah tamah Kepala Negara dengan para wakil peserta termasuk para mahasiswa pencetus ide simposium. Presiden juga meninjau pameran kegiatan mahasiswa setiap fakultas Unibraw. Di akhir kunjungannya yang disambut hangat dengan lambaian tangan para mahasiswa IV. Kepala Negara juga menulis kesan, “Semoga kampus Universitas Brawijaya ini menjadi tempat berseminya kecendekiawanan”.
Hadir antara lain Mensesneg Moerdiono, Pangab Jenderal TNI Try Sutrisno, Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie, Mendikbud Fuad Hassan, Menag Munawir Sjadzali, Menpen Harmoko, Meneg KLH Emil Salim, dan Menhub Azwar Anas. Selain Gubernur Jatim Soelarso, hadir pula Gubernur Sulsel A. Amiruddin, dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan serta sejumlah tokoh lainnya dari kalangan DPR, orpol, ormas lembaga pendidikan dan penelitian, pengusaha, budayawan, serta lembaga swadaya masyarakat.
“Simposium ini merupakan realisasi keinginan mahasiswa untuk mengumpulkan bapak-bapak kami, senior-senior kami, para cendekiawan muslim, agar timbul keserasian arus informasi, sehingga menjadi kebersamaan dalam langkah terutama peran serta cendekiawan muslim dalam pembangunan Indonesia,” kata Ketua Pelaksana Simposium, Erik Salman GD, mahasiswa Fakultas Teknik Unibraw dalam laporannya.
Sementara Mendikbud Fuad Hasan mengharapkan, sekalipun simposium ini memusatkan perhatiannya terutama ke masa depan sebagai era baru pembangunan bangsa, kiranya bermanfaat juga melakukan tinjauan retrospektif dan memetik pelajaran dari berbagai pengalaman di masa lalu.
Pusat ke Unggulan
Empat pembicara utama tampil di hari pertama simposium,masing masing Prof BJ Habibie, Prof Emil Salim, Prof A. Mukti Ali, dan Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Mereka menyoroti kecenderungan, visi dan kebijaksanaan.
BJ Habibie dalam makalahnya “Peranan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Proses Transformasi Masyarakat” antara lain menilai, bangsa Indonesia harus dapat membentuk pusat-pusat keunggulan di dalam perusahaan atau lembaga pendidikan dan penelitian swasta serta pemerintah yang diperlukan untuk peningkatan taraf hidup bangsa. Ia juga menyarankan perguruan tinggi dan sekolah kejuruan memberikan perhatian lebih banyak pada aspek paedagogi pendidikan.
Habibie j uga mengajak kaum muslim menjadi pelopor dan penggerak utama bagi bangsa Indonesia untuk berilmu, berteknologi, berbudaya dan berproduktivitas tinggi.
Sementara Emil Salim dalam makalahnya, “Segi Sosial Ekonomi dan Politik Dalam Proses Transformasi Masyarakat “, menilai , selama 25 tahun terakhir ini Indonesia telah mengalami pembahan besar sekali. Secara umum kebutuhan pokok telah terpenuhi, demikian pula kebutuhan
sandang, sehingga sasaran kebutuhan meningkat ke skala yang lebih luas. Dalam hubungan ini timbul keperluan untuk ikut menentukan bagaimana wujud skala kebutuhan ini. Untuk ikut menentukan inilah timbul hasrat menegakkan demokrasi, baik demokrasi ekonomi maupun demokrasi politik.
Keinginan berpartisipasi dalam pembangunan, menurut Emil Salim, adalah wujud dari dambaan hidup berdemokrasi. Dalam ekonomi itu berarti turut serta dalam proses pengambilan keputusan ekonomi. Untuk memungkinkan ini maka kesempatan memperoleh assets dan resources harus terbuka bagi semua. Supaya kesempatan ekonomi terbuka bagi semua, maka penentuan keputusan politik yang mempengaruhi perolehan assets dan resources harus pula terbuka.
Karena itu, katanya, di masa datang proses demokrasi perlu berlanjut. Sejalan dengan itu proses desentralisasi pembimgunan diperkirakan cenderung meningkat, dibarengi dengan proses debirokratisasi dan deregulasi.
Di bagian lain, Emil menilai, untuk menanggapi proses pembangunan memasuki abad ke-21, perlu dikaji ulang proses pembangunan serba materialistik.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup yang manusiawi, perlu ditekankan peningkatan hidup material manusia. Bila tahapan ini sudah dicapai, sangat penting untuk mengalihkan pembangunan pada aspek nonmaterial, temtama pada usaha peningkatan kualitas manusia dan kualitas hidup. “Dalam hubungan inilah tampil ke depan keperluan mengimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup material dengan pemenuhan kebutuhan spiritual,” tambahnya.
Sedangkan Mukti Ali dalam makalahnya, “Pembangunan dan Etik Ekonomi Islam”, berpendapat, usaha mengaktifkan unsur-unsur keagamaan dalam pembangunan tidak cukup dilakukan dari mimbar mimbar mesjid dan seminar saja, melainkan harus bisa diciptakan pada tingkatan aksi sosial yang dilandasi persamaan keprihatinan moril terhadap tuntutan pembangunan.
Melalui dorongan iman dan moral Islam yang ditransformasikan dalam amal dan aksi untuk pembangunan , Mukti Ali mengharapkan tetjadi tidak saja proses perubahan sosial tapi juga proses pembaharuan kehidupan dan pemikiran keagamaan, yang secara dinamis akan saling menunjang pembangunan manusia Indonesia moderen seutuhnya.
Mengental
Seusai simposium menurut rencana akan dibentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Gagasan pembentukan ICMI ini makin mengental di hari pertama simposium. Bahkan Emil Salim dalam jumpa persnya sore kemarin secara tegas mengatakan kehadiran ICMI itu mutlak perlu untuk menjawab tantangan zaman. “ICMI bukan diadakan karena menjelang pemilu , tapi karena keberadaannya mendesak untuk menjawab tantangan zaman,” tegasnya.
Emil Salim juga menegaskan, pembentukan ICMI ini tidak akan dan tidak dimaksudkan untuk menjurus pada primordialisme atau ekslusivisme. “Karena keberadaannya akan bermanfaat bagi seluruh bangsa ini,” tambahnya.
Ia juga menunjuk BJ Habibie sebagai figur yang tepat untuk memimpin ICMI. “Bung Habibie menjadi figur saint dan teknologi yang memang menjadi kecenderungan abad ke-21. Kalau saya, bukan orang science of technology,” katanya.
Persiapan pembentukan ICMI tersebut sudah dilakukan jauh hari sebelumnya. Suatu rancangan AD/ART sudah disiapkan, terdiri 11 bab dan 24 pasal , yang antara lain menegaskan bahwa ICMI berakidah Islamiah dan berasaskan Pancasila. Rancangan ini akan ditawarkan ke segenap peserta simposium untuk disahkan.
Sumber : KOMPAS(07/12/1990)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 372-383.