TERJADI PENENTUAN HARGA YANG BERBEDA-BEDA

PELAKSANAAN PENJUALAN MOBIL DINAS :

TERJADI PENENTUAN HARGA YANG BERBEDA-BEDA

Corolla DX 1983 Dihargai Rp2.565.000

Pelaksanaan penjualan kendaraan bermotor perorangan dinas kepada para pemegangnya di semua departemen, lembaga pemerintah non-departemen pemerintah daerah dan badan-badan usaha milik negara seperti yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1983 tanggal 28 Januari 1983 dan berlaku mulai 1 April 1983, pada umumnya sudah selesai kecuali di beberapa departemen masih belum rampung.

Batas pelaksanaan penjualan itu menurut pasal 6 ayat 1 Keppres tersebut selambat-lambatnya sampai akhir Juni 1983.

Dari berbagai rekaman yang dilakukan Suara Karya, penerapan pasal 4 ayat 1 dan 2 Keppres tersebut yang pelaksanaannya diatur dalam Bab III pasal 5 ayat s/d Surat Keputusan Menteri Keuangan No.215/KMK.011/1983 tentang tatacara penjualan kendaraan dinas, ternyata masih terdapat perbedaan-perbedaan antara satu instansi dengan instansi lainnya, khususnya yang menyangkut harga akhir.

Misalnya, sebuah mobil Ford Cortina 1600 keluaran tahun 1976 di sebuah badan usaha milik pemerintah dijual dengan harga akhir Rp. 339,120 sedang di badan usaha milik pemerintah lainnya mobil yang sama jenis dan tahunnya dijual dengan harga Rp.165,240.

Yang menyolok lagi pada badan usaha milik pemerintah yang terakhir ini mobil dinas Toyota Corolla DX yang dibeli tgl 17 Januari 1983, diberikan harga akhir hanya Rp. 2.565.000,- bagi si pemegang.

Sedangkan harga mobil bekas Toyota Corolla DX 1983 di pasaran sekarang ini masih bisa mencapai Rp. 12 juta (siap pakai).

Cara menemukan harga akhir mobil dinas Toyota Corolla DX 1983 tersebut juga tampak agak aneh.

Menurut catatan yang diperoleh Suara Karya, harga faktur mobil tersebut adalah Rp 7.500.000,-, harga jual adalah 50% = Rp. 2.850.000,- dan potongan bagi si pemegang 10% = Rp 285.000,- sehingga harga akhir adalah Rp. 2.565.000 yang dapat diangsur selama 5 tahun.

Dalam penentuan harga seperti di atas ada dua hal yang perlu dipertanyakan.

Pertama, harga faktur Toyota Corolla DX 1983 pada bulan Januari sudah mencapai di atas Rp 10 000.000,- Kedua, 50% dan Rp. 7.500.000,- seharusnya Rp. 3.750.000,- dan bukannyaRp. 2.850.000,-

Pola Penghitungan Yang Benar

Penghitungan barga akhir penjualan mobil dinas selaras SK Menteri Keuangan No.215/KMK.011/1983 adalah :

harga faktur/perolehan dikurangi penyusutan 12% setiap tahun, dikurangi 50% dan dikurangi lagi potongan 10%.

Pola perhitungan yang benar ini dilakukan oleh sebuah badan usaha milik Negara yang contohnya dibawah ini.

Sebuah sedan Toyota Corolla tahun 1977 dengan harga perolehan/pembelian Rp 4.580.000 sudah termasuk BBN dan pajak-pajak lain, diperinci sebagai berikut,

Rp 4.580.000,- [7 tahun x 12% Rp 4.580.000] = Rp 732.800.

Maka si pemegang kendaraan ini harus membayar sebesar 50% dari Rp 732.800 = Rp 366.400,­ dikurangi 10% dari Rp 366.400- Rp 329.760.

Menurut keterangan yang diperoleh SK dari badan usaha milik negara ini perhitungan yang diterapkan di perusahaan itu adalah berdasarkan jumlah uang yang dikeluarkan pada saat kendaraan diperoleh, yang disebut "perhitungan kas".

Jadi harga kendaraan itu sudah termasuk pengeluaran untuk BBN, SWP3D dan pajak­pajak lain, tambahnya.

Pelaksana Di Berbagai Departemen

Penjualan dilakukan sebuah panitia pada setiap unit kantor, dengan mengikuti petunjuk yang dikeluarkan Menteri Keuangan. Petunjuk ini merupakan penjabaran dari Keputusan Presiden nomor 5 tahun 1983.

Siapa yang berhak membeli kendaraan itu?

Beragam kebijaksanaan diterapkan sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan panitia penjualan, tetapi menurut keterangan yang diperoleh Suara Karya, dari Departemen-departemen, sebagian besar pejabat yang sebelumnya mendapat kendaraan dinas juga mendapat jatah untuk membeli mobil. Meskipun demikian tidak selalu mobil yang sebelumnya pernah dipakai itu yang boleh dibeli.

Senioritas jabatan masuk dalam salah satu pertimbangan siapa boleh membeli kendaraan mana dalam satu lingkungan kerja. Paling tidak itu tampak pada Kantor Satuan Pengendali Bimas di Jakarta.

Seorang pejabat eselon IV di kantor ini yang sebelumnya memegang mobil Toyota Hard top tidak kecewa mobil pegangannya pindah ke tangan pejabat yang lebih senior.

"Bagaimana harus kecewa. Memang rasanya tidak pantas kalau seseorang mendapat kendaraan, padahal orang lain yang lebih senior belum kebagian," kata pejabat yang masih muda itu.

Pada minggu pertama bulan ini sebagian besar mobil dinas pribadi itu sudah dipindahtangankan kepada para pejabat yang pantas menerimanya.

Pemindah tanganan itu dilakukan dengan jual beli kekayaan negara yang dikuatkan dengan surat perjanjian. Hasil penjualan kendaraan dinas pribadi itu akan diserahkan ke kas negara.

Bukan hanya mobil yang dijual kepada para pemakaiannya, tetapi setiap kendaraan yang sifat pemakaiannya pribadi, tennasuk sepeda motor. Pada umumnya penjualan kendaraan ini dilakukan dengan sistem angsuran.

Menurut Daryono SH, Sekjen Depdagri, masa angsuran itu berkisar 2 hingga 5 tahun. Akan tetapi orang yang mampu boleh melunasi harga pembelian kendaraannya pada saat jual beli terjadi. Mengapa?

Penjualan kendaraan dinas perorangan itu dihitung dariharga pembelian dikurangi penyusutan 12% tiap tahun, dari basil akhirnya dibagi dua. Karenanya ada sepeda motor tahun 1969 yang harus dibayar dengan Rp. 3,000 saja.

Bahkan Departemen Kehakiman menurut Kepala Biro Humasnya Dr. Rahardjo T ada mobil yang harus dibayar hanya Rp. 787,50. Mobil yang amat murah ini jenis Toyota Kanvas tahun 1964.

Di samping ada mobil yang harganya lebih murah dari sebungkus mi goreng ini, ada juga mobil yang harganya jutaan rupiah terutama mobil tahun-tahun terakhir sebelum tahun 1983.

Sebab ada tahun 1983 ini Pemerintah tidak lagi membeli kendaraan dinas perorangan untuk pegawainya.

Dari Ir. Lumban Toman, Kahumas PLN Pusat diketahui harga rata-rata penjualan kendaraan dikantornya Rp. 571.302 untuk mobil, dan Rp. 22.183 untuk sepeda motor.

Harga rata-rata itu diperoleh dari penjualan 277 mobil yang menghasilkan Rp. 158.250.531. dan penjualan 94 sepeda motor yang menghasilkan Rp. 2.085.214.

Belum diketahui berapa jumlah uang yang akan rnasuk ke kas negara dari penjualan kendaraan ini.

Dari sejumlah kantor yang dihubungi Suara Karya akhir pekan ini dik:etahui bahwa belum semua kantor pemerintahan rampung memproses penjualan kendaraan yang ada di Iingkungannya. Apalagi kendaraan-kendaraan itu bukan hanya ada di Jakarta, tetapi juga tersebar di setiap daerah di seluruh Indonesia.

Akan tetapi W. Moedjiono Kepala Biro Perlengkapan Deppen ketika ditanya Suara Karya menjelaskan, akibat penjualan kendaraan ini dari Departemen Penerangan akan terjadi pengurangan kekayaan negara sebesar Rp. 2.871.949 .813.

Dari lembaga yang sama akan datang pemasukan ke kas negara sebesar Rp. 557.104.093.

Dilihat sepintas negara menderitakerugian akibat jual beli ini, tetapi pada kenyataannya terjadi keuntungan besar pada negara.

Akibat pelaksanaan Keppres No.5 tahun ini, sejak 1 April1983 Deppen tidak lagi mengeluarkan anggaran pembiayaan kendaraan dinas yang selama inisetiap tahunnya Rp. 710 juta.

"Berarti dalam 3 tahun sajakekayaan negara yang berkurang itu sudah dapat ditutup", ujar Moedjiono.

Sejak 1 April yang lalu pemerintah tidak lagi mengeluarkan dana untuk pembelian bensin dan pemeliharaan kendaraan dinas perorangan para pegawainya, sebelumnya dana itu ditanggung pemerintah.

Apabila kendaraan itu sudah lunas dibayar pembelinya, baik lewat pembayaran tunai atau angsuran dengan pemotongan gaji, kendaraan­kendaraan tersebut sepenuhnya menjadi hak perorangan, bukan lagi milik negara.

"Pada saat itu kendaraan tersebut bisa dipindahtangankan ke pihak ketiga", kata AAG Ngurah SH, Kahumas Kejaksaan Agung. (RA)

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (03/07/1983)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 290-293.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.